SARU [Kumpulan Cerita]

Rizky Anna
Chapter #7

Kacuk


“TUMBEN pagi-pagi sudah wangi, mau jual diri ke mana lagi?”

Terdengar suara dari belakang, serak dan tak beraturan. Kulihat Suri menggeliat di balik selimutnya yang tipis, lalu mematikan kipas yang terpatri di dinding. Jika bukan demi kongsi biaya kos, sebetulnya aku lebih senang tidur sendirian.

Tak mendengar sepatah pun jawaban dariku, Suri lantas beranjak mendekat. Matanya melirik tajam ke arah pakaian yang tergantung di pintu almari.

“Lo mau pakai ini?”

Aku hanya berdeham.

“Enggak sekalian bugil?”

“Maunya sih begitu.” Kujawab asal saja, malas ribut dengannya pada pagi buta.

“Hera, kalau lo mau sinting, setidaknya jangan dipertontonkan begitu lah.” Suri terus berceracau. “Masa mau pergi pakai baju jaring-jaring begini? Pasti enggak pakai manset buat dalaman ‘kan? Mana ukurannya pendek banget. Selain norak, lo juga jadi kelihatan miskin. Baju kurang bahan kok dipakai.”

Suri, sungguh, aku tak peduli.

Sebetulnya, Suri orang yang baik. Dia sering membawakan makan malam untukku, meski hanya sebungkus nasi rames. Akan tetapi, aku tidak bisa menoleransi sifatnya yang suka ikut campur itu. Namun, karena aku malas mendebatnya, maka kubiarkan ia berkhotbah dengan mulut bau jigong.

Aku lebih tertarik mengobok tas make up dan menyoret-coret wajahku dengan riasan. Sembari mengabaikan Suri yang terus memberikan siraman rohani, kuraih botol minum yang berdiri tak jauh dari kasur. Kubuka tutupnya, lalu memasukkan seluruh bibirku ke dalam moncongnya. Kusedot udara di dalam botol selama beberapa saat, tutorial low budget untuk membikin bibir tampak tebal. Kutemukan trik ini dari video pendek yang muncul di linimasa media maya. Lantas, memoleskan gincu berwarna saga agar tampak lebih membara. Uh….

Saat aku mengganti piyama dengan pakaian “kurang bahan”, Suri seketika terdiam. Sepertinya Suri mulai sadar bahwa sampai bibirnya ndower pun, khotbahnya tidak akan memengaruhi pilihanku.

Selepas menyemprotkan parfum ke belakang telinga dan tengah-tengah payudara, aku segera melesat meninggalkan Suri yang masih menganga. Aku tak sabar bertemu dengan dunia yang serba edan di luar sana.

***

Hari ini aku tak pergi jauh. Hanya ke warung kopi Mas Modol yang berjarak setengah kilometer dari kos. Satu-satunya warkop yang buka 24 jam. Bukan karena Mas Modol gila harta, tetapi justru karena warungnya makin sepi, sehingga harus buka lebih lama.

“Mas, kopi susu satu, ya.”

Mau pakai susu bubuk, susu kental manis, susu murni, atau susunya Neng Hera? Sebetulnya, jawaban itulah yang ingin kudengar dari Mas Modol. Atau, kan sudah punya dua, besar-besar pula, masih kurang, ya, Neng?

Namun, yang kudapat hanya anggukan kecil tanpa ekspresi sama sekali. Sial.

Sembari menunggu Mas Modol mengocok campuran kopi dan susu—tentu saja, dia tidak berminat mengocok susuku—aku mendaratkan pantat di bangku depan. Tepat di tengah-tengah, supaya orang yang kemari bisa langsung melihatku. Pada saat itu, mataku menangkap aneka keripik yang dibungkus kecil-kecil. Saat aku mencoba menekannya dari luar kemasan, tekstur keripik itu sudah alot. Kasihan nian, pasti mereka sudah lama menunggu pembeli di sana. Sama sepertiku, sudah lama tidak laku.

Lihat selengkapnya