GAJAH mati meninggalkan gading, Dasimah mati kehilangan payudara.
Pagi-pagi buta, saat speaker musala melantunkan ayat-ayat suci sebelum azan, Bu Nurdin melihat Kusen melajukan motornya ke arah Selatan. Pemandangan yang tak lazim karena semua orang tahu, Kusen adalah orang paling malas sejagat raya. Tidak mungkin dia pergi mendahului matahari, buru-buru pula.
Berbekal rasa ingin tahu yang tinggi, Bu Nurdin segera ke rumah Kusen. Kakinya baru saja menginjak pekarangan, ketika aroma anyir menyeruak memenuhi indra penciuman. Segera ia menerobos pintu yang terbuka dan menemukan Dasimah telah terkapar bersimbah darah. Matanya nyaris menggelinding tatkala menyaksikan kedua payudara Dasimah telah hilang, menyisakan dua lubang merah yang menganga di tengah dada. Bu Nurdin segera melapor Pak RT.
Tak butuh waktu lama, kematian Dasimah segera menjadi buah bibir. Bukan hanya oleh tetangga selingkung, tapi juga seluruh penjuru negeri. Berdasarkan kesaksian Bu Nurdin, Kusen menjadi tersangka utama pembunuh dan pemutilasi Dasimah. Per pagi ini, Kusen resmi berstatus duda sekaligus buron.
Dasimah yang malang. Ia mati mengenaskan pada usianya yang baru menginjak kepala tiga. Meninggalkan lima anaknya yang semuanya masih kanak-kanak. Namun, ia masih beruntung—meski rasanya tak pantas membicarakan keberuntungan di atas kematian seseorang.
Dasimah cukup beruntung karena anak Bu Nurdin mempunyai teman yang bekerja di Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan (LPAP) di kota setempat. Anak Bu Nurdin juga menyebarkan foto dan video TKP (darah, luka, dan wajah Dasimah disamarkan) di media sosial.
Channel orang dalam dan tingkat viralitas suatu kasus sangat penting di era teknologi. Tanpa dua faktor itu, kecil kemungkinan kasus Dasimah bisa tuntas. Jadi, tanpa bermaksud kurang ajar, dapat dikatakan bahwa Dasimah beruntung karena mati saat segalanya serba digital. Jika nyawa Dasimah tidak selamat, setidaknya arwah Dasimah bisa tenang karena pelaku dijatuhi hukuman setimpal. Semoga.
Tepat seminggu setelah jasad Dasimah ditemukan, Kusen ditangkap oleh pihak berwenang. Ia bersembunyi di kampung sebelah. Temannya yang hendak membeli rokok, ketakutan saat berpapasan dengan segerombol polisi, dan seketika itu juga mengatakan Kusen ada di rumahnya.
Beberapa media nasional merilis foto Kusen berbaju oren sebagai headline. Alih-alih lega, khalayak kian geram karena Kusen tidak mengakui perbuatan kejinya. Namun, ibarat nasi sudah menjadi basi, kasus Dasimah telanjur viral, sehingga Kusen tidak bisa dibebaskan begitu saja. Ia ditahan sementara waktu sampai keputusan pengadilan. Sampai amarah massa meredam.
Sementara itu, desas-desus beredar di kampung. Kebanyakan soal sumpah serapah semoga Kusen dihukum mati. Ada pula yang menyebarkan informasi bahwa Kusen disiksa dan diperkosa bergilir oleh oknum tahanan lain dan penjaga. Entah rumor ini benar atau tidak, tetapi mayoritas warga mengaminkan.
Sementara Kusen ditangani pihak berwajib, kelima anak Dasimah diamankan ke panti asuhan terdekat, di bawah pengawasan LPAP dan dinas sosial. Anak pertamanya baru masuk SD, tampak murung dan belum berkata apa pun sejak ditemukan Bu Nurdin pagi itu.
Yang kedua berumur 6 tahun, hanya selisih 10 bulan dengan si sulung. Ia kehilangan gairah, tapi masih mau bermain dengan anak-anak panti yang lain, meski setiap malam terbangun dan menangis mencari ibunya.
Anak ketiga dan keempat kembar, berusia 1,5 tahun, mereka terlihat lebih tabah. Atau barangkali memang belum memahami situasi. Sedangkan yang bungsu masih merah kulitnya. Rewel karena selalu mencret setelah terpaksa menelan susu formula.
Kemalangan yang menimpa lima anak itu begitu saja menarik simpati publik. Mendatangkan donasi tanpa henti dari relawan, dermawan, yayasan sosial, bahkan perwakilan partai pun enggan ketinggalan. Selebriti tersohor dan beberapa pasutri kaya telah mengajukan izin adopsi, tetapi ditahan sampai kasus Dasimah selesai.
Lain kenyataan, lain pula dunia maya. Meski telah menjembatani keadilan bagi Dasimah, sebagian warga maya ada juga yang mempertanyakan logika korban.
“Pasti ini bukan pertama kalinya pelaku menganiaya korban. Kalau sudah sering kekerasan, kenapa masih bertahan?”
“Punya suami gila, tapi anak ada lima. Beginilah kalau nikah modal cinta dan berahi saja.”
“Duh, tahu suaminya begitu, kenapa Mbak D enggak KB aja sih? Kan jadi kasihan anak-anaknya.”
“Suaminya KDRT, jelek, miskin, tapi masih bertahan dan beranak-pinak. Pasti anu-nya gede dan mantep nih…”
….
***
Tiga hari berikutnya, khalayak dikejutkan atas pernyataan pihak berwajib bahwa ditemukan sidik jari Eka dan Bu Nurdin di pisau yang tergeletak tak jauh dari jasad Dasimah. Tidak ada sidik Kusen sama sekali. Pernyataan itu sontak menimbulkan perdebatan oleh khalayak yang antusias mengawal kasus Dasimah.
“Pasti Eka mengambil dan membuang pisau itu dari tubuh ibunya.”
“Bu N bukannya yang menemukan jasad D ya?”
“Bisa aja sih, mengaku menemukan jenazah supaya enggak dicurigai. Tapi apa motifnya?”
“Pasti ini cara si Kusen Bangsat untuk menghapus barbuk.”
“Lelucon macam apa lagi ini? Pihak berwajib dibayar berapa sih sampai rela mempermalukan instansi dengan statement konyol begini?”
….
Menindaklanjuti penemuan bukti tersebut, seorang pihak berwajib ditugaskan datang ke panti. Sengaja dipilih yang paling muda dan kurus agar tidak terlalu mengintimidasi. Agil namanya. Ia ditemani Indah (teman anak Bu Nurdin yang bekerja di LPAP) yang lebih luwes berinteraksi dengan anak-anak dan korban trauma.
Eka, anak pertama Dasimah yang tiba-tiba dicurigai massa, hanya diam selama wawancara. Ia terlihat tidak takut, tidak terintimidasi, dan sama sekali tidak membuka mulut. Ia memilih bungkam hingga Agil geram dan nyaris naik pitam. Beruntung ada Indah yang lebih tenang dan sabar.
“Sepertinya dia masih shock, Mas. Belum bisa dimintai keterangan,” ujar Indah kepada Agil, setelah Eka dipersilakan kembali ke kamar.
“Lalu?” Agil menyahut arogan.
“Kita harus sabar. Kehilangan ibu saja sudah memberi pukulan berat untuknya, apalagi jika ibunya meninggal secara tidak wajar.”
“Apa tidak ada cara lain?”
“Cara lain, seperti?”