Hari yang telah lama Ela nantikan. Lima tahun lebih. Gadis yang dulu berjalan di pematang sawah karena tak kebagian tempat duduk di angkutan pedesaan di desa kecil, pernah bermimpi mengenakan baju khas bagi mahasiswa yang sudah selesai dengan program studinya. Baju yang melambangkan pencapaian dan pengakuan bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya selama ada di jenjang ini.
Sedari subuh ia sudah siap dengan riasan tipis hasil belajar otodidak dari internet. Ia dan keluarga kecilnya akan menjemput keluarga Ela untuk ikut ke acara wisudanya. Dari rumah saja, perasaannya sudah bercampur baur. Sedikit gugup, haru dan bahagia. Ini hari yang diimpikannya sejak di desa kecil itu.
Dan, ya, tak bisa dipungkiri ada rasa yang mengingatkannya pada keluarga sang ayah. Ia tahu ini bukan perasaan yang baik. Bukan hal yang seharusnya terus ia dengungkan. Tapi, ia juga tak bisa memungkiri bahwa pada akhirnya ada rasa ingin menunjukan bahwa ia dan keluarganya bisa sampai di titik ini. Meski ia hanya anak dari seoran penjual es kelapa.
Juga muncul sebuah gambaran masa depan tentang karir yang ingin ia tapaki lagi. Kini bukan lagi karir sebagai seorang karyawan yang bekerja di kantoran dengan buku tebal dan laptop di depannya. Ia ingin menapaki karirnya sebagai seorang yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Di desa kecil saat itu, belum banyak warganya yang berprofesi sebagai guru. Profesi itu dipandang lebih mulia, lebih berpendidikan. Maka, makin bangga saja ia jika orang-orang di sana tahu ia akan jadi guru.
Wajah ayah dan ibu, kakek-nenek, serta adik-adiknya membuat perasaan haru muncul lebih dominan. Ia ingat, perjuangan mereka untuknya. Membuat ia sampai di detik ini. Lagi-lagi, terpatri dalam hatinya untuk bisa membahagiakan mereka yang sudah berkorban untuknya.
Juga, suami dan putra kecilnya. Dua lelaki ini juga berhasil membuat Ela terenyuh. Masih hangat dalam ingatannya betapa ia perlu perjuangan untuk sampai di titik ini. Dukungan suami yang terkadang terlalu mencintai anaknya, membuat percikan pertikaian muncul. Namun pada akhirnya mereka bisa lalui sampai di titik ini.
Sesampainya di Taman Mini Indonesia Indah, tepatnya di gedung Sasono Langen Budoyo, Ela memasuki ruang Wisuda. Sementara pendamping wisudawan berada di ruangan terpisah. Suami dan keluarganya yang lain menunggu di bangku luar gedung yang telah disediakan.
Ruangan ini dipenuhi mata-mata yang penuh binar semangat menapaki masa depan yang lebih cerah. Dari jau ia bisa melihat teman-temannya. Mereka tak bisa duduk bersama karena nomer bangku sudah ditentukan.
Acara berlangsung khidmat. Para Wisudawan mendengarkan setiap sambutan dengan takzim. Satu dua tetes air mata lolos begitu mendengar proses yang mereka lalui, kemudian gambaran masa depan. Tentang bagaimana seorang guru harus bersikap dan menanamkan niat ikhlas di hatinya. Demi mencerdaskan anak bangsa. Di mana kelak tantangan guru akan semakin besar. Mungkin, bisa jadi bukan hanya anak-anaknya yang dididik, tapi orang tuanya pun perlu diberi perhatian agar bisa mendukung proses belajar-mengajar guru.
Kemudian satu persatu nama wisudawan dipanggil ke atas podium megah. Tali toga yang berada di sebelah kiri dipindahkan ke kanan. Kemudian dikalungkan medali wisuda bertuliskan nama kampusnya. Diserahkan selongsong yang sedari gladibersih sudah diingatkan cara menerimanya.
Saat nama Ela dipanggil dengan gelarnya, mendadak hatinya dipenuhi gemuruh haru dan bahagia. Mimpi yang ia bangun sejak di desa kecil, di tempat yang menganggap bahwa gadis desa tak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Cukup pandai mengerjakan pekerjaan rumah, beres.
Kini mimpi itu sudah terwuju. Orang tuanya bisa melihat anak perempuannya melenggang menuju podium dengan baju khas sarjana, dengan selempang bertuliskan nama dan gelarnya. Lela Sari, S.Pd.
Seakan gambaran masa depan yang cerah tengah menunggunya. Pintu sukses terbuka menampakan cahaya terang yang akan segera ia raih.
Tanpa sadar ia meneteskan air mata saat tali di toganya dipindahkan. Ini seakan simbolis pengukuhan gelarnya. Pengukuhan masa depan yang harus lebih baik. Pengukuhan tentang pengakuan yang harus ia dapat dari pihak luar.
Dengan suka cita Ela yang sudah selesai dengan prosesi wisudanya sibuk memotret apapun yang berkaitan dengan pengukuhannya hari ini. Hal itu wajar untuk saat ini. semua wisudawan melakukan itu. Membagikan momen berharga ini di berbagai platform berbagi.
Tapi niat manusia itu selalu berbeda. Meski dominan dengan rasa bahagia, tapi ada rasa angkuh yang terselip di hati Ela. Sengaja ia posting segala tentang mimpinya ini. Yakin sekali kalau keluarga ayahnya akan melihat ia meraih gelar sarjananya.
Rasa angkuh ini yang kelak akan membakarnya sendiri.