KAMI BERCIUMAN cukup lama, sebelum ia selesai mendaraskan kalimat perpisahan. Sisa-sisa bir yang terperangkap dalam mulutnya, sepintas berbaur di mulutku yang tak lagi perawan. Lidah kami saling bertautan, hingga kehabisan napas dan kesadaran.
“Love you!” katanya, saat aku meraih kenop pintu mobil.
Aku hanya membalasnya dengan kerlingan singkat. Kalimat romansa pun tiada artinya sebab ia tengah separuh mabuk. Masih untung ia bisa mengantarku sampai kos dengan selamat. Lagi pula, tak ada jaminan aku akan bertemu lagi dengannya.
Aku merogoh sebungkus rokok Sukun di dalam tas, lalu memasukkan tanganku di celah gerbang. Tak butuh waktu lama, seseorang meraih bungkusan sebat dan membukakan gembok. Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlu salam santun. Kami—aku dan Pak Sur, sudah saling memahami.
Aku bergegas menaiki tangga menuju lantai 2. Kamar paling ujung, gelap, pengap, dan usang—yang konon sering terdengar suara cekikikan tiap malam Jumat Kliwon dan suara rintihan tiap malam Selasa Wage. Aku sendiri tak pernah mendengarnya, juga tak peduli. Andaipun “mereka” betulan ada, malah aku berterima kasih. Berkat desas-desus itulah, jarang ada yang mau kos di sebelah kamarku.
Jam di pergelangan tangan kanan menunjukkan pukul 00:27. Masih ada waktu tiga menit sampai jadwal kerja berikutnya. Aku sengaja mengambil kerja sampingan demi bisa mengirim uang ke kampung, membiayai kuliah adik lelakiku yang lebih dimanja sehingga tak becus melakukan apa pun.
Sampai di kamar, aku tak sempat ganti baju. Langsung mencoblos anus ponsel ke power bank, membuka aplikasi T, dan menekan tombol hijau pada notifikasi panggilan masuk. Seseorang telah menunggu dari seberang, mukanya agak masam.
“Kau terlambat satu menit.”
Kubalas gerutunya dengan senyum menggoda. Satu alis terangkat seiring kerling dari mata kiri. “Satu menit membuatmu bosan atau malah makin tegang?”
Cemberut di mukanya langsung pudar, berganti tawa semringah dan penuh gairah. Matanya menyala nyalang ketika tangan kirinya merogoh ke bawah pusar. Aku menyambutnya dengan melepas satu per satu kancing blouse merah. Sengaja tanganku bergerak lamban demi membuatnya gusar.
Kudengar ia mendesis ketika melihat sepasang pepaya tergantung di balik bra. Persis seperti ular yang siap memangsaku yang mulai meliuk-liuk di dalam kamar. Untung saja kami berjauhan, sehingga aku bebas dari caplokan mautnya yang beringas.
Kugoyangkan badan sesuai instruksi darinya. Mana yang harus kulakukan dulu antara memainkan puting atau mengocok biangnya; bagian mana dulu yang harus aku zoom in antara leher, belahan dada, punggung, atau pubis yang sedang lebat; atau suara apa dulu yang harus kusiarkan antara desah dan raung rintih.
Ia tampak puas di sana, di kamarnya—atau entah di mana, yang jelas jauh dari jangkauan orang lain. Tangannya makin gencar bergerak di dalam celana. Sesekali matanya terpejam, bibirnya mengatup—kadang juga mecucu, lalu terdengar teriakan aneh dan sumbang. Sekali lagi, untung kami berjauhan, sehingga aku tak perlu repot-repot menyumpal congornya dengan guling.
Punggungnya merebah ke sandaran bangku yang tertutup jaket biru. Kacamatanya yang sangat tebal dan berlapis-lapis merosot, menyilang di antara hidungnya yang bangir nan legam. Mulutnya separuh menganga, yang kuyakin menguarkan aroma asam lambung sisa seblak lima ribuan dan kopi sasetan. Tak butuh waktu sampai tiga menit, ia sudah terkapar. Aku yang sudah lelah dan sedikit mabuk tidak perlu repot-repot jumpalitan.
“Cepat transfer sisa pembayaran, lalu kau bisa leluasa menikmati orgasmik.”
Ia meraih ponselnya yang sedari tadi berdiri. Layarku seketika dipenuhi wajahnya yang berlumur keringat, sebelum berubah gelap. Ting! Notifikasi masuk ke ponselku, sejumlah uang masuk ke rekeningku, sejumput lega menggerayap dalam tubuhku.
“Apakah kita bisa bertemu lagi?”