KULIPAT kaki hingga telapaknya menyentuh bawah pantat. Sembari mengatur napas sesuai intruksi dari seorang perempuan di layar ponsel. Beruntung teknologi sudah maju, sehingga aku bisa mencari informasi terkait masalah yang sedang kuhadapi. Teknologi juga lah yang mempertemukanku dengan video berdurasi kurang dari seperempat jam ini.
Perlahan-lahan, kujatuhkan badan ke depan—dengan kaki yang masih tertekuk. Kedua tanganku lurus ke depan seolah sedang menyembah tembok. Kutunggu beberapa detik sembari merapalkan harap agar nyeri di perut lekas pergi.
Nyeri sialan. Menstruasi sialan!
Kuulangi adegan serupa selama beberapa kali dan diakhiri dengan gerakan pendinginan. Kubiarkan youtuber yang juga seorang instruktur yoga itu ngoceh tentang kesehatan sebagai closing statement. Saat aku merasakan nyeri-nyeri di perut sedikit mereda, ingatanku berkelana pada peristiwa tadi siang. Ketika Bu Yola memintaku presentasi di depan dan seisi kelas menertawakan bercak merah kecokelatan di sisi belakang rokku. Tak peduli dengan materi yang kusampaikan atau caraku presentasi, mereka terlalu terlena menertawakan setitik noda yang bahkan tidak aku kehendaki.
Teman-teman sialan!
Memang Bu Yola meminta semuanya diam dan kembali fokus pada pelajaran. Namun, tentu saja kehebohan tidak berhenti begitu saja—apalagi sikap santun Bu Yola yang tetap terlihat lembut meski sedang marah. Saat istirahat, kudengar segerombol teman perempuan sedang bergosip tentangku. Menurut mereka, aku menjadi “orang gede” terlalu cepat, padahal lulus SD pun belum. Sedangkan teman lelaki malah lancang menanyakan rambut kemaluanku sudah tumbuh atau belum.
Lelaki sialan!
Yang membuatku semakin merana, Desta ikut-ikutan menjauhiku. Padahal aku tidak punya teman selain dia. Takut kalau kami saling berdekatan, nanti aku bisa hamil, katanya. Sebenarnya aku ingin mendebat dan mengatakan, “Kamu ini hidup di era kapan, sih, Ta? Kok masih percaya ketololan seperti itu.” Namun, urung kulakukan karena aku telanjur kecewa. Sakit hati. Desta sialan!
Selepas olahraga begini, memang paling enak tiduran di atas lantai. Dingin-dingin asoy. Sembari mengumpat di dalam hati, meratapi nyeri perut dan sendi-sendi.
Aku jadi teringat belum sempat mengabari Mama perihal menstruasi pertamaku. Haruskah? Aku hampir tak pernah berbagi cerita dengannya. Bukan karena hubungan kami yang buruk, tetapi memang tak cocok saja. Beda generasi dan sudut pandang. Aku yang ogah ribet dan Mama si pemuja falsafah kuna.
Lagi pula, belakangan Mama sedang sibuk dengan serangan tikus di rumah. Entah datang dari mana, kemungkinan karena pembongkaran lahan kumuh yang tak jauh dari rumah kami. Mungkin tikus-tikus itu sedang mencari tempat berlindung, atau bisa juga balas dendam kepada manusia-manusia congkak, entahlah. Aku tidak mau repot-repot menambah beban pikiran Mama. Apalagi jika tidak ditanggapi dengan baik, malah menambah sakit hati.
“Yumi!”
Nah, ‘kan. Baru saja dibicarakan, suaranya langsung menggelegar. Mungkin Tuhan menghendaki Mama berumur panjang.
“Ketuk pintu dulu dong, Ma. Yumi kaget, nih.”
Mama berdecak, tangannya berkacak pinggang. “Halah. Orang masuk ke kamar anak sendiri.”
Aku menghela napas cukup panjang dan dalam. “Ada apa, Ma?”
“Kamu sudah mens?” Aku hanya berdeham. “Kok enggak mengabari Mama?”
“Belum sempat, Ma. Mama ‘kan terlalu sibuk mengurus para tikus.”
“Justru itu, Yum. Kamu tahu soal tikus-tikus itu ‘kan?” Lagi-lagi, aku hanya berdeham mengiyakan. “Jadi, kenapa kamu buang pembalut sembarangan?”
“Maksudnya? Yumi buang di tempat sampah toilet kok, dibungkus kresek.”
“Tapi enggak kamu cuci, ‘kan?”
“Loh? Mama buka kreseknya? Ngapain, sih, Ma?”
“Penasaran aja karena Mama enggak merasa buang kresek di sana.”
“Mama jorok, ih!”
“Kamu yang jorok. Kenapa enggak dicuci sampai bersih dulu?”
“Untuk?”
“Biar bersih dong, Yumi.”
“‘Kan enggak akan dipakai lagi? Tujuan diciptakannya pembalut sekali pakai ya supaya bisa langsung dibuang, Ma. Buang-buang air saja.”
“Memangnya kamu enggak takut kalau darah mensnya dijilat hantu?”
“Mitos.”
“Kalau beneran ada?”