5
Bella senantiasa memijat-mijat kepala, menyisir rambut dengan tangan, diakhiri menjambak rambut sampai rontok.
Senin
Caca hari ini berpindah bangku menjadi di depan Bella. Risi, itu yang dirasakan Bella. Aku muak dengannya, kenapa dia menggangguku? Apa karena rumor?
Tetapi kalau benar itu Pacar Caca, kenapa dia tidak memarahi Pacarnya saja ketimbang mengganggu Bella?
Membuang-buang waktu saja, pikir Bella.
"Hei," suara Caca membangunkan Bella. "Bengong aja. Kenapa? Terpesona?"
Tak mau menjawab karena akan memperpanjang masalah. Tindakan Bella untuk menghindari Caca adalah pergi dari bangkunya. Bella memanggul tas dan maju ke bangku depan, "Boleh aku di sini?" tanya Bella pada pemilik bangku.
Respons mereka mau. Seolah tunduk pada Bella.
Langkah santai dan sudut bibir yang tersenyum hingga gigi putih menampakkan diri. Senyum seakan berkata, kau kira cuma kau yang bisa pindah?
Kini Caca berada di belakang Bella. Tak ada bedanya.
Anak-anak yang berada di kelas berisik. Mereka menoleh ke kanan ataupun kiri sembari salah satu telapak tangan menutup menyamping mencegah orang mendengar. Mereka sedang menggunjingkan siapa?
Bella memangku tasnya. Akan susah kalau tas berada di belakang. Pertama, kewalahan untuk berkomunikasi bersama Caca, tidak jauh seperti hari-hari sebelumnya, Bella pasti akan diajak bergelut masalah pacar. Kedua, matanya akan menatap langsung teman sekelasnya yang memandang aneh Bella.
"Oi, oi–" Caca memanggil sambil menendang kaki kursi Bella sampai menoleh. "Oi, oi, oi–"
Bella berdecak dalam batin. Gila tuh anak, katanya kalau si penindas nggak diladeni bakal mandek. Tapi nih anak kenapa, woi.
Guru datang. Tetapi Caca masih berani mengganggu. Menendang, melempar penghapus, mencuil punggung pakai pena, dan memanggil "oi".
Geram tidak bisa ditahan. "Bu, saya diganggu sama Caca dari tadi," adu Bella seraya bangkit dari duduknya.
Caca yang awalnya tidur-tiduran dengan tangan mencuil punggung Bella, duduk tegap.
"Lah, kalau kamu lagi dipanggil ya menoleh dong, Bella," timpal Gurunya.
"Saya menoleh pun dia cuma berkata, 'nggak apa' gitu, bu. Kan saya jadi jengkel," jelas Bella. Dia menaruh harapan penuh pada pernyataannya.
"Orang dia cuma main-main, kok," balas guru tersebut sambil tangan bak mengenyahkan Bella.
Sebuah botol kaca seolah jatuh dari atas menimpa kepala, ia menahan air mata sambil menjatuhkan diri pada kursi. keterlaluan, Guru kok gini? Parah.
Caca melanjutkan aksi perisakannya sampai pulang sekolah.
Selasa
Perundungan yang mereka buat hari ini di luar ekspetasi Bella, walaupun sama-sama parahnya, tetapi ini lebih menjijikkan.
Mereka membawa satu kilogram telur dan melemparinya ke arah wajah, badan, dan bahkan kuning telur belum matang itu nyaris ditelan Bella—mereka memaksa Bella membuka mulut dan memecahkan telur di sana—lantas Bella pun memuntahkannya.
"Hahahahaha.... Hahahahaha–" Yang muncul dari kerongkongan mereka.
ARGH! Seragamku jadi bau! Apa lagi mulut ini masih terasa kuning telur itu menggenang, menjijikkan! Bella berkumur-kumur sampai lega.
Kalau diluar sana telur susah dianggap, di mata mereka telur sama saja dengan pengemis, meminta sama dengan dapat.
Menghela napas dalam-dalam jadi sesuatu kewajiban sekarang, amarah ini harus ditahannya karena ia tahu kejadian ini adalah tugasnya—menghibur para penonton—mencari bayaran berbentuk uang.
Jika mereka mendapatkan kebahagiaan, maka mereka harus membayar kebahagiaan yang didapat, pikir Bella.
Maka, bisa diibaratkan seperti menonton film, sebelum perasaan puas itu dirasakan oleh orang lain, penonton harus membayarnya. Melintasnya pikiran seperti itu membuat Bella yakin harus melakukan apa.
Artinya, aku juga harus melakukan hal yang serupa layaknya menonton film. Mereka menggila, maka aku jadi gila.
Kelas masih sepi, mereka sibuk ke kantin dan bermain. Beberapa anak laki-laki juga sedang main sepak bola, riuh banget.
"Enaknya, berbaur tanpa memikirkan, 'Aduuh, kalau aku bertemu dengannya, dia akan merundungku lalu menyuruh melakukan ini dan itu'. Yang terpenting semoga saja mereka meninggalkan uang yang aku incar, berapa pun jumlahnya, akan aku sikat." ia bangkit dari kursinya dan beraksi.