Kini usia Faqih sudah menginjak tiga tahun. Sudah lebih aktif dari sekedar mengacak-ngacak hasil perjuangan ibunya menyusun skripsi. Mainan, buku bahkan perabotan rumah tangga bisa ia gunakan untuk mainan.
Dalam palung hatinya, Ela masih bergelut dengan hati yang terus menggerutu. Gerutuan yang kadang tertimbun oleh kejadian menyenangkan, terlupakan. Lalu kemudian teringat lagi saat ada pemicu untuk mengingatnya. Menggerutu lagi. menyalahkan kenapa ia tak bekerja saja. Nyaris dua tahun ia memendam semua itu.
Ada satu hal lagi yang memperkeruh gerutuannya. Sosial media dan dunia maya. Dua sisi itu nyaris membobrokan wawasan yang telah ia terima selama belajar di bangku kuliah.
Di sela waktu istirahatnya dari rutinitas ibu dengan anak yang sedang aktif, Ela menikmati kesendiriannya berselancar di dunia maya. Menikmati nelangsa yang sebenarnya ia ciptakan sendiri.
Sebuah video milik temannya mampir di beranda sosial media miliknya. Teman satu angkatannya dulu. Ia memposting video saat tengah mengajar anak SMA. Mengajar dengan cara yang sangat menyenangkan, membuat teman Ela mendapat slempang dengan gelar ‘Guru Ter-Effort’. Temannya berfose dengan senyum mengembang, lebar sekali sampai memperlihatkan barisan giginya.
Temanya benar-benar mengimplementasikan ilmu yang di dapat saat kuliah untuk mengajar sekarang. Bukan hanya itu, saat Hari Guru tiba, foto teman-temannya yang mendapat bingkisan dari murid atau orang tua semakin membuatnya menggerutu.
Harusnya aku juga bisa begitu.
Bukan hanya unggahan temannya membuat Ela menggerutu, menyesali dan bertanya-tanya kapan dia bisa seperti itu. Tapi unggahan yang bahkan ia sendiri tak kenal siapa pengunggahnya. Video dari content creator, yang isi videonya pasti beragam. Mulai yang bermanfaat sampai yang ‘katanya’ bermanfaat meski sekedar hiburan. Ela lebih sering menonton video yang berkedok motivasi agar istri tidak bergantung pada suami.
Nyari istri apa nyari babu?
Kalimat itu tertulis di dalam video yang Ela tonton. Memperlihatkan istri yang sibuk masak, cuci baju, menyiapkan keperluan anak dan suami. Dengan pakaian kebangsaan emak-emak, daster. Di dramatisir dengan dandanannya. Daster compang camping, rambut berantakan. Telihat sekali seakan istri seakan pembantu di rumah.
Ela menghela nafas. Mengingat dan merasa ia juga seperti itu. Terlebih suaminya sangat suka makanan rumah. Sehingga meminta Ela untuk masak setiap hari. Meski Ela memang suka memasak, tapi ia merasa ada kalanya ia malas pergi ke dapur. Memaksakan diri bergelut denga kompor, minyak panas dan bumbu dapur. Membuat ia sering kali tampil kucel saat bertemu orang.
Lain hari, ia kembali menemui video-video berkedok membela hak wanita. Ya, menemui. Ia sengaja menekan tombol suka, hingga algoritma membarinya konten serupa.
Kali ini video tentang wanita yang takut menikah. Ela mengenal wanita yang membuat video itu. Seorang model yang batal menikah dengan artis ternama Indonesia. Entah menyindir karena batal nikah atau memang sebenarnya ia enggan menikah.
Wanita jangkung dengan make up cetar berpadu dengan baju sexy yang memperlihatkan lekuk tubuh anggunnya. Eksotis memang. Wanita seperti Ela saja mengakui kecantikannya.
Si model cantik yang hendak memakai cincin nikah di jarinya mendadak mengeluarkannya lagi. diganti dengn transisi video lain yang memperlihatkan dia tengah menggosok pakaian dengan latar gunung cucian, serta membersihkan toilet dengan baju mirip seorang ART. Seakan gambaran cantiknya hari ini akan berubah menyedihkan jika sudah terikat komitmen.
Maka seketika ia melempar cincin nikah itu, pergi melambaikan tangan dengan tersenyum. Membuat yang menontonnya berpikir apa menikah semenakutkan itu.
Tapi kali ini Ela kembali mengangguk. Menikah memang begitu bagi perempuan. Hanya berkutat dengan pekerjaan rumah. Tak bisa cantik bak model yang batal menikah itu.
Tapi dua video itu belum mampu mengeluarkan egonya dari benak selama ini. Mungkin kali ini egonya disentil.
Mau jajan aja mesti nunggu suami gajian. Mana enak?
Iya, selama ini dia memang mengandalkan gaji suaminya. Membuatnya harus menahan-nahan keinginannya sendiri. Mengutamakan kepentingan suami dan anak. Ia mengingat kapan terakhir kali ia membeli baju. Terakhir kali ia membeli buku kesukaannya. Sudah lama sekali.