SARU

Rizky Anna
Chapter #1

Susu Ibu, Susuku!


Standing mirror telah bersandar di dinding. Memantulkan bayangan tubuhku yang bugil.

Ibu dan Bapak sedang menghadiri kawinan kerabat. Mbakyuku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Adik lelakiku nglayap¹ entah ke mana; aku juga tidak berminat mengetahuinya. Sesungguhnya, kepergian mereka adalah kesempatan berharga. Saat ini, aku hanya berhasrat mencumbui gumpalan liat nan kuning kecokelatan yang terpantul di depanku.

Betapa indahnya!

Rambutku yang panjang dan hitam telah kuikat dengan jedai seharga dua ribuan yang kubeli di pasar. Kalung emas bermata biru juga telah kulepas. Sengaja hendak menampilkan jenjang leherku. Dalam pantulan cermin itu, tampak dua bukit yang begitu manja menggelayuti dada. Membuatku selalu kesusahan membeli beha karena pasti akan dipelototi bakul.² “Awak cilik koyo biting ngunu kok njaluk size 36. Nglindur tah?”³ Walhasil, aku harus sering-sering menahan sesak dengan mengenakan bra berukuran 34, yang sontak membuat kelenjar lemak menyembul di kiri-kanan dekat ketiak, terkadang malah penuh sesak di bagian depan. Terpujilah wahai para manusia-manusia cerdik yang menciptakan pasar online sehingga memudahkanku membeli kutang sesuai ukuran tanpa perlu mendengar ceramah para pedagang.

Kugenggam dua gundukan itu. Bahkan jari-jariku yang terbilang panjang tak mampu menopangnya. Kelenjar lemak yang mekar sempurna tampak mengembung ke kiri-kanan. Agaknya, si kembar hendak menerobos jari-jari yang telah menutupi keanggunan dan kepolosannya. Mereka juga mau narsis di depan kaca! Tapi, siapa peduli? Di dalam cermin, aku menyaksikan tangan-tangan mungilku mengitari payudaraku sendiri. Pelan dan lembut. Tetap dan terus. Sesaat, aku memijit dada dengan telunjuk dan jari tengah. Membentuk putaran kecil dan mengelilingi masing-masing payudara.

Saat tubuhku mulai berdesir, kugenggam kedua susu. Perlahan, kuremas keduanya. Sesekali tanganku ke atas dan ke bawah, ke samping kanan dan kiri, kadang juga berputar—sembari meremas, seolah hendak mencampurkan adonan milkshake yang tersimpan di balik tangki susuku. Ketika susuku telah mengembang dan kalis, juga topping cokelatnya yang mulai membulat dan kian keras, kuhentikan gerakan tangan.

Kupandangi sekali lagi bayangan yang duduk bersila di dalam cermin. Betapa indahnya. Kini, kupeluk tubuhku erat-erat. Menyembunyikan susu-susu yang tadi kumainkan penuh nafsu, seolah hendak kurampas dari sarang, dicerabut dari akar. Kupejamkan mata cukup lama. Membayangkan Zeus yang penuh nafsu menyambut ketelanjanganku. Aku akan sukarela menyerahkannya secara percuma, menukarnya dengan kenikmatan sekian menit. Aku tak perlu susah payah bersembunyi di hutan belantara bersama tujuh kurcaci atau menyicip segigit kuldi hanya demi kecup peluk dewa dari segala dewa yang terkenal karena kecabulannya itu.

Kueratkan pelukan. Kenyal dan hangat menyambut pergelangan.

Tidak, bukan Zeus yang kuinginkan. Aku terlalu malas jika harus menghadapi Hera—istri sosialita yang hobi melabrak itu. Dalam pikiran yang mulai hilang kendali, tercetak wajah Oppa kiyowo yang bertahun-tahun memenuhi galeri ponsel dan dinding kamarku. Betapa syahdunya percumbuan kami setelah menanti Min Ho-ku selesai wamil. Mengabaikan jutaan penggemar yang rela mengorbankan apa pun hanya demi seutas senyum. Aku tak perlu berdesakan sembari menjerit. Aku hanya perlu mendesah lalu melejit.

Saat kulepaskan peluk, wajah putih lelaki yang sedari tadi kudekap telah berubah menjadi kecokelatan. Tubuhnya lebih tinggi dengan masing-masing lengan yang sangat kekar. Matanya tetap sipit, tetapi tajam dan seksi. Aduhai! Benarkah ini? Benarkah Salman Khan yang selalu kutatap di TV kini sedang merobohkan tubuh di atasku? Ya, ya. Dialah Salman Khan-ku! Wujud kejantanan yang sesungguhnya. Yang begitu apik memerankan adegan laga, juga begitu terampil membikinku terkapar di atas ranjang setelah bergelut semalam suntuk. Tapi..., tunggu dulu. Wajah itu .... Bukan, dia bukan Salman Khan. Oh, ternyata dia adalah Nicholas Saputra. Yang rela mengkhianati cintanya kepada Cinta demi menemui sepasang buah dadaku yang telah menunggu tiada jemu.

Di dalam benda pipih berpagar kayu itu, bayanganku masih terpejam. Kedua bokongku masih menempel di lantai, tetapi pikiranku sudah meliar pada ruang dan masa tak bertepi.

Kedua mataku terbuka, menyaksikan sosok yang terpantul di dalam cermin telah melepas peluk kepada dirinya sendiri. Tak lama berselang, aku kembali memegang sepasang kelenjar kenyal berputing cokelat pekat. Kali ini hanya memegang dan sedikit diangkat. Kutatap lekat-lekat kedua pentil yang masih mengeras kaku.

Lihat selengkapnya