SARJANA RUMAH TANGGA

Lail Arrubiya
Chapter #31

Bom Waktu

 Empat puluh hari, seperti kebiasaan orang sekitar, Ela baru diperbolehkan berpergian agak jauh dari rumahnya. Tentu saja Ela merasa harus kembali melanjutkan tugas magang yang belum selesai.

Selama ia cuti, ia sering mencuri waktu untuk mencicil bahan skripsinya. Ia tak ingin terlalu jauh tertinggal. Tapi jika suaminya tahu, biasanya akan melarang. Baginya masa istirahat ini benar-benar harus difokuskan untuk pemulihan kesehatannya paska melahirkan dan putranya.

Hingga malam itu, Ela mengutarakan keinginannya untuk segera kembali meneruskan tugas magangnya di SMK.

“Kamu yakin mau masuk sekarang. Faqih baru 40 hari, masa udah ditinggal,” kata Ilham berusaha menahan keinginan sang istri.

“Faqih, kan, dititp di rumah Mamah. Lagian aku ga bisa terlalu lama cuti, Mas. Aku … pengen lulus kuliah tepat waktu.”

“Ga usah buru-buru.”

“Mas,” sela Ela, “dari awal kita sepakat, aku tetap bisa melanjutkan kuliah seperti sebelum aku menikah. Aku harus lulus tepat waktu, Mas. Kamu tau, kan, segimana pengennya aku kuliah? Aku pengen orang tuaku bangga. Aku pengen mengangkat martabat keluargaku dengan aku lulus kuliah,” papar Ela dengan nada sedikit tegas.

“Tapi kamu harus pikirin Faqih juga. Dia masih butuh kamu.”

“Maksud kamu aku ga mikirin Faqih? Mas, kondisinya begini, ya mau gimana lagi. Aku ga bisa milih. Ini konsekuensi kita bareng-bareng, dong.”

Ilham menghela nafas. Ia merasa atmosfer percakapan sudah memanas. Ia tak ingin membuat suasana makin panas. Ia memilih pergi keluar kamar.

Suasana hati Ela juga langsung berubah. Tentu saja ia jadi sangat sensitif sekarang. Air mata mendadak mengalir di pipinya. Ucapan Ilham membuat hatinya terkoyak. Merasa Ilham menyalahkan dirinya karena harus meninggalkan sang buah hati demi kuliahnya.

Sambil menatap putranya yang terlelap, air matanya semakin deras mengalir. Berusaha diredam agar tak terdengar isaknya.

***

Ela merasa sudah tak masalah jika ia kembali ke sekolah untuk melanjutkan tugas magangnya. Pagi-pagi ia sudah menyiapkan diri dan keperluan sang putra yang akan dititipkan di rumah neneknya.

“Kamu yakin mau masuk hari ini?” tanya Ilham kedua kalinya.

“Yakin,” jawabnya singkat sambil memasukan keperluan putranya ke tas bayi.

Ilham tak bisa menahan keinginan istrinya untuk pergi ke sekolah hari ini.

“Aku yang anter ke rumah Mamah, ya.”

Ela hanya mengangguk. Maunya memang begitu, tapi hatinya masih kesal karena ucapan suaminya semalam.

Bukan hanya Ilham yang sedih melihat putranya yang masih empat puluh hari harus ditinggal-tinggal, dalam hati kecil Ela juga merasakan hal yang sama. Bahkan ia menangis ketika di angkot. Hatinya juga sedih, bahkan mungkin lebih sedih. Tapi rasanya, kali ini ia tak bisa memilih. Tak ada pilihan di sini. Ia masih harus tetap melanjutkan kuliah yang tak lama lagi akan selesai. Dan ia juga akan tetap berusaha menjadi istri dan ibu bagi keluarga kecilnya.

Lihat selengkapnya