12
Salah seorang dari tiga anak perundung itu mengancamku. Entah ini disebut melarikan diri atau nggak, tiba-tiba saja otakku memberikan kegiatan.
Setelah berlari, berjalan beberapa blok. Aku berhenti di sebuah taman. Sepi. Tak ada suara.
Hanya kicauan burung. Matahari tidak terlalu terik, terkadang awan melayang di atasnya. Hawa yang harus aku rasakan seharusnya kelegaan.
"Kau mendramatisir kejadian kemarin! Lebay, anjing! Alay!"
Aku hanya membaca, tak menjawab. Beberapa detik kemudian dia—si penindas—mengirim pesan baru.
Kenapa aku sampai lupa nama merek, wajah mereka?
"Kita bakal ke rumahmu besok buat tanggung jawab. Orangtuaku sibuk memarahi, memaki padahal bukan aku yang melakukannya, ah! Gobloklah!"
Aku membuka aplikasi telepon dan memencet setiap angka nomor telepon Keisha. Apa sebaiknya aku telepon dia, ya?
Tony memang menyemangatiku, kurasa ini bukan waktunya meminta tolong kepadanya.
Tapi anak ini sangat luar biasa, aku masih ingat Tony berkata kalau aku adalah anak baik, dengan bukti nyata orangtuaku bejat-bejat.
"Wah, bagus dong. Orangtua kamu nggak waras, tapi kamunya waras. Kamu nggak mengikuti alur kebejatan mereka. Bagus!" kata Tony.
Sahabatku dengan orang yang cinta sama aku berbeda. Sangat berbeda. Leo dan Tony tipe lelaki yang berbeda.
Sebelum kejadian di kolam, Leo sudah sering mampir ke sekolah, aku sadar dia berusaha menangkap tatapanku. Tapi kenapa wajahnya jadi makin kopong, ya? Apa karena patah hati?
Bahkan waktu di rumah Caca, matanya saja memerah. Tidak semua, tapi aku bisa melihat matanya yang tidak seperti manusia normal biasanya.
Tapi pipinya, sih. Sampai-sampai aku bisa membayangkan kalau menyentuh pipinya bakal langsung terasa rahang ataupun giginya.
Angin meniup rambutku. Rambut hitam ini memanjang lebih cepat dari yang aku duga. Dan lebih cepat rontok dari yang aku duga.
Menoleh ke kanan kiri, yang kulihat hanya daun kering, daun menguning, daun hijau segar yang mungkin lepas karena hembusan angin.
Aku baru tahu kalau tetangga sebelah ternyata meminta izin Ibu untuk berkebun di halaman rumah.
Nggak masalah, sih. Kan jadinya enak. Segar....
Tiba-tiba jalanan yang sebelumnya memantulkan sinar matahari kini jadi gelap. Masa mau hujan? Oh, apa karena awan?
Ah sudahlah, telepon Keisha saja dulu. Tut...
Tut...!
Wuih, terangkatnya cepat banget!
[Aduuh, apa lagi?]
"A, aku–" Lho? Bella mendengar kejanggalan.
Suara Keisha gagap dikarenakan napas yang tersengal-sengal. Selain itu, Bella bisa mendengar suara kaki menapak. Iya, nggak, batin Bella.
Keisha sepertinya tidak memakai alas kaki.
Sejenak Bella diam membeku.
Satu tarikan napas muncul dari telepon, kemudian Keisha melanjutkan, [Bella, sudahlah, kamu nggak usah percaya sama orang-orang di luar sana, mereka manusia yang sama-sama bodoh, yang akalnya cuma dipakai buat kebutuhan yang nggak perlu.]
Setelah Keisha selesai, Bella memberi alasan, "Kemarin mereka–"
Namun dipotong Keisha, [Sstt, kamu udah pernah ngomong sama Ibu nggak, sih? Seburuk-buruknya orangtua, menurutku orangtua kita nggak sejahat itu juga. Kalau Ibu jahat, buat apa dia kerja pagi, siang, sampai malam? Ya kan?]
Kenapa dia jadi begini? Yang Bella tahu itu, Keisha bukan seseorang yang mencintai Ibu. Apa yang membuat saudari Bella ini berubah?
"Mereka mengirim pesan mengancam," kata Bella. Dia mendengar sebuah derap sepatu. "aku udah nggak bisa, nggak bisa–"
Memandang ke sumber suara, mata Bella langsung terbelalak. Para perundung telah menemukan Bella.
Mereka berada selangkah di samping Bella, yang duduk di kursi panjang taman.
"Wah, wah, lagi telepon bareng Leo, ya? Benar juga, Caca kan sudah pergi, jadi kesempatanmu buat pacaran bareng tuh laki gede banget, kan? Hahaha," celetuk seorang gadis yang ditangannya menggenggam bola bisbol.
Dia berambut panjang. Aku ingat, dia Sofi. Oh! Dan itu Naila, juga yang laki-laki Beni.
Telepon belum diputus oleh Bella dan keisha mendengar apa yang diucapkan para kelompok itu.
Tentu Keisha jadi menganga bingung, dia mengeluarkan suara untuk menyadarkan Bella, [Halo? Bella? Kau nggak apa-apa?]
"Anak sialan." bisik Sofi yang sedari tadi mengomel.
Buru-buru mereka menutup mulut Bella dengan selotip, menyatukan tangan Bella kebelakang dengan selotip seolah diborgol.
Setelah bersusah payah melakuan itu—sebab Bella bergoyang menolak direkatkan dengan selotip—mereka membawa Bella pergi.
"Aakh!" teriak Bella namun sangat redam karena keberadaan selotip di bibirnya.
Tangan Bella sudah tak kuat menggenggam ponsel yang lantas jatuh diantara rerumputan. Suara benturan ponsel membuat Keisha bertanya-tanya, [Bella! Halo? Halo?! Haloo?! Kau di mana?! Hei!]
Bella ditampar tiga kali, pipinya juga dicubit kuat sekali.
Naila dan sofi menggandeng yang dimana kini hanya kaki Bella yang dapat bergerak leluasa.
Beni, masih saja mencubit Bella sampai memerah dan jika diperhatikan lebih jelih lagi, pada saku celana Beni terdapat gunting yang tajam.
Masih satu atau sekitar dua langkah tetapi Bella mendadak dijegal. "Woi!"
Brak!
Anehnya mereka membantu membangkitkan Bella."Kalian maunya apa!" Tapi yang di dengar anak-anak itu ya cuma omelan tak jelas.
"Ha? Ngomong apa, sih? Yang jelas, dong. Hahaha." ketiga orang itu menertawai Bella.
Air mata menggenang di sudut mata. Kemudian ia melunak, pasrah. Menyedihkan.
Plak! Aku tahu itu sakit.