"SEJAK KAPAN kau jadi goblok begini sih, Ndin?"
Licca menyesap lintingan tembakaunya yang tinggal separuh. Separuhnya lagi sudah habis dibakar amarah selama menyaksikan sahabat di hadapannya menangis tersedu-sedu. Setengah jam sudah Andin terkulai di balkon apartemen Licca, tapi tangisnya tak kunjung reda.
"Namamu Angelicca, tapi mulutmu kasar sekali! Tidak ada anggun-anggunnya seperti bidadari," protes Andin di sela sengguknya.
"Memang kau goblok!" jawab Licca dengan enteng.
"Temanmu lagi sedih loh, Ca. Tidak ada kalimat afirmasi positif yang lebih baik kah?"
"Halah, afirmasi positif tahi kucing." Licca mengembuskan karbon monoksida dari mulut dan hidungnya, memberi jeda sesaat sebelum melanjutkan kalimat. "Kau itu perlu disadarkan. Kalimat positif hanya akan mengonfirmasi kegalauanmu, bukan menyadarkanmu."
"Dari artikel Psikologi yang aku baca, sedih kan juga perasaan yang perlu diekspresikan, Ca."
"Persetan dengan artikel Psikologi. Tidak semua yang kamu baca bisa ditelan mentah-mentah. Kau itu teman paling pintar yang pernah kukenal, Ndin. Kenapa pintarmu hilang kalau sudah berurusan dengan cinta dan pria?"
Andin tertunduk. Hidungnya sudah semerah saga sebab menangis terlalu lama. Lebih dari setengah jam, ia bahkan telah menangis seharian, sebelum datang ke apartemen Licca untuk pelarian. Namun, alih-alih mendapat dukungan, perempuan yang telah ia kenal selama belasan tahun itu malah menyemburnya dengan umpatan nan menyakitkan.
"Kamu mana paham soal cinta, Ca," ujar Andin. Suaranya teramat lirih.
"Maksudmu?"
"Kamu kan sama saja sepertiku. Bahkan mungkin kamu lebih bodoh karena menjual dirimu untuk memenuhi nafsu lelaki!"
Mendengar itu, bibir Licca tersungging. Ia lantas memampatkan puntung rokok ke dalam asbak sembari mengembuskan asap terakhir. Matanya beralih menatap tajam ke arah Andin.
"Setidaknya aku bisa mendapatkan keuntungan, Ndin. Tidak sepertimu. Mau saja diajak tidur tanpa imbalan apa pun."
"Karena aku cinta dia!"
"Tapi dia tidak mencintaimu!" Amarah Licca mulai terpancing. "Dia memintamu membuktikan cinta dengan menjamahmu. Lalu, apa bukti cintanya kepadamu?"
Di hadapannya, Andin kembali menangkup muka dengan kedua telapak. Pundaknya berguncang hebat, tak kuasa menahan sakit yang teramat berat. Meski mendengarkan ucapan Licca sama saja dengan mengucurkan nipis ke lukanya, tapi Andin pun menyadari kebenaran dari pernyataan karibnya itu.
Licca mengalah. Diturunkannya ego dan amarah demi memeluk Andin—satu-satunya manusia yang masih mau berteman tulus dengannya. Meski bodoh begitu, Andin selalu membantunya saat masa sulit. Barangkali, ini saat yang tepat untuk membalas kebaikannya: menjadi tempat bersandar.
Kedua tangan Andin masih terkatup menutup seisi muka yang telah medhok dan semerah kepiting rebus. Namun, ia tak menolak ketika Licca menariknya dalam dekapan. Membenamkan lukanya dalam dada Licca yang telah dicumbu banyak pria.
Ingatan Andin pada kejadian tadi pagi seketika menyeruak, ketika Bagas mengirimkan pesan untuk bertemu dengannya. Aku juga mau ngomong penting. balas Andin, tanpa imbuhan emoji bernuansa cinta seperti yang biasanya mereka gunakan. Tak sampai lima menit berselang, Bagas tiba di kos Andin.
"Kok cepat banget?"
"Iya, sudah dekat tadi. Mau memastikan dulu kamu di kos atau tidak."
"Ada apa, Gas? Tumben ke sini pagi-pagi."
Lelaki kurus di depannya hanya terpaku pada lantai. Perasaan Andin mulai tidak enak, tetapi ia sabar menunggu. Diamnya Bagas justru memberinya kesempatan lebih lama untuk menyusun kalimat permohonan pertanggungjawaban.
"Katanya kamu mau bilang sesuatu, apa?" tanya Bagas dengan terbata. Telinga Andin menangkap kegugupan dari nada bicara kekasihnya.
"Kamu dulu aja."
Bagas terdiam lagi. Ia mengembuskan napas panjang berkali-kali. Tidak beringas seperti Bagas yang Andin kenal. Setelah cukup lama, ia merogoh tas kecil yang tergantung di depan perut. Diserahkannya kertas bergambar bunga merah muda yang membingkai dua nama di tengahnya: Bagas dan Syilla.
Bagas? Syilla? Mata Andin sekonyong-konyong membulat, sebesar bola bekel. Air mata telah menggantung di pelupuk, mengaburkan pandangannya. Segera ia menengadah, meminta penjelasan pada lelaki yang tertunduk pasrah di seberangnya.
"Maaf, Ndin."
Tak ada penjelasan lanjut. Andin menggeleng keras. Bukan itu yang mau Andin dengar. Andin butuh penjelasan, bukan permintaan maaf.
"Aku sudah memikirkannya matang-matang, Ndin. Kamu baik, aku nyaman sama kamu, tapi Syilla-lah yang aku butuhkan."
Andin menampar pipinya sendiri, berharap semua ini hanya mimpi. Namun, alih-alih terbawa ke alam sadar, yang ada hanya rasa perih yang menjalar. Di pipinya, di hatinya.
Semalam suntuk Andin berperang dengan kantuk, dihantui rasa bersalah karena telah melanggar batas susila. Tengah malam ia duduk terkapar di depan bilik mandi, setelah menumpahkan isi perutnya. Ia selalu mual ketika ingat bahwa ada janin di dalam perutnya yang masih rata.
Pagi ini, saat matanya berbinar melihat notifikasi atas nama Bagas, ia berharap lelaki itu akan memberinya kekuatan. Jika Bagas tidak bisa mencari solusi, setidaknya mereka bisa berpelukan, saling berbagi rasa takut. Mengelus kepalanya hingga meruntuhkan helai demi helai kalut.
Namun, apa yang dia dapatkan? Tanpa rasa bersalah, Bagas malah menyerahkan secarik undangan. Selembar kertas itu saja sudah berhasil menghunus Andin dari berbagai sisi. Mencabik-cabik hatinya yang mendadak kering dan gersang. Dan siksaan bertambah ketika melihat nama Syilla di sana.
"Kenapa Syilla? Sejak kapan?" Kini tak ada lagi yang coba Andin tahan. Semua ia tumpahkan, meski kalimatnya tak jelas.
"Sejak awal aku sudah memperingatkanmu untuk tidak berharap terlalu jauh kepadaku, Ndin. Kau yang memaksa. Kau yang memilih tetap bersamaku. Kau memang teman yang baik dan menyenangkan, tapi tidak untuk dijadikan pasangan hidup."
"Kutanya, kenapa Syilla, Gas? Dan sejak kapan kalian menjalin hubungan?"
"Sejak kau memintaku mengantar Syilla pulang dari kosmu."
Bak disambar petir, air mata Andin seketika berhenti mengalir. Mungkin napas dan denyut nadinya juga. Ia tertawa pelan. Lama-lama tawanya berubah seperti orang kesetanan.