SASAR

ALDEVOUT
Chapter #7

Tulah (6)


6


Bella membanting pigura, membanting buku pelajarannya yang ada.

Ia menggaruk kulitnya dengan kasar yang padahal sedang tidak gatal. Ia menggaruk kepalanya yang padahal tidak ada yang gatal.

Keadaannya sangat kacau.

"Kenapa Ibu seperti itu? Aku sudah kelelahan sama sekolah, sekarang sama rumah?!"

×××


(Keesokannya dalam perjalanan sekolah....)

Aku kira semua ini sudah berakhir. Mungkin... Caca menyadari bahwa aku memang tidak berkencan dengan kekasihnya.

Aku tidak peduli apa yang terjadi kemarin. Itu membuatku sesak.

Uang yang sudah aku curi bakal aku kembalikan secepatnya. Aku pikir Tuhan sedang menghukum ku. Tapi, yang menjadi pertanyaan aku saat ini, kenapa guru-guru nggak mau tahu tentang perundungan yang terjadi?

Apa perundungan sungguh dianggap sebagai bercandaan? Kedua mata mereka seolah memakai kacamata hitam sampai pandangan mereka menjadi buta, lalu telinganya disumbat oleh kain lap tebal sampai tuli.

Aku ini dirundung! Kalau tidak tahu apa itu dirundung, oke, aku jadi korban bullying!! Mereka melukaiku, kulit-kulit ini sering jadi ungu setelahnya. Tak sedikit pula goresan yang mengeluarkan darah, lho!

Mereka benar-benar tak tahu soal diriku, atau bahkan keberadaanku ini. Apa orang sepertiku ini harus mendesah terus?! Berbicara dengan diri sendiri dan nggak bakal pernah menyelesaikan masalah?

Hmm... bagaimana cara agar aku dilirik oleh mereka, ya? Hati yang seputih kapas itu ada pada siapa sebenarnya? Apa kiasan itu benaran ada?

Guru berulang kali berkata bahwa sekolah adalah rumah kedua, lho. Oh, dan mereka juga mengaku kalau keberadaannya adalah pengganti orang tua.

Aku sangat pasrah, berdecak terus menerus, lelah banget! Apa mereka tidak merasa kasihan pada anak yang dirundung? Apa mereka harus merasakan apa yang kurasakan terlebih dahulu...?

–Eh, apa jangan-jangan aku harus merundung para guru terlebih dahulu? Tunggu... iya, yah?


Kamis

Kamar mandi sekolah yang sungguh menakjubkan. Maksudku sangat bersih....

Apa ini bisa disebut mewah? Caca membeli bak plastik murahan yang biasa terlihat di pinggiran jalan. Diameternya bisa sekitar 50 sentimeter. Aku mengatakan ini mewah karena ia memberikan tempat berendam untukku.

Yah, walaupun menyakitkan, tapi jika aku menyatu dengan air, itu membuatku lebih tenang. Bahkan aku ingin sekali merenungkan segala hal di sana. kolam renang yang berisi diriku seorang membuat pikiranku langsung jernih dan baru.

Bukan, bukan berniat bunuh diri lagi, ah, aku tidak akan bunuh diri, itu bahaya, dan nggak baik.

Tapi aku nggak pernah berbohong soal ini, air benar-benar membuatku tenang. Peristiwa pada saat kedinginan setelah selesai berenang lalu diselimuti oleh handuk sampai-sampai badan ini menjadi hangat, itu yang terbaik.

Runtutan momen tersebut memberikan kenangan yang menggembirakan.

Anak muda sepertiku ini apa layak diberikan bak mandi yang nyaman? Yah... aku sadar mereka mengisinya dengan air dingin daripada air panas. Tapi air tetaplah air, keduanya sama-sama menghanyutkan dan membuat badan basah.

Dung.

Caca memukul, menyiram dan sekaligus mengisi air dalam bak. Aku diam saja, terserah apa yang mereka lakukan. Aku sungguh penasaran mereka mendapat ide beginian itu darimana, sih?

Bodoh amat, lah.

Pertama-tama, dalam duduk sila ini, aku hanya berusaha mengubah pola pikirku, ini bukan air es, ini air pegunungan yang memang sudah dingin dari awal.

Sedetik kemudian air dingin dituangkan di atas kepalaku.

Lihat selengkapnya