SASAR

ALDEVOUT
Chapter #8

Tulah (7)


7


Keesokan harinya....


Berlari, melangkah maju, kaki yang diharuskan lelah, ingin mengusap air mata namun terlambat, dan keringat dibiarkan mengalir lalu jatuh begitu saja. Bella sedang mengelilingi lapangan, ini adalah hukuman. Hukuman yang tidak berdasar sama sekali. Tak ada gunanya.

Hanya karena seragam basah, seragam atasan yang dikeluarkan, kaos kaki longgar yang membuat nama sekolah tak terlihat, lalu rambut yang acak-acakan.

Oh iya, ada satu hal lagi, karena menggunakan nama Caca sebagai alasan utama kekacauan terjadi, tanpa pikir panjang pria itu menghukum Bella.

Rasanya Bella ingin menjejalkan sesuatu di mulut gurunya yang hanya bisa mengoceh tanpa mengetahui kenyataan yang terjadi.

Apa benar Caca telah menyogok seluruh Guru yang ada di sini? Apa gaji mereka kurang sampai-sampai bisa menerima sogokan itu? Apakah di jaman mereka dulu tidak ada pelajaran yang membahas tentang baik buruk tindakan di dunia?

Ini putaran yang kesepuluh. Sebenarnya kaki Bella meminta berhenti, seragamnya pun dipenuhi keringat, pun menguarkan bau tak sedap. Bella tersisa dua puluh putaran lagi.

"Harus bisa," lirih Bella yang akhirnya menyeka keringat pada dagunya. Kalau nanti dia kembali ke kelas dengan badan yang bau, apa dia bakal diperbolehkan masuk ke kelas?

Desahan napas menjadi satu-satunya suara di situ. Bella sedang merenung, ia sedang memilih untuk melakukan hal yang begini atau yang begitu.

"Kalau aku kayak begitu, apa guru-guru memperhatikan aku?" Lalu "Kalau aku melakukan hal yang begini, apa guru-guru memperhatikan aku?"

Begini yang dimaksud adalah, bersikap kurang ajar dengan guru. Tidak ada yang tidak kenal dengan sistem ini, kan? Anak-anak ternakal di sekolah tentu saja menjadi sorotan utama para guru.

Kemudian begitu yang dimaksud adalah, bekerja keras, belajar dengan sungguh-sungguh, mengikuti banyak kompetisi dan kejuaraan lainnya. Anak-anak terpintar di sekolah tentu saja menjadi sorot lampu utama juga bagi para guru—memamerkan bahwa anak didiknya cerdas.

—padahal si murid tidak mendapatkan hal yang mencolok saat diajar oleh mereka.

Mana yang harus kulakukan, ya?

Lalu gerbang sekolah terdengar terbuka. Bella menoleh ke arah sana, siapa itu?

Seorang anak laki-laki berjalan masuk, rambutnya menjadi acak-acakan karena angin, tetapi kedatangan lelaki tersebut tidak membuat gadis ini berhenti berlari.

Setelah menaruh tasnya di bawah bayang-bayang pohon, anak jangkung itu berlari cukup cepat lalu berangsur pelan dengan niatan menyamai langkahnya dengan Bella.

"Hei! Kamu terlambat, ya?"

Bella kaget dengan pertanyaannya, cowok itu nggak kenal aku? Padahal satu sekolah kenal dengan Bella, sebabnya sudah pasti karena kerap dirisak. Akhirnya Bella menjawab melalui senyuman. Ini kan sudah siang, masa iya dia baru masuk sekolah pas siang-siang?

"Sama, dong," responsnya cukup cepat, laki-laki ini terlihat tertarik untuk berbincang panjang lebar bersama Bella.

"Seharusnya hari ini aku tidak datang ke sekolah, juga tidak apa-apa, cuma karena besok aku sudah tidak bersekolah di sini, jadi aku memutuskan harus masuk. Kasihan teman-teman nanti kehilangan orang sepertiku." Bella terpaksa tertawa saat mendengar tawa dari laki-laki itu. "Kamu di kelas yang mana?"

"Hm, apa kamu kenal sama Caca? Eh, maksudku Bella...."

"Oh! Anak itu? Kenal, dia orang yang menyebalkan, dia pernah bully seseorang, kalau nggak salah korbannya di dalam kamar mandi, kejam sekali."

mendengar kalimat itu, Bella yakin dirinya memang terkenal, namun ternyata tidak semua anak tahu siapa nama korbannya.

"Aku pengin bantu anak itu, cuma karena Bella punya kekuatan ikatan kotor sama guru-guru, jadinya percuma." Ternyata lelaki ini langsung melupakan pertanyaan awalnya.

Emm, Bella yang kata dia itu Caca, kan? Ternyata masih banyak dari mereka yang nggak tahu kalau anak itu—Caca—mengganti nama panggilannya.

Bella pun jadi penasaran alasannya, ia memasang tatapan tajam, "Kenapa percuma? Kamu nggak kasihan sama korbannya?"

"Uh, kasihan, ya, kasihan. Tapi nanti guru-guru itu hanya berkata, 'Walah begitu aja kok nangis' atau malahan kita nggak bakal dianggap ada. Ah! Percuma banget," ungkap Laki-laki ini mendesah kesal.

Bella mengangguk paham, nggak salah juga, sih.

Rambut keduanya menari-nari, angin berhembus kencang padahal matahari berada di atas kepala.

"Eh, anu, omong-omong nama kamu siapa? Dari tadi ngobrol cuma nyebut kata 'kamu, aku' aja, kan nggak enak. Hahaha."

Bella menggaruk kepalanya karena malu, sedetik kemudian ia punya ide untuk mengubah nama panggilannya agar tidak membuat kecanggungan—karena laki-laki itu sebenarnya sedang mengobrol bersama si korban. "Panggil aja Lala," jawabnya dengan tawa kecil.

Lihat selengkapnya