SARU [Kumpulan Cerita]

Rizky Anna
Chapter #7

Saru!


JUMAT, 27 Juli 2007

Ini diary pertamaku. Aku bingung mau nulis apa... Jadi, aku mulai perkenalan dulu deh.

Namaku Saru Handayani, umur 12 tahun. Kata Ibuk, namaku seharusnya Sari Handayani, tapi karena waktu kecil aku sering sakit jadinya Ibuk membuatkan bubur merah-putih & mengganti namaku. Aku nda tahu kenapa mereka mengganti Sari jadi Saru, mungkin karena mereka malas mikir. Atau nda ada waktu untuk mikir karena sibuk bekerja.

Aku sangat suka namaku. Saru. Aku sering menulisnya jadi Sharu. Mirip Sharu Khan, artis India yang sering ditonton Bulek Ning setiap akhir pekan, lewat kaset bajakan yang dibeli di pasar. Karena namaku mirip nama India, aku jadi senang menemani Bulek Ning nonton film Bollywood (dulu kukira tulisannya boliwut).

Lama-lama, aku jadi suka semua hal tentang India. Kecantikan mereka yang nda harus kurus & berkulit putih kayak Barbie (soalnya kulitku juga cokelat & pipiku cabi), makanan-makanan yang kayaknya enak-enak (aku penasaran banget sama jalebi), aku juga salut sama orangnya yang selalu tertawa & menari meskipun sedang bersedih. Aku pengen begitu juga. Aku capek sering nangis setiap dimarahin Bapak. Apalagi kalau ketahuan, Bapak bisa lebih galak lagi. Katanya, anak cewek nda boleh nangis. Cengeng. Kayak Ibuk. Kayak Ibuk? Padahal aku nda pernah lihat Ibuk nangis, Ibuk lebih sering diam saat di rumah.

Pelan-pelan, aku juga belajar tarian India. Lupa-lupa ingat sih... soalnya aku nda berani muter kaset sendiri & pegang-pegang barang Bulek Ning. Kadang-kadang aku campur dengan gerakan bikinanku. Awalnya perutku sakit karena tarian India banyak gerakan megolnya, tapi lama-lama terbiasa juga...

Waktu itu, aku pernah di rumah sendirian karena Bulek Ning belum pulang dari pasar & Mbah Uti lagi pengajian (kalau Bapak & Ibuk kerja, aku dititipin ke rumah Mbah Uti). Aku bosen banget & joget-joget India sambil ngaca di cermin lemari yang ada di ruang tamu, deket TV. Waktu aku joget, Lek Budi pulang. Dia adeknya Bapak sekaligus masnya Bulek Ning (Bulek Ning anak ragilnya Mbah Uti & selisih 10 tahun denganku). Sebenernya aku malu, canggung. Soalnya Lek Budi jarang ngomong, jarang di rumah. Tapi pas aku berhenti joget, Lek Budi malah ngomong: nda papa, lanjutin aja, kamu pinter joget, bagus.

Lek Budi langsung masuk, nda tahu mau ngapain. Aku langsung duduk, malu. Tapi aku juga seneng. Selama ini, nda pernah ada yang muji aku. Ibuk & Bapak aja nda pernah. Malah aku pernah denger Bapak memarahi Bulek Ning karena nonton India, katanya “Saru!” Jadi, saat Lek Budi muji jogetku bagus, aku malah pengen nangis... tapi aku nda boleh nangis.

Duh, kok malah jadi bahas soal Lek Budi ya... sudah dulu deh nulisnya...

Tertanda, Sharu.

*

Kakiku lunglai. Pandanganku buyar. Dan sepertinya, kesadaranku turut menguar seiring suara salam silih berganti, bertalu-talu di ruang tamu. Ini hari ketiga, tamu tak henti-hentimya berdatangan. Dan sudah tiga hari penuh aku tidak menemui satu tamu pun.

Aku memilih meringkuk di dalam kamar. Menyecap setiap kenangan saat kami masih bersama. Meski hatiku dibuat hancur karenanya, sebab aku tidak hadir pada saat terakhir. Aku tak ada saat ia membutuhkanku.

Tercetak dengan jelas betapa dulu aku begitu dekat dengannya. Kami selalu bermain dan pergi bersama. Orang-orang selalu mengatakan bahwa kami bagaikan kakak beradik kandung. Wajah kami mirip, sifat kami juga. Aku pun sempat berharap demikian, menjadi saudara kandungnya. Serahim dan serasa.

*

Minggu, 26 Agustus 2007

Aku anak tunggal, nda punya siapa-siapa. Aku sering kesepian. Walaupun aku nda punya adek, tapi sejak masuk TK aku sudah tidur sendiri, pisah sama Bapak & Ibuk. Waktu awal tidur di kamar sendiri, aku takut banget. Aku takut gelap. Aku takut sendirian. Aku takut kalau ada monster bayangan yang narik selimut. Aku takut kalau pas bangun, tiba-tiba ada rambut panjang di depan mataku. Aku takut kalau guling yang aku peluk ternyata adalah pocong. Aku takut kalau ternyata Bapak nyuruh aku tidur sendiri supaya bisa bikin adek. Soalnya Mala juga begitu. Dan kata Mala, punya adek itu nda enak.

Tapi... yang paling bikin aku takut adalah cecak. Aku yakin semua orang di dunia ini juga sangat benci cecak. Bapak sering mlinteng cecak pakai karet, katanya itu sunah. Aku nda paham kenapa sunah, padahal ‘kan membunuh makhluk hidup itu dosa? Entahlah. Aku lebih suka alasan Ibuk yang mengusir cecak (mengusir, bukan membunuh) agar teleknya nda berceceran & jadi najis. Kata Bulek Ning malah suara cecak itu pertanda. Kalau cecaknya berdecak 5x, berarti ada arwah leluhur yang sowan ke rumah. Kita harus mengucap salam. Kalau berdecak 7x, artinya ada pocong di ruangan itu. Kalau 9x, berarti ada kerabat yang mau meninggal. Tapi aku nda begitu percaya karena Bulek Ning memang suka menakut-nakuti aku supaya nda banyak omong.

Aku juga nda tahu pasti alasan ketakutanku. Tapi aku takut cecak. Coba lihat matanya yang hitam mentolo. Hiiii.... kayak nda pernah diajarin sopan santun. Padahal Mbah Uti sering bilang kalau kita nda boleh lihatin orang sampai mendelik gitu, nda sopan, bisa bikin orang lain tersinggung. 

Setelah masuk SD, ada temenku yang matanya mendelik kayak cecak. Namanya Sawung, kulitnya cokelat kayak sawo bosok. Kelakuannya juga bosok. Sejak kecil sudah cabul. Kelas 2 SD, dia ngajarin murid cowok lain naruh kerotan yang ada kacanya di antara tali sepatu buat ngintip celana dalam murid-murid cewek. Mala pernah nda pakai CD karena belum pada kering. Musim hujan. Ndilalah hari itu dia kena apes, jadi tumbal Sawung CS. Kasihan, sampai nda masuk seminggu karena malu. Kelas 3 SD, kami mulai boleh menulis pakai pulpen (kelas 1—2 pakai patelot). Sawung dengan bangga memamerkan pulpennya yang berwarna kuning-putih. Lebih besar & tebal dari milik kami. Setengahnya bergambar cewek pakai pakaian yang kekurangan bahan. Begitu dibalik, pakaiannya bisa melorot. Melorot! Cewek yang ada di gambar jadi telanjang. Dia nda boleh masuk sekolah seminggu setelah aku (diam-diam) melaporkannya ke guru kelas.

Kelas 4 SD, Sawung pernah nguping waktu aku & temen-temen bahas soal dada yang mulai mringkili. Rasanya sakit, apalagi kalau disentuh. Kayak ada kerikil di dalam pentil. Eh, aku boleh nda ya nulis pentil di sini? Nda papa deh... Nah, setelah nguping itu, tingkah Sawung makin cabul lagi. Dia seneng banget njiwit¹ pentil temen-temenku. Tapi aku nda pernah jadi korban, syukurlah... kata Mala sih mereka pada takut sama Lek Budi. Padahal Lek Budi baik. Dia nda pernah marah, nda pernah cabul kayak Sawung. Walaupun Lek Budi sering ngarit², cari ramban³ buat kambing-kambing Mah Uti, dia selalu menyempatkan diri buat ngobrol sama aku. Sejak Lek Budi lihat aku joget, dia jadi sering tanya-tanya ke aku. Dia nda seramah Bulek Ning, aku kadang juga bingung karena Lek Budi sering nda fokus saat aku jawab pertanyaannya atau cerita ke dia. Tapi aku seneng karena mata Lek Budi nda mentolo⁴ kayak cecak & Sawung. Lek Budi jarang senyum, tapi wajahnya nda serem kayak Bapak.

Aku juga pernah tanya ke Lek Budi: Lek, boleh nda sih cah lanang⁵nyubit dada cah wedok⁶? Lek Budi kayak kaget, tapi nda jawab apa-apa. Aku lanjut cerita soal Sawung. Lek Budi malah nepuk-nepuk pupunya⁷, nyuruh aku duduk di sana. Dipangku. Aku nda mau, Bapak aja nda pernah mangku aku. Lek Budi bilang nda papa. Aku ragu, tapi akhirnya nurut. Aku duduk madep⁸ samping, tapi Lek Budi mbuka kakiku sampai aku madep ke dia.

LB: Nduk Yani pernah dicubit Sawung juga? (Dia satu-satunya orang yang manggil aku Yani, nda tahu kenapa...)

SH: Nda pernah... (Aku nda berani bilang kalau mereka takut sama Lek Budi)

LB: Itu nda baik. Masa dada dicubit-cubit...

SH: Iya, Lek. Sakit. Di dalamnya kayak ada kerikil kasar.

LB: Oh ya?

Aku sudah mangap, baru mau jawab, tapi tangan Lek Budi sudah megang dadaku dari luar. Dia juga lihatin dadaku, fokus sekali kayak wajah anak-anak SD yang disuruh meneliti pertumbuhan kacang ijo jadi cambah. Lama-lama Lek Budi buka baju & kaos poretku. Dia lihat ke mataku, nda tahu maksudnya, tatapannya mirip saat aku pengen beli kue pukis di pasar tapi nda berani bilang ke Ibuk. Apakah Lek Budi sedang minta izin? Entahlah. Waktu itu aku diem aja, mungkin kalau dipegang pas pakai baju, kerikilnya nda kerasa. Makanya Lek Budi buka bajuku.

Tangan Lek Budi masuk setengah, tapi yang gerak cuma jempolnya. Awalnya sakit, padahal Lek Budi cuma ngelus pelan. Aku jadi kasihan sama temen-temen yang dicubiti Sawung CS (bahkan denger-denger, Mbak Ais, kakak kelas yang pernah nunggak & dadanya lebih gede, pernah diremes waktu mau menghindari jiwitan Sawung). Pasti rasanya lebih sakit... Lek Budi kayaknya tahu kalau aku nda nyaman. Terus, nda tahu gimana, lama-lama elusan Lek Budi jadi berubah. Agak geli, tapi enak. Nyaman. Tangannya yang masuk ke bajuku cuma satu, tangan satunya megang pupuku, mungkin biar aku nda nggledak⁹.

Lek Budi tanya: Enak, ya, Nduk Yani? Aku nunduk aja, malu. Lek Budi ngomong lagi: Memang seharusnya begini, bukan dicubit, saru.

Aku malah bersuara aneh. Kayak suara pas berhasil beol setelah berhari-hari bebelen¹⁰. Aku lihat ada yang gerak di celana Lek Budi. Aku kaget. Lek Budi kaget. Dia langsung nurunin aku & lari ke kamar mandi. Mungkinkah Lek Budi ngebrok¹¹? Aku nda tahu pasti, aku juga nda berani tanya-tanya.

Tuh, ‘kan, jadi bahas Lek Budi lagi.... Padahal tadi lagi bahas mata cecak yang mentolo & cabul. Tapi memang loh... apalagi kalau cecaknya nemplok di tembok kamar mandi, hiiii.... Seolah mereka tahu kalau aku mau mandi, soalnya nda mau pergi meski sudah aku ciprati air. (Pernah lampunya sampai berasap karena kena air, aku jadi disabet Bapak pakai anduk.) Matanya yang bulat hitam, akan semakin membesar begitu aku membuka pakaian. Padahal, kata Bulek Ning, nda baik ngintip orang yang lagi mandi, nanti bisa trimbilen. Sedangkan cecak-cecak cabul itu... Kayaknya memang cecak sengaja diciptakan menjadi cabul, makanya disunahkan untuk diplinteng.

Tertanda, Sharu.

Lihat selengkapnya