SASAR

ALDEVOUT
Chapter #11

Tulah (10)


10


Menjalani perawatan dirumah sakit melelahkan lahir batin Bella.

Kejadian kolam sangat menghebohkan, kamar sembilan meter persegi itu membeludak orang-orang—yang sebelumnya menggunjingkan tindak tanduknua—datang menjenguk, penuh belas kasihan.

Seminggu lebih Bella tidak bersekolah dan langsung dibanjiri permohonan maaf.

Guru-guru datang untuk menyisir rambut dengan tangan, memberikan kata-kata semangat, dan sebelum pamit pergi, mereka memberikan pelukan hangat.

Yang sebelumnya dicari-cari Bella, tapi tidak untuk waktu yang seperti ini.

Di sisi lain, Bella sendiri tak mempermasalahkan manusia yang pernah menanamkan pikiran negatif soal dirinya.

Sebab tujuan terpenting secara tidak terduga telah tercapai—mendapatkan perhatian lebih dari seluruh warga sekolah—bahkan seluruh rakyat di negara ini.

Ia menjadi satu-satunya sorotan utama siaran berita televisi. Banyak kritikan pedas di media sosial gang ditujukan untuk si pelaku perundungan, juga orangtua si korban karena terlihat acuh tak acuh dengan kejadian yang menimpa anaknya.

Media massa datang berkunjung bertanya, Bella menolak, ada rasa aneh, rasa tidak enak kepada Caca. Padahal sebelumnya nayris membunuhnya.

Fakta lainnya, Sari masih belum berkunjung.

"Malahan, Dokter ngomong yang bayar itu orang asing—nggak mengaku kalau keluarganya—dia memakai kardigan warna cokelat muda," jelas Bella.

Mulai dari detik ini, Bella mematenkan kalau Ibu adalah orang terburuk didunia, sedangkan Ayahnya, Eko, yang berselingkuh itu orang yang baik.

Bukti jelas dengan keberadaan Keisha yang amat sangat bahagia saat dalam telepon, sementara Bella sendiri yang memilih Ibunya malah tidak berubah.

Sangat ironis sekali.

Oh, tapi Rian, calon bapak bejat yang tak pernah Bella temui lagi—biasanya bertengger di atas sofa melanjutkan kehidupan sebagai pria The underachiever.

"Aku sebenarnya nggak berharap Ibu datang, tapi sebagai orangtua tetap harus selalu ada di samping anaknya, bukan?" gumamnya dengan sedih.

Kalau kawan atau para guru mengajak bicara, Bella selalu menimpali tanpa semangat. Biarpun dalam hati gembira, ia masih kesulitan untuk melontarkan kata-kata.

Jika orang-orang masih berada di dalam lautan yang dalam, merasa bersalah atas tabiatnya, Bella hanya perlu menyungging senyum manis dan berkata:

"Nggak apa-apa, santai aja..." seraya mengelus telapak tangan orang itu.

Singkat kata, nggak usah repot-repot harus berbuat apa, yang terpenting saling memaafkan, Kata hati Bella.

Setelah banyak kunjungan ia temui. Diantara lautan kawan seangkatannya, laki-laki waktu itu pun muncul.

Laki-laki itu datang berkunjung. "... Itu, itu kan Tony." tebak Bella dengan suara serak.

Bella sangat merindukan Tony. Tatapan mereka sangat romantis, seperti dua insan yang sudah lama tidak bertemu.

Gadis ini sangat menunggu kehadiran Tony, karena siapa lagi yang merasa trenyuh terhadap dirinya? Ditambah sudah diketahui dihadapan Bella secara langsung.

Hanya dia yang berani mengutarakan simpatinya terhadap teman yang dirundung—jika orang biasa mungkin saja ia akan meminta mengganti topik pembicaraannya.

Munculnya perasaan iba pada Tony membuat gadis ini sangat berterima kasih banyak. Kehadiran yang awalnya tak diacuhkan sebenarnya sangat berarti.

Tony berpakaian biasa, bukan seragam sekolah.

Pandangan Bella kini terpaku pada mata Tony yang jika dilihat baik-baik matanya berkilauan.

Mata Bella dan Tony sama-sama berkunang-kunang.

Perlahan-lahan ia melangkah menuju ranjang Bella. "Kenapa, kenapa kamu ngomong namamu 'Lala'?"

Ia menelengkan kecil kepala seolah tak percaya—ternyata Lala adalah Bella—si korban perisakan di sekolahnya selama ini.

Air mulai memenuhi bendungan pada gadis yang duduk di tempatnya berbaring itu. "Maaf," ucapnya namun tak terdengar sama sekali.

Yang didengar Tony bukan kata, maaf, melainkan anak kecil yang menggerutu tak jelas dengan disertai suara serak.

Tony telah berada di hadapan Bella yang pada detik itu juga langsung memeluknya.

Kedua remaja itu berpelukan seolah mereka adik kakak atau sosok pacar—sosok pasangan yang sudah terpisah jauh dan baru kali ini dipertemukan.

Pelukan yang sangat menenangkan jiwa dan raga. "Maaf..." lirih Bella. Barulah Tony mendengar apa yang sebenarnya Bella katakan tadi.

Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala tak setuju dengan ucapan Bella.

"Aku yang harusnya meminta maaf, aku harusnya tahu itu kau. Aku harusnya menemanimu sampai sekolah berakhir." Air mata Tony merebak setelah berucap seperti itu.

Tony tak merelakan Bella menjadi korban perisakan, setelah mendengar kabar bahwa Bella nyaris melayangkan nyawa, membuatnya tergugah cepat-cepat mendatangi rumah sakit ini.

Semua kepanikan ini tentu ada alasannya, masa lalu jawabannya....

Lama berselang, sebelum Tony sepenuhnya menjadi seorang remaja, kakak perempuannya berpulang. Kakaknya tiada diusia yang tidak pada seharusnya.

Lihat selengkapnya