Misi percomblangan masih berlangsung. Bu Hesti yang tak melihat ada kemajuan di antara keduanya, kembali menghampiri mereka.
“Eh, maaf, ya, kita malah jadi berpencar,” kata Bu Hesti pura-pura merasa bersalah. “Kita naik perahu bebek, yuk,” lanjutnya.
Ela belum sempat menjawab, Bu Hesti sudah menarik tangannya.
Ia menelan ludah kasar. Ia sedikit takut naik perahu bebek, atau perahu apapun. Melihat danau yang luas, jantungnya sudah berdegup kencang. Dalam benaknya ia memikirkan kemungkinan makhluk yang ada di dalam danau itu. Bahkan ia berfikir mungkin saja ada gurita raksasa yang tinggal di dasar danau itu.
“Kamu kenapa?” tanya Ilham yang menyadari kegelisahan Ela setelah naik ke perahu bebek.
Ela hanya menggeleng dengan senyum gelisah.
Beberapa saat kakinya berat untuk mengayuh pedal perahu. Ia tahu pasti Ilham menyadari ia tak mengayuh dengan benar, karena kayuhannya terasa berat.
“Kamu yakin ga apa-apa?”
“I-iya.”
“Kamu takut naik perahu ini?”
Ela tak berani mengangguk, tapi ia tersenyum palsu. Senyum yang bisa dengan sangat mudah diartikan sebagai anggukan.
“Kita bisa balik lagi,” kata Ilham.
“Eh, ga usah. Aku ga apa-apa, kok.”
“Ga usah memaksakan diri.”
“Serius aku ga apa-apa. Aku cuma terlalu overthinking kalau lihat danau atau laut.”
Ilham mengerti. Memang ada sebagian orang yang seperti itu. Membayangkan hal menyeramkan jika melihat danau atau lautan luas dan dalam.
“Memangnya apa yang dicemaskan kalau liat danau?”
“Ehm, itu … aku kayak khawatir kalau tiba-tiba perahunya terbalik, sementara aku ga bisa berenang. Bayangin, dalam air aku ga bisa nafas.”
Mimik wajah Ela menunukan sekali kekahawatirannya.
“Belum lagi, ada apa coba di dasar danau ini?” tanyanya sambil memperhatikan danau sekitar. “Bisa aja ada giant octopus, kan di dasar danaunya?”
“Bukan gara-gara nonton Pirates Of The Caribbean, kan?” tanya Ilham sambil menahan senyum.
“Itu juga, sih,” jawab Ela dengan senyum malu.
Ilham melepas senyumnya sekarang.
“Kekhawatiran itu memang kadang muncul. Tapi, kamu coba lihat dari sudut pandang lain. Kamu liat danau yang kena tiupan angin. Cantik, kan?”
Ela mengangguk. Ia juga bisa melihat berlian cahaya di atas permukaan danau akbiat terkena sinar matahari.
Ilham mengulurkan tangannya ke danau, menyentuh air danau.
“Kamu liat, ini ga apa-apa,” katanya sambil memaikan air danau.
Refleks Ela ikut mengulurkan tangannya ke air danau. Merasakan air yang menyentuh jemarinya. Sekilas ia membayangkan tangannya akan ditarik sesuatu dari dasar danau. Ia sedikit menarik tangannya. Tapi mata yang melirik Ilham yang masih memainkan air danau, membuatnya kembali menjulurkan tangan. Merasakan lagi air danau yang menyentuh kulitnya.
Tidak apa-apa, batinnya.
Ia tersenyum. Akhirnya ia meyakinkan hati bahwa gurita raksasa itu hanya imajinasinya.
Kali ini kakinya bisa ikut mengayuh pedal. Meski tetap Ilham yang lebih banyak mengayuh.
Setelah dirasa kakinya pegal, kedua insan ini menepi. Mata keduanya mengitari sekitar. Kembali mencari Bu Hesti dan suaminya yang menghilang. Tepatnya sengaja menghilang.
“Kamu tunggu di sini. Aku cari minum dulu.”
Ela mengangguk kemudian duduk di bangku kosong di dekatnya. Tak butuh lama Ilham datang dengan minuman dingin untuknya. Setelah mengucapkan terima kasih ia meneguk minuman dingin itu.
“Kira-kira, kita masih bisa … ketemu setelah pertemuan hari ini?” tanya Ilham terbata.