Kicep:
1
Perumahan yang tertata rapi ini akan jarang aku temui lagi. Perumahan yang setiap desainnya seragam ini nggak akan aku temui lagi.
Apakah aku bakal rindu sama rumah yang lebarnya sekitar dua belas meter dengan halaman berumput hijau segar, dan di sisi kanan atau pun kirinya ada ruang untuk tempat parkir dua mobil?
Apakah aku bakal rindu sama setiap rumah yang tidak diperbolehkan memasang kanopi ini?
Aneh, sih, kenapa kok nggak dibolehkan untuk memasang kanopi. Hmm, apa mungkin karena rumahnya sudah didesain memiliki garasi (dalam ruangan) yang sama cukup untuk dua mobil?
Berarti trotoar dua mobil di samping halaman mungkin hanya untuk pemanis atau mungkin juga untuk tamu.
Aku tahu Ibu yang membeli rumah ini, karena memang Ibu yang gajinya lebih besar daripada Ayah. Tapi, gaji yang besar artinya kerjanya juga ekstra besar.
Perumahan elite ini memang luar biasa. Ibu sudah bekerja keras mati-matian, tapi kasih sayangnya jadi kecil. Mm, sebenarnya nyaris nggak pernah ada.
Beruntunglah aku masih memiliki Ayah yang sayang denganku, hanya denganku, bukan dengannya—si kakak tukang ngajak susah—dia nggak disayangi oleh Ayah.
Aku sangat beruntung.
Beberapa minggu lalu sampai tadi pagi, hm, sekitar sebelum fajar muncul, kami memang berteman baik, tapi tidak lagi.
Si kakak–
Ah! Aku panggil namanya sajalah, Bella–
Aduh! Nggak enak rasanya memanggil nama orang yang paling dibenci.
Gini aja, orang yang menyebutku anak caper itu... nah, begini kan enak, baru pas, cocok.
Intinya, Ayah berkomentar kalau Ibulah yang selingkuh, tapi pengakuan Bella kalau Ayah yang berselingkuh dong.
Gila memang tuh anak.
Tega banget, apa-apaan sih dia itu?! Memang kurang ajar, ya begitu anak yang benci sama Ayahnya. Terus menerus halu.
Lagi pula kenapa Ayah benci sama Bella, sih? Oh iya, karena aku yang minta. Hahahaha.
Parah banget dia pernah ngomong seperti ini:
"Kita ada di dunia juga perlu beradaptasi. Itu yang kamu perlukan, beradaptasi dengan lingkungan barumu."
Aku perlu mengerucutkan bibir untuk menghina bagaimana cara dia ngomong kelomat barusan.
Anehnya, dia ngomong begituan bukan biar mancing aku mau tinggal bareng Ibu, malah ceramah omong kosong. Sinting memang.
Truk putih besar di belakang mobil, mengangkut barang-barang pindahan aku dan Ayah. Luar biasa, Ayah bisa menyewa truk itu. Hebat!
Mobil SUV gagah besar hitam memang pas untuk Ayah. Dia sedang berada di kursi pengemudi, memakai kacamata hitam. Sudah tua, masih banyak gaya.
Perjalanan menuju rumah baru kali ini bakal jadi sepi, biasanya—meski aku benci sama Bella—kita tetap main bersama, setidaknya main tebak-tebakan nama hewan, nama kota atau pun negara.
Kalau nggak bisa ditebak bakal dicubit tangannya, dan berakhir saling menangis.
Aku mengantuk, sabuk pengaman membantuku menahan agar tetap menempel pada kursi. Tetapi, tahu-tahu sudah sampai.
Membutuhkan lima menit saja. Sebenarnya ini masih satu perumahan, cuma kelas kastanya yang lebih murah.
Rumah baru yang lebar sekitar tujuh dan panjangnya du, du, hmm... astaga pendek sekali, dua belas meter, doang.
Rumah Ibu lebarnya malah yang dua belas, terus panjangnya dua puluh. Ini kemunduran banget, sih.
Lagian kenapa nggak pindah perumahan yang mana dengan harga yang sama dapat luas yang lebih besar.
Tunggu, aku membanding-bandingkan Ayah dan Ibu melulu. Sudah, sudah, kamu harus suka dengan rumah barumu, Keisha. Harus!
"Bagaimana, Keisha?" tanyanya, apa mungkin dia menciba menyadarkan aku?
Gara-gara melihat wajahku yang datar, Ayah lanjut mencobe meluluhkan aku, "Iya, Ayah tahu masih lebih bagusan punya Ibumu, Ayah cuma mampu mengkredit rumah yang ini, sayang."
Mengkredit katanya?
Ayah tertawa pelan kemudian menghembuskan napas panjang. "Tenang, kalau keuangan Ayah stabil, bisa dipastikan kita bakal pindah ke komplek yang lebih tinggi dari Ibu. Oke!"
Mengangguk sajalah, nggak peduli, karena sangat mustahil bisa. Harga rumah kelas Ibu saja lima miliar. Yang ini? Aku yakin nggak sampai satu miliar, apa kabar yang kelasnya di atas Ibu?
Sebanyak tiga orang keluar dari truk dan mulai memindahkan barang. Sembari Ayah pergi untuk mengarah dimana letak perabotan tersebut, aku tetap berada di mobil, bermain gawaiku.
Tak lama kemudian Bella menelepon. Mata ini mendelik. In, ini nggak salah, kan? Dia kok meneleponku?
Oh... ternyata dia masih hidup? Padahal Ayah mendorong sampai menubruk pinggiran meja. Hahaha, kuat sekali anak ini.
Aku cengengesan seraya mengangkat telepon, "Iya, kenapa?"
[Bisa ke sini? Sebentar saja kok.]
"Buat?" tawaku perlahan menghilang, suara Bella serius.
[Emm... hmm...]