11
Aku pernah mencoba menelepon Keisha. Aku kepengin mendapatkan kasih sayang, jauh sebelum Tony muncul, aku pernah melakukan kegiatan yang hasilnya—rata-ratanya—jadi sia-sia.
Untuk kali ini, aku membuka obrolan dengan kalimat, "Apa kau tahu cara mengatasi biar nggak dirundung?"
"Rundung? Maksudmu Bullying?"
"Mm... iyalah..."
Keisha malah berkomentar nyeleneh, "Pengecut! Tumben kau nggak melawan? Ingat, ya, Anak-anak itu mengganggu soalnya kau lemah. Coba kau megang pisau terus mengancam mereka, pasti nggak bakal dirundung lagi, deh. Hahaha."
Keisha melanjutkan dengan, "Perasaan kau pernah ngomong kalo aku sama ayah itu membuat kamu tertekan. Tamparan dan lain sebagainya. Eh, kamu ingat, kan? Kamu pernah membuatku ketakutan, lho, masih ingat nggak?"
Sekali lagi menambahkan, "Pakai bingung segala lagi, memangnya otakmu nggak dipakai, ha? Ibu yang kamu bangga-banggakan nggak digunakan? Dia sumber uang dirumah kita. Curi saja uangnya, satu miliar, sogok aja tuh."
Satu miliar? Boro-boro satu miliar, seribu aja kadang susah kasih ke tanganku. Akh! Ribet. Aku menutup telepon tanpa berbicara apa-apa karena kepalaku semakin pengin pecah.
Woh! Ada yang aneh. Anehnya... kenapa Ibu akhir-akhir ini sering pulang lebih cepat dari biasanya?
Semenjak pria bejat bernama Rian itu pergi, Ibu sering pulang jam empat sore, alih-alih yang biasanya jam sepuluh malam.
Patut dicurigai, nih.
Jam beker kecilku berdering, menandakan waktunya untuk tidur. Meski bentuknya ketinggalan jaman dan membosankan, yang penting aku punya jadwal yang teratur.
Semestinya Ibu ada di kamarnya. Hm, apa dia aslinya tetap bekerjasama cuma disambung di rumah? Ah, benar, mungkin begitu.
Aku langsung merebahkan badan di atas kasur dan menaikan selimut sampai menutup badanku. Pun guling langsung aku peluk dan berangsur terlelap.
×××
Dalam lubuk hati yang terdalam, aku ingin membantingkan diri ke tanaman kaktus, tumpukan jarum, atau pecahan kaca berukuran sedang.
Memasuki awal baru setelah perceraian orangtua membuatku berpisah dengan saudari bangsatku. Biar begitu pun, aku tetap merindukan kebangsatannya.
Aku bersekolah di tempat yang baru, tapi langsung mendapatkan lingkungan yang tak mendukung, dan dengan cepat menjadi korban perundungan yang bahkan sampai membuatku mati.
Meski berhasil terealisasikan keinginan oleh Tuhan, tapi terlalu dekat dengan kematian.
Mereka—Rian dan Ibu—melakukan hal begituan sebelum lamaran atau pun pertunangan—kedua makhluk tua buruk itu mengundang rasa benci—yang sangat amat membekas dalam hati.
Di sisi lain...
Aku memperoleh laki-laki yang baik, dan mau memelukku, menenangkanku, mengajakku menjadi seorang sahabat.
Ugh, tapi tetap nggak berubah. Kurasa anak-anak perundung itu membuatku sering gelagapan kalau didekat mereka.
Gemetaran, mandi keringat, juga obrolan panjang lebar bareng pikiran yang tak jelas.
Pelaku ketua kelompok beserta adik kelas itu ternyata telah dikeluarkan dari sekolah, tersisa tiga anak buahnya.
Dua perempuan, satu lekaki.
Oh! Aku baru ingat, yang terakhir, aku mendapatkan tamparan angan-angan bermandikan api. Sebuah ingatan muncul. Bayangan itu bukan seperti imajinasi, melainkan kejadian nyata.
Kejadian yang sepertinya menciptakan trauma. Trauma dengan api.
Pertama mobil pemadam kebakaran menyemburkan air deras. Kedua berada di ruangan api yang berkobar.
×××