HARI INI Selasa Pon. Mamak pergi ke langgar untuk rutinan. Itu artinya, aku di rumah sendirian karena Bapak bekerja hingga petang. Sebagai bocah lanang yang tinggal di kampung dan memiliki prinsip “hidup untuk bermain”, aku segera mengabarkannya kepada Mas Bimbo—salah satu kawan mainku yang usianya tiga tahun lebih tua. Ia begitu antusias, matanya berbinar seolah mendapat kabar akan ada artis yang shooting di kampung kami.
Lalu, tiba-tiba dan secara sepihak, ia membuat janji untuk bertemu di bawah pohon beringin selepas lohor. Ia berlalu begitu saja sebelum aku sempat mengangguk atau menunjukkan gelagat persetujuan lainnya. Ingin rasanya mengumpat tepat di depan wajahnya yang tengil. Namun, aku dididik untuk tidak pernah mengecewakan orang lain. Kata Bapak, lelaki sejati ialah yang menepati janji. Jadi, di sinilah aku sekarang. Duduk di bawah pohon beringin yang disakralkan seluruh warga, sembari menyipit menahan cemlorot matahari yang menghunjam mata.
Lima. Sepuluh. Tujuh belas. Dua puluh tiga menit berlalu sia-sia.
Entah sudah berapa kali aku menggaruk paha dan tangan yang digigit semut nyangkrang. Sesekali aku juga mengibaskan area leher yang terkena sulur. Mas Bimbo masih belum datang. Seandainya aku tak ingat bahwa aku sedang berada di bawah pohon beringin, barangkali sumpah serapah telah bercucuran keluar dari mulut sejak menit pertama. Namun, tentu saja kuurungkan—atau tepatnya berusaha kutahan—sebab pohon itu bukan sembarang pohon. Ia bukan sekadar pohon tua nan megah.
Konon, pohon itu sudah merajai sudut dusun jauh sebelum Mbah Buyutku lahir dan tetap kokoh berdiri meski kampung Mbringin berkali-kali dilanda banjir. Beberapa kali warga telah mencoba menebang demi kepentingan dan keamanan bersama. Mulai dari gergaji, buldoser, menyemprotkan larutan kimia, meminta doa dari ulama, pendeta, dukun; hingga memendam ayam cemani yang menetas pada malam Jumat Kliwon dan dibesarkan seperti anak sendiri. Tidak ada yang berhasil. Malah orang-orang yang terlibat dalam agenda penebangan meriang selama tiga harmal.
Ada juga yang melihat seuntai kain merah menjulur di antara sulur-sulur, di atasnya ada gumpalan hitam memanjang seperti rambut yang telah puluhan tahun tidak mengenal sampo. Ketika angin bertiup dan menyibakkan gumpalan rambutnya, ia mendelik sembari tertawa ngakak, seolah hendak mengatakan ia lebih berkuasa daripada manusia. Tidak ada yang bisa menggusur singgasananya.
Mengingat cerita itu, bulu tengkukku meremang seketika. Kutelan ludah dengan susah payah dan membaca doa apa pun yang terlintas di kepala. Beruntung, tak lama kemudian Mas Bimbo datang dengan sepedanya. Ia sempat celingukan ke sekitar, sebelum akhirnya menghampiriku dengan bibir tersungging seolah tak merasa berdosa setelah membuatku menunggu lama. Tanpa salam dan permintaan maaf, Mas Bimbo lantas mendaratkan pantat di sampingku. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan yang lecek—satu di antaranya menampilkan Kapiten Pattimura yang berjanggut, bermata satu, dan bertopi hitam lebar seperti sosok bajak laut pada pembuka kartun Spongebob Squarepants. Di sampingnya, tertulis nomor telepon entah milik siapa.
“Duitku cuma tiga ribu. Masih kurang. Kamu punya seribu ndak?”
Kutatap mata Mas Bimbo lekat-lekat. Dia ini manusia tidak tahu malu atau tidak tahu diri, sih?
“Sampeyan nyuruh aku ke sini, nunggu setengah jam sendirian, cuma buat utang seribu rupiah?”
“Punya ndak?”
Kurogoh saku celana. Ada dua lembar seribuan yang seketika dirampas dari tanganku. Dengan semringah Mas Bimbo berseru, “Pas!”
“Tapi itu dua ribu!”
“Sudahlah, yang seribu bisa buat beli es Marimas. Dapat dua plastik, pas buat aku dan kamu.”
“Ndak, aku mau Teh Sisri aja.”
“Iya, iya. Es Teh Sisri aja.”
Demi mengakhiri perdebatan merek minuman serbuk yang hendak kami tenggak, Mas Bimbo memintaku mengikutinya naik sepeda. Sepeda Mas Bimbo kecil, warnanya sudah mengelupas hingga menampilkan karat-karat di sekujur badan sepeda. Aku tentu saja menolak ketika Mas Bimbo memintaku duduk miring di besi depan. Maka, mau tak mau aku harus berdiri, beralaskan secuil besi yang nylongat di sisi roda belakang. Seolah mengabaikan matahari yang masih bertahta penuh jemawa, Mas Bimbo menekan pedalnya, melaju menembus terik sang surya.
Mas Bimbo menghentikan sepeda tepat di depan rumah sederhana. Aneka rupa sandal memenuhi teras, meski aku tak mendengar satu pun tanda keramaian di dalam. Di atas, tergantung spanduk bertuliskan “Sat_Net”. Mas Bimbo mengerlingkan mata, memberi kode agar aku mengikutinya masuk. Aku menurut saja tanpa banyak bertanya, meski sebetulnya aku sedikit curiga karena Mas Bimbo seringkali menipuku.
Begitu masuk, mataku langsung menangkap belasan benda kotak dengan kabel menjalar seperti sulur beringin. Benda itu lebih pipih dari TV di rumah. Beberapa kepala menyembul dari balik layar, dari bocah ingusan yang seumuranku hingga mas-mas berkacamata tebal. Ada juga cewek-cowok yang duduk berdekatan sembari cekikikan. Sesekali Mas Bimbo menyapa mereka. Dalam benak, aku mencoba mengingat wajah-wajah itu—yang hanya berakhir buntu.
Bagaimana Mas Bimbo bisa mengenal mereka? Bagaimana Mas Bimbo bisa tahu tempat ini? Apakah TV di rumah Mas Bimbo rusak, tapi kenapa dia tidak menumpang nonton di rumahku saja? Namun, semua pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam benak. Selain yakin pertanyaanku takkan dijawab, Mas Bimbo juga sudah duduk pada bilik paling pojok dan menepuk ruang kosong di samping bokongnya, menyuruhku duduk.
“Ini namanya komputer.”
Ternyata itu bukan TV. Bukan pula tempat PS—seperti yang pernah Mas Bimbo kenalkan dulu dan memicu tanda merah di telingaku sebab dijewer Mamak karena keasyikan main PS hingga bolos mengaji. Layar itu menampilkan gambar lumba-lumba dengan kotak-kotak di sudut kiri atas yang menawarkan beberapa pilihan. Aku tak tahu maksudnya, Mas Bimbo juga telah menekannya secepat kilat. Seolah ia telah menguasai layar dan benda mblendung berwarna hitam yang memenuhi genggaman tangannya. Benda hitam itu terhubung dengan kabel dan bergerak di atas alas tipis berlapis kain koyak bergambar wajah perempuan asing dan tulisan Queen Marry. Berikutnya, baru aku tahu benda dalam genggaman itu bernama tetikus alias mouse—yang dieja “mosh” oleh Mas Bimbo.
Setelah melewati sekian detik bagi Mas Bimbo untuk menekan tombol huruf-huruf yang tersimpan di laci, layar tadi seketika menampilkan sebuah laman berlatar hitam dengan daftar aneka video yang terpampang. Ealah, benar ‘kan, Mas Bimbo cuma mau nonton film... Saat tanda panah diarahkan ke salah satu video, Mas Bimbo menghentikan gerakan tangannya pada tetikus. Ia memintaku menggeser pantat hingga menempel dengan pantatnya. Kemudian memintaku memakai penyumpal telinga raksasa yang ukurannya lebih besar dari telingaku.
Sebelum kembali berselancar bersama tetikus, ia sempat berbisik, “Jangan bilang siapa-siapa, lho!” Aku mengangguk. “Awas, jangan kaget!”
Aku mengernyitkan dahi, kecurigaanku pada manusia tengik yang sialnya jadi sahabatku ini semakin bertambah. Namun, Mas Bimbo rupanya tak peduli. Seketika ia menekan tetikus yang sontak memicu suara gemuruh yang memenuhi telinga. Saat aku menoleh ke depan, telah terpampang dua manusia telanjang yang saling menindih. Sedang apakah mereka? Seketika aku memejamkan mata, tetapi dengan sedikit terbuka—karena tanpa bisa dibendung, rasa penasaran tetap muncul.