MATA Wani terus membelalak jeli, menyapu setiap sudut jalanan. Ia melangkah pasti, menyusuri selasar kampung. Mengabaikan kumandang azan yang saling bersahutan, seiring langit jingga yang beranjak petang.
“Farhanah! Di mana kau, Nak?” Mulutnya tak henti berteriak.
Namun, hingga kegelapan menyelimuti seluruh kampung, orang yang dicari tak kunjung datang. Para warga pun seolah tak peduli, mereka sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Ada yang buru-buru mengangkat jemuran, memasukkan motor ke ruang tamu, membakar sampah, atau menjewer anaknya agar lekas pulang.
Wani lantas mengikuti anak-anak yang melajukan pedal, berlomba ke musala. Meski laju kaki Wani kalah cepat, ia bisa mengikuti bekas ban sepeda di jalanan yang becek, sisa hujan tadi siang. Wani melongok dari jendela, barangkali ada Farhanah di sana.
Nihil.
Tak ada Farhanah di musala. Akhirnya, Wani pulang hanya berbekal cemas dan duka.
Begitu membuka pintu rumah, aroma tembakau seketika menyeruak. Membikin amarahnya kian memuncak.
“Astaga, Mas Dipa!” Dipa hanya melirik sekilas, kembali mengisap sebat dengan khidmat. “Farhanah hilang loh, Mas! Kok kamu malah santai duduk di sini sambil ngudud? Bapak macam apa kamu!”
Dipa tak menjawab. Api itu tak hanya membakar rokok dan paru-paru Dipa, tetapi juga menyulut amarah Wani.
Wani lantas menghentakkan kaki, meninggalkan ruang tamu. Ia membuka pintu kamar tengah, berharap ada petunjuk keberadaan Farhanah. Hati Wani seketika mencelos tatkala melihat Farhanah terbaring di tengah dipan.
Diusapnya ubun-ubun putri semata wayangnya itu. Lembut dan penuh kasih. “Kau ini, Ibu sudah mencarimu ke seluruh kampung, ternyata tidur. Tidak baik tidur saat surup, Nak.”
Kelopak Farhanah terbuka perlahan. Menampilkan bola matanya yang kuning dan kering.
“Bu, Hana haus.”
Wani tersenyum hangat, dikecupnya dahi Farhanah yang dingin. “Tunggu sebentar, ya.”
Wani menuju dapur dengan langkah ringan. Persetan dengan Dipa yang masih bersila di sofa, yang penting Farhanah sudah aman. Ia segera mengambil segelas air dan lekas ke kamar.
Sesampainya di ambang pintu, gelas di tangan Wani sekonyong-konyong terjatuh. Basah menjalar di telapak kaki, seiring bising dentum gelas membentur jubin.
“Farhanah!”
Wani menyibak selimut, mengangkat kasur yang sudah setipis kulitnya; nihil. Di kolong dipan, di dalam lemari; semuanya nihil. Dicarinya Farhanah ke kamar depan, dapur, dan kamar mandi; nihil.
“Farhanah!”
Tak ada tanda-tanda keberadaannya. Wani kembali kalut. Tak ada Farhanah di segala penjuru rumah.
Saat Wani melewati ruang tamu, Dipa buru-buru memegang erat tangan Wani.
“Lepas, Mas!” Wani terus mencoba melepaskan diri. “Mas! Kalau kamu tidak peduli dengan anakmu, setidaknya biarkan aku mencarinya sendiri!”
Tenaga Wani memang tak sebanding dengan Dipa. Namun, jika sudah menyangkut keselamatan anak, segala yang tak mungkin akan menjadi mungkin. Setelah berupaya keras, ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Dipa. Sayangnya hanya sementara, sebab Dipa buru-buru memeluknya. Menenggelamkan kepala Wani di tengah ketiaknya yang lebat dan apak. Wani terus memberontak.
Melihat Wani yang semakin liar, Dipa tak punya pilihan lain. Dipegangnya kedua bahu Wani kuat-kuat.
“Eling, Ni! Eling!”
“Apa maksudmu?” Dipa hanya diam. “Aku harus mencari Farhanah, Mas.”