2
Berulang kali Bella melamun dan memikirkan ini. Mengapung dalam lamunan sampai-sampai dirinya ingat setiap kalimat yang harus diucapkan pada saat melakukan begini dan begitu.
Semua barang yang dibutuhkan ada di dalam gudang. Dari tangga lipat, paku, palu, hingga tali pramuka.
Juga tadi Bella menemukan sepucuk surat yang sepertinya dari bagian robekan buku. Di sana tertulis, "Dia Pria Bertato" Beserta corak bintang warna hitam dibalik kertasnya. Ia langsung meremukkan kertas tersebut dan membuang ke sembarang arah.
Omong-omong soal kertas, Bella juga menyiapkan sebuah kertas sobekan dari buku tulisnya. Apa harus pakai amplop? Ini bukan kegiatan resmi, sih. Heran, kenapa aku malah mikir hal nggak penting gini, haha.
Gantung diri, bunuh diri, mengakhiri hidup, hal yang sering dianggap tindakan bodoh bagi sebagian orang-orang, batin Bella. Tapi aku akan melakukannya.
Gorden ditarik sampai-sampai ruangan tersebut memerlukan lampu untuk penerangan, tapi dia tidak menyalakan lampu kali ini.
Cahaya matahari terkadang muncul dari sela-sela gorden.
Bella memiliki sebuah alasan yang menurutnya jikalau kegiatan yang dilaksanakannya bukan kelakuan yang bebal. Ya... karena kepedulian orang dewasa di sini nggak ada. Aku serasa seperti hidup sendirian.
Bella yang sedang mengumpulkan barang, tersadar, eh? Apa ini bisa disebut keluarga menganiaya diriku? Bodohlah.
Dalam pikiran Bella, ia mengira Eko akan kesenangan setelah dirinya tiada, lalu Sari, Ibunya, merasa lega karena anak bebannya telah menghilang.
Iya, pasti mereka berpikir begitu, deh.
Bella memilih menempatkan tangga lipat di tengah-tengah ruang keluarga dan dapur. Kedua ruangan tersebut saling berhubungan tanpa disekat-sekat, membuat daerah tersebut tampak luas dan lega.
Sayangnya kegelapan menciptakan pandangan kabur.
Tangga lipat dengan delapan tanjakan ini sudah diatur sedemikian rupa. Beberapa paku ditancapkan pada kaki-kaki tangga itu.
Untuk memastikan tangganya kuat, dia menggoyang-goyangkan tangga, dan hasilnya benar, sukar lepas.
Toh kalau memang pakunya nanti terlepas, aku jelas sudah mati.
Tangga ini akan menjadi huruf V terbalik jika dibuka. Selanjutnya ia menatap kursi kayu tanpa sandaran, digunakan untuk membantu meraih tali.
Aku hanya perlu menaiki kursi ini, lalu mati.
×××
Aku sudah di dekat kematian. Tali sudah aku simpul dengan benar, tali pramuka itu aku gantungkan di tengah-tengah tanjakan paling atas dari tangga lipat.
Beberapa menit kemudian...
Pintu terbuka dan terlihat sosok Keisha yang mengenakan pakaian serba jeans cerah, tanpa ada tanda-tanda perasaan kecewa.
Baju yang dikenakannya cantik. Aku suka. Hm, tapi wajah yang memasang senyuman.... Ih, senyum sok manis membuatku menarik kata-kata pujian tadi, nggak cocok. Lebay!
Tanpa basa-basi lagi, dia berkata, "Silakan." Dengan ringan, bibir beserta mata saudariku tersenyum bahagia.
Keisha kali ini datang karena akan menjadi sosok yang bertanggung jawab dalam kematian ini.
Karena ini yang dari dulu aku mau. Karena ini yang terus mengambang dalam lamunanku.
Karena impian menjadi kenyataan itu sangat membahagiakan—apalagi kalau hal-hal yang sudah diidamkan menghiasi kebahagiaan itu.
Seluruh gorden di rumah sudah ditutup rapat, meskipun mata memandang penuh keburaman, tapi ini yang dari dulu aku bayangkan saat melamun—membayangkan suasana detik terakhirku hidup—ini yang aku mau.
Gelap gulita, membuat pikiran hanya akan terfokus pada kegaitan saat itu saja.
Detik ke 0.
Aku nggak bisa berpikir jernih. Sebenarnya hatiku serasa diremas mengetahui ada seseorang antusias dengan tindakanku ini. Meski aku pengin melakukan ini, bisa saja pada lubuk hati terdalamku berkata tidak.
Berada di jenjang SMP akhir, maksudku calon anak kelas sembilan.
Dibilang dewasa... juga belum, dibilang remaja... bisa, tetapi kalau dibilang anak-anak pun bisa.
Aku bodoh, aku mengakui tingkah lakuku yang seperti seorang anak kecil, bukan sebagai seseorang yang sudah beranjak remaja. Aku mengakuinya.
Maafkan aku.
Kursi kayu tanpa sandaran langsung aku tarik dan meletakkannya di depan tangga lipat.
Ini rencananya: menaiki kursi ini sampai puncak, lalu memakai tali itu, lalu menggantung mati.
Detik ke 20.
Jujur, sebenarnya aku nggak tahu siapa yang adik dan siapa yang kakak—kita adalah saudari kembar—semua ini hanya mengira-ngira saja.
Tapi, kalau dilihat dari tingkah lakunya, jelas dia adalah adik dan aku adalah kakak. Bodoh amat, kalau tahu pun nggak bakal mengubah apa pun juga.