Acara karyawisata di Ancol masih berlanjut.
Setelah puas menikmati pesona bawah laut dari akuarium-akuarium besar, kini saatnya menikmati peson pinggir laut kota Jakarta.
Pukul setengah tiga sore, bis carteran TK Vertica parkir di pantai Lagoon. Karena mereka datang di hari Sabtu, suasana cukup ramai. Namun mereka masih bisa menikmati tepi pantai dan pasir putih di sana.
Hana yang sudah akrab dengan beberapa anak perempuan berlari kecil menuju tepi pantai. Dari awal dia sudah bilang ingin main air di pantai. Ela dan Bu Erna juga mempersiapkan diri jika harus main basah-basahan. Meski tanggung jawab kini diberikan pada orang tua untuk menjaga anaknya masing-masing, tetap saja Ela dan Bu Erna harus tetap mengawasi.
Dan, rayuan anak-anak itu cukup bisa membuat dua guru itu ikut bermain di tepi pantai.
Awalnya, Bunga dan tiga temannya – Naila, Michiko dan Nyra – mengajak Ela membuat istana pasir. Karena jongkok, roknya ikut basah. Lama-lama mereka bercanda saling menciprati air. Maka bajunya ikut basah.
Sekalian saja lah, pikir Ela.
Basahlah seluruh pakaiannya. Bermain air di tepi pantai, berperan sebagai perahu yang dinaiki anak-anak, melawan ombak kecil yang datang. Tawa lebar itu tergambar jelas di sana. Membuang sejenak penatnya masalah biaya kuliah yang akhir-akhir ini jadi beban pikirannya.
Kumandang ashar terdengar. Ela meminta anak-anak untuk segera membersihkan diri. Sebentar lagi jamnya pulang.
Ela, Hana dan Bu Erna mencari kamar mandi untuk membersihkan diri.
“El, keluarga suaminya Bu Hesti, kan udah di sini dari tadi,” kata Bu Erna.
“Emang iya, Teh? Aku nggak engeh.”
“Kamu, kan, belum pernah ketemu.”
Ela nyengir. Setidaknya memang sedari tadi dia melupakan Bu Hesti dan suaminya yang entah kemana. Ia terlalu asik bermain dengan anak-anak.
Selesai membersihkan diri, mereka mencari mushola untuk sholat.
Mushola dipenuhi pengunjung yang ingin bergegas melaksanakan panggilan Tuhan. Ela dan yang lain harus mengantri untuk dapat barisan sholat. Bu Erna dan Hana dapat giliran duluan dan Ela harus menunggu.
Saat giliran Ela, mushola lebih lengang. Ia bisa menyelesaikan perintah Tuhannya tanpa diburu-buru. Setelah selesai, ia bergegas keluar.
Di pintu mushola ia berpapasan dengan seorang pria yang wajahnya familiar. Seperti baru saja melihatnya. Mereka hanya berpapasan dan berlalu begitu saja.
Dari jauh Bu Erna melambaikan tangan pada Ela. maksudnya agar Ela berjalan lebih cepat.
“Ada mertuanya Bu Hesti,” bisik Bu Erna yang menghampiri Ela karena jalannya yang lambat.
Ela hanya ber-oh. Berjalan lebih cepat, seakan sedang ditunggu.
Di sana sudah ada sepasang suami-istri dan dua anak lelakinya. Ela bisa tahu mereka berempat adalah satu keluarga karena tulisan Ayah, Bunda, Fikri, Fadli dengan warna senada.
Di sebelah perempuan berwajah tegas, ada seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan. Di sanalah Bu Hesti berkumpul. Dan di situ pula Ela mengerti, mereka adalah keluarga dari suami Bu Hesti.
Ela menyapa sopan santun pada sang ibu mertua terlebih dahulu. Kemudian pada perempuan berwajah tegas, barulah pada perempuan satunya.
“Ini, Bu, guru baru di TK aku,” kata Bu Hesti memperkenalkan Ela.
Sang ibu mertua tersenyum ramah.
“Yang tadi main air sama anak-anak, ya?” tanya beliau.
“Eh?” Ela terkesiap. Ia tak menyadari kalau sedari tadi keluarga mertua Bu Hesti sudah di sini dan memperhatikan.
Ia mengangguk dengan senyum malu. Mungkin jika di lihat, Ela seperti gadis dewasa yang masih kekanak-kanakan.
“Kalau ngajar Tk memang harus bisa main sama anak-anak,” ucap beliau.
Ela kembali tersenyum dan mengangguk setuju. Bahkan selama mengajar ia merasa seperti anak-anak, ikut masuk ke dunia mereka. Mungkin itu salah satu cara agar bisa menarik perhatian belajar mereka.
“Ilham mana, Bu?” tanya Bu Hesti.
“Tadi ke mushola katanya.”
Beberapa menit mengobrol, orang yang namanya disebut datang dari arah Ela datang.
“Itu Ilham,” seru Bu Hesti melihat pria yang berjalan ke arah mereka.
Ela refleks ikut menoleh. Ia sedikit terkesiap, melihat pria yang menghampiri mereka adalah pria yang berpapasan dengannya di mushola.