Sama seperti Aji. Ilham juga sebenarnya sedang mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya pada Ela. Tengah mencari waktu yang tepat untuk bicara. Bukan lagi soal ‘maukah kamu menjadi kekasihku’ tapi ‘maukah kamu menjadi teman hidupku’.
Pria berusia dua puluh sembilan tahun ini sudah lama tak menyatakan perasaan. Terakhir kali saat ia duduk di bangku SMA. Selebihnya ia habiskan dengan memfokuskan diri pada kuliah dan pekerjaan.
Bukan tanpa pertimbangan ia ingin menyatakan perasaan pada Ela saat ini. Usianya sudah sangat pantas untuk menikah, pekerjaan sudah ada, tabungan pun cukup untuk biaya menikah. Menikah akan menyempurnakan sebagian agamanya, serta mempercepat keinginan adik perempuannya yang juga ingin segera menikah. Namun orang tuanya ingin sang kakak menikah terlebih dulu.
Maka siang itu, selepas membuat janji akan menjemput Ela di kampus, Ilham menyiapkan penampilan terbaiknya serta mental bajanya.
Selama tiga bulan ini, respon Ela memang baik terhadapnya. Tapi ia pria rasional yang mengerti, tidak semua perempuan bisa mudah menerima pria yang baru dikenalnya.
Di dekat warung fotokopi kampus ia menunggu. Masih dengan hati yang tengah disiapkan.
Dari jauh gadis yang ditunggunya terlihat. Tak jauh berbeda dari setiap minggunya, Ela akan datang bersama teman-temannya.
“Aku duluan, ya,” kata Ela pamit.
“Iya sana. Kayaknya besok-besok tiap Minggu Ela bakal ada yang jemput, nih,” goda Jiya.
Yang digoda tersipu malu. Segera pergi dari sana agar tak semakin digoda.
“El, boleh kita mampir sebentar. Ada yang mau aku obrolin,” kata Ilham.
Perkataannya sontak membuat Ela ingat akan ucapan Bu Hesti tempo hari.
Hatinya kembali berdebar.
Ilham menepikan motornya di gerbang taman bunga WIladatika. Taman yang dulu sering sekali dipakai syuting dengan ciri khas air mancur di tengah kolam bundar di tengah taman.
Berkali-kali Ilham menghela nafas, sambil terus berjalan melewati kumpulan tanaman dan bunga yang tertata rapi. Hingga keduanya berhenti di gazebo taman.
“Ela, ada yang mau aku tanyain,” kata Ilham terbata.
“Apa?”
“Ehm, kamu … seandainya ada yang berniat serius sama kamu, tapi kamu masih kuliah, apa kamu mau?”
“Siapa?” tanya Ela yang membuat Ilham bingung menjawab. “Langsung aja, ga usah pakai perumpamaan,” lanjutnya tak ingin membuat hatinya berdebar terlalu lama.
“I-tu … aku, berniat serius sama kamu.”
Ia kira setelah mendengar pernyataan langsung dari Ilham, jantungnya akan berirama normal lagi. nyatanya, justru semakin tak karuan.