SARU [Kumpulan Cerita]

Rizky Anna
Chapter #3

SepOtong Mimpi


KUHENTIKAN laju motor tepat ketika aku menyadari pegal mulai menjalar ke kedua tangan. Entah sudah berapa lama dan jauh aku berkendara, tetapi perasaanku tak kunjung membaik jua. Kupejamkan mata sesaat sembari menghela napas panjang. Yang terlintas malah wajah Marni yang seketika membuatku semakin jengkel.

Aku sudah curiga padanya sejak setahun belakangan, ketika Marni menyembunyikan hasil pemeriksaan dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

“Kita hanya perlu berusaha lebih keras dan sabar,” katanya dengan gusar.

Namun, sampai sekarang, kami tak juga mendapatkan hasil meski telah mengerahkan berbagai cara. Mulai dari pengobatan medis, minum jamu-jamu herbal yang pahitnya bisa bikin aku terjengkang sampai kerak neraka, menjaga pola makan dan hidup sehat, bahkan rutin minum air mantra dari Mbah Oyon.

Hasilnya? Nihil. Tidak ada satu pun yang berhasil. Marni masih tak kunjung hamil. Ternyata wajah cantik dan tubuh montok tak menjamin kesempurnaan. Sia-sia betul aku menikah dengan perempuan yang tidak bisa memberiku keturunan. Bahkan setelah ia—terpaksa—resign dari pekerjaannya.

Nah, ‘kan. Bayangan wajah Marni malah mengingatkanku pada segumpal sesak.

Saat aku membuka mata secara perlahan demi mengusir wajah Marni dari ingatan, aku baru sadar sedang berhenti di jalan kecil yang diapit ratusan pepohonan menjulang. Tempat yang begitu asing dan lembab. Aku belum pernah melewati jalan ini sebelumnya. Mungkinkah aku telah berada di luar kota? Sebegitu jauh kah aku berkendara? Belum sempat kutemukan jawaban, kurasakan rintik demi rintik hujan menghunjami kaca helm. Maka, kuputuskan untuk berteduh di pondok kecil yang berdiri sekitar seratus meter dari muka. Sepertinya itu warung kopi, sebab terlihat beberapa pria yang duduk dan saling bercakap.

Begitu aku masuk ke kedai sempit dan gelap itu, seluruh mata seketika menyambutku dengan berbagai tatapan yang sulit aku tafsirkan.

“Maaf, Pak, sepertinya saya tersesat. Ini di daerah mana, ya?”

“Jauhari.” Seseorang yang duduk di pojok menyahut, tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

“Desa Jauhari? Saya belum pernah mendengarnya.”

“Negeri Jauhari.”

He?

Mereka tampak tak peduli dengan kedunguanku. Beberapa kembali sibuk dengan urusan masing-masing, ada juga yang malah memperhatikan pakaianku. Nahas betul, aku keluar hingga negeri antah berantah, tetapi lupa mengganti celana dengan model yang lebih pantas. Walhasil, aku hanya memakai celana tidur tipis.

“Anak ini dari mana dan hendak ke mana?” Pria berjenggot kelabu mencoba bersikap ramah.

“Saya dari Mekarsari.”

“Oh, Mekarsari...”

“Bapak tahu?”

“Tidak.”

Hening kembali menyelimuti.

“Ini tempat apa ya, Pak? Apakah warung kopi?” Aku mencoba berbasa-basi.

Pria yang duduk di pojokan menertawakan pertanyaanku. Beberapa dari mereka melayangkan tatap seolah aku ini adalah alien yang kehabisan bahan bakar UFO. Dan pertanyaanku dibiarkan mengambang tanpa jawaban begitu saja. Sialan.

Meski aku tidak tahu sedang berada di mana dan mulai tidak nyaman dengan sikap orang-orang ini, aku tak punya pilihan lain. Hujan semakin deras, memaksaku tetap tinggal dalam situasi serba canggung ini. Tak lama kemudian, ada seseorang yang keluar dari pintu, lalu memberi kode kepada pria yang duduk di pojok untuk lekas masuk. Sementara pria yang baru keluar itu pergi berjalan entah ke mana, menembus hujan begitu saja. Saat pria yang duduk di pojok tadi sudah hilang ditelan kegelapan ruangan, Pak Tua Berjenggot lantas melontarkan pertanyaan kepadaku—seolah sengaja menunggu si sialan itu pergi.

“Anak ini sedang ada masalah dengan istri, ya?”

Kedua alisku bertaut. “Dari mana Bapak tahu?”

Beliau terkekeh. “Tempat ini bukan sembarang tempat dan tidak sembarang orang bisa ke sini.”

“Tapi saya hanya tersesat, Pak. Kebetulan melihat pondok ini, jadi saya mampir.”

“Tidak, Nak. Tidak ada yang kebetulan di sini, semua yang terjadi sudah diatur. Kau bisa menemukan tempat ini karena kau memang harus kemari.”

Aku tak tahu apa yang dimaksud Pak Tua Berjenggot—kusebut begini saja karena aku sungkan menanyakan namanya. Saat aku hendak bertanya lebih lanjut, seorang pemuda datang dengan wajah semringah. Sangat kontras dengan wajah manusia-manusia di sini yang penuh pasrah. Ia lantas membungkuk, memberi salam pada Pak Tua Berjenggot.

“Bahagia betul. Ada kabar baik apa, Mbul?” tanya Pak Tua Berjenggot kepadanya.

“Bagaimana saya tidak bergembira? Sebentar lagi saya akan menimang buah hati, Mbah.”

Hatiku agak mencelos mendengar jawaban itu. Aku juga ingin segera menimang buah hati... Beruntung aku tak mengenal pemuda itu, sehingga tidak perlu berpura-pura turut bersuka cita saat hatiku sendiri sedang berduka.

Lihat selengkapnya