8
Merenungkan apa yang telah terjadi pada hari-hari sebelumnya adalah hal wajib dilakukan bagi semua orang.
Karena setelah memikirkan kejadian yang sebelum-sebelumnya, akan menciptakan sebuah analisa tentang apa yang harus ia lakukan di masa depan, jangan sampai terulang lagi.
Dulu aku pernah berkata seperti itu elok didengar orang? Apa aku melakukan hal semacam itu boleh dilakukan? Apa bertemu dengannya sebaiknya jangan lagi? Wah, benar juga, sebaiknya aku seperti ini, ya?
Semua pertanyaan harus dilontarkan dalam renungan tersebut agar menjadi pendorong dan pengembangan diri.
Ah, seharusnya aku berkata seperti ini dengannya tadi... Ah, seharusnya aku tidak melakukan itu... Aduh, seharusnya aku tidak bertemu dengannya lagi saja... Wah, benar juga, sebaiknya aku membuat rencana baru saja, ya?
Dalam proses berdiskusi ini, diri kita akan mengalami penyempurnaan, kesadaran, muncul solusi, mengoreksi tindakan dan lain-lainnya.
Hari ini Bella sedang berjalan menuju sekolah KSM, tempat menyedihkan. Dengan jaket hitam bahan katun, tas sedang yang kepenuhan, dan potongan rambut lebih pendek lagi, sepanjang dagu.
Kemarin Bella terkena tindakan yang tidak mengenakan, bahkan sudah semestinya gadis ini melakukan suatu cara untuk menghindarinya.
Mendadak ia merasa dirinya ditakdirkan menjadi orang yang lemah. Lingkungan yang tak mendukung membuat pola pikir Bella berubah.
Sesaat setelah melangkah keluar melewati gerbang sekolah, Caca menghentikan langkah Bella dengan berteriak, "Oi!" dan dengan cepat melemparkan koper kecil yang sebelumnya berisi alat rias namun kini telah kosong.
Bukan ringan lagi, pemberatnya mungkin cermin dan lampu kecil-kecil—walau beberapa bagian pecah dan hilang karena bantingan hari itu—tetap berat, pun menyakitkan.
Tidak mungkin Caca menghentikan Bella tanpa ada alasan yang kuat, atau terkadang alasan sampah, hanya untuk candaan belaka.
Tanggung jawab?
Kini Bella mendebatkan kelakuan Caca itu. Padahal tindakan Bella kemarin untuk menggantikan posisi Caca, lho. Bahkan ia rela berjemur di terik matahari hingga kehitaman. Apa aksinya masih kurang? Perempuan mana yang merelakan kulit kuning langsat berubah menjadi sawo matang? Ini pengorbanan, lho.
Saat pulang sampai di rumah, Bella menyadari kulit lengannya jadi belang.
Tapi Bella ada rasa menyesal yang muncul, ah, seharusnya aku nggak menggantikannya. Biarkan saja dia kepanasan. Namun di lain hal, penyesalan ini semakin menjadi-jadi mengingat kalau Caca memiliki kekuatan di sekolah.
Benar juga, kalau aku mengatakan itu adalah milik Caca, apa yang bakal dikatakan guru kemarin, ya? Ah, kenapa aku dipindahkan sekolahnya, sih?!
Waktu itu Caca menggandeng pengawalnya—yang mungkin sudah memasuki usia paruh baya—masuk ke dalam perdebatan itu, pria tua berpakaian jas rapi itu sangat menakutkan.
Ini yang membuat Bella timbul beberapa persen kebahagiaan, secara melihat Caca tanpa kedatangan Ayah—yang malah pengawal.
Bella sangat yakin pria tua tersebut bukan satu darah dengan Caca. Rambutnya seakan disemir putih menyeluruh, kerutan pada pipi dan kantong mata bisa menandakan sudah berumur.
Perdebatan saja dihiasi oleh suara pria tua itu, dan Caca cuma cengar-cengir mendengarkan dan mengiakan.
Bella berteriak di tengah perbincangan penuh menghina. "DIAM!" Berhenti sejenak, Caca dan si pria tua itu ikut terdiam. "Tolong setop–"
Tanpa basa-basi Caca menyahut, tanpa bantuan si pria tua,—karena sebelumnya berbisik-bisik meminta bantuan kalimat-kalimat menghina sadis untuk Bella. "Kau yang seharusnya diam! Ini menjijikkan, kau mencuri hati Leo–"
"ITU BUKAN SALAHKU." tanpa sadar Bella meninggikan suaranya. "Dia yang mencintaiku terlebih dahulu, lagi pula aku nggak menerima cintanya. Jadi aku mohon–"
"Lalu?" Caca bertanya demikian.
"Lalu?" ulang Bella, tak paham. "Oh, lalu aku memohon sama kamu, tolong berhenti menghina atau mencelakaiku pakai alasan yang masih abu-abu."
"Bukan," terangnya. "Maksudku, lalu langkah apa yang kaulakukan biar Leo berhenti mencintaimu–"
Bella memorong dengan mengerang geram, "Ih, itu bukan urusanku. Itu urusanmu. Memangnya apa yang sudah kaulakukan sampai-sampai dia berpaling darimu?"
"Pasti kamu–" Pria itu mencoba nimbrung, mana pakai nada membentak, namun Bella segera memotongnya.
"Kenapa? Menghasut?" tebak Bella, semburan tebak bersama nada keberangan. Dia menghembuskan napas pasrah lewat hidung, dan berkata, "Boro-boro aku kayak gitu, punya nomor teleponnya aja nggak."
Koper—yang sebelumnya dilemparkan oleh Caca, dan saat ini masih ada di genggaman Bella—langsung dilemparkan balik ke arah Caca sekuat tenaga. Bruk!
Bella buru-buru memutar balik badan dan berlari kabur. Dia bisa mendengar suara pekikan Caca "akh!". Sepertinya juga menggeblak.