2
Kalau tidak salah ingat, tiga hari sebelum perceraian. (Ini sebuah kenangan disaat Ibu sambungku tidak berpisah dengan Ayah).
Aku mendengar kebisingan di kamar mandi, guyangan air mengusik tidur malamku. Ibu sambungku muntah-muntah. Apa dia Keracunan?
Setelah berpikir panjang lebar, aku memutuskan menghampirinya. Mungkin menanyakan keadaannya.
Suara berderap yang kuciptakan pasti terdengar.
Sesampainya di dekat kamar mandi, aku bisa melihat Ibu sambungku tampak sangat kacau. Perutnya bahkan sampai menggembung, ah, kasihan....
"Emm, bu, apa kau tak apa?" tanyaku sembari melembutkan suara.
"Eh, Keisha, kebangun, ya? Maaf," kata dia dengan tanpa semangat, serak-serak. Aku kaget, wajahnya pucat pasi. "Ibu, nggak apa-apa, kok, cuma rada-rada pusing."
Terbesitlah inisiatif, "Mm, mau aku ambilkan minum, bu?"
"Wah, terima kasih, boleh. Maaf merepotkan, ya..." Ibu menggerakkan kakinya kembali ke dalam kamar mandi.
Sebelum mengambilkan air, aku beriap siaga siapa tahu Ibu mendadak tumbang.
Salah satu tangannya bertopang pada westafel, dan satunya lagi berada di pinggang layaknya orang sakit perut. Air mata akibat sakit muncul cukup intensif.
Aku segera melangkah pergi mengambil gelas dan mengisinya air putih.
Menunggu air penuh, aku angop selebar-lebarnya, mata ini menyipit karena rasa kantuk masih menumpuk di pikiranku. Setelah penuh, aku menghampiri Ibu. Memberikan minumannya.
"Terima kasih."
Ia pelan-pelan meminumnya, tidak, bukan pelan, tapi ragu-ragu.
Tak disangka-sangka, Ibu malah menyemburkan cairan aneh dari lambung ke dalam gelas. Aku berbalik karena terikut mual.
Mataku berlinang air mata, itu menjijikkan!
Ibu yang melihatku berbalik langsung berkata, "Tidurlah saja, jangan memikirkan aku."
Waduh, kok bisa ya Ibu muntah-muntah–
Eh? Jangan-jangan. "Hamil?" mulutku yang mengeluarkan suara itu langsung aku tutup dengan tangan rapat-rapat.
Aduh, Keisha, nggak sopan tahu blak-blakkan ngomong begituan.
Ah, sial. Sebentar lagi punya adik. Pasti berat. Ya, sudahlah. "Selamat malam, bu..." bisikku seraya menapak pergi.
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya batuk-batuk mual.
Satu bulan kemudian
Keluarga menjadi kembali seperti semula. Tersisa antara bapak dan anak.
Setelah memasang sabuk pengaman, Eko, mulai menancapkan gas.
Dua minggu bersekolah di sekolah yang baru, Ia masih belum disambut baik oleh teman-temannya, sejak itulah Keisha berpikir kalau Bella menceritakan soal dirinya yang tidak-tidak.
Keisha sendiri bingung kenapa dipindahkan, karena Bella juga sudah pindah sekolahnya. Hmm, apa mungkin Ayah sengaja buat pamer ke Ibu?
Biaya bulanan sekolah tersebut sekitar 500 ribu rupiah. Bagi keluarganya—terlebih lagi sudah tidak serumah dengan Ibu yang bergaji tinggi itu—sangat mahal.
Dia penuh dengan pertanyaan, sebenarnya Ayah itu baik atau jahat?
Semalam, Ayahnya sudah membersihkan kamarnya, padahal tidak ikut campur mengacaukan tapi ikut membereskannya. Ah, ini mungkin yang disebut orangtua.
Kekacauan Keisha dihentikan paksa sekitar jam delapan malam. Lalu Eko menyelesaikan kekacauannya—perabotan yang berantakan—sekitar jam tiga pagi.
Dan selama tujuh jam, Keisha tidak tidur sama sekali, meski terserang kantuk dahsyat untuk menemani Ayahnya itu.
Luar biasanya, selesai membereskan kamar anaknya, Eko menggendong Keisha yang pura-pura tidur kembali ke kamar.
Kamar memang sudah bersih, tapi saat Keisha mengitarkan pandangan, barang-barang banyak yang hilang, semua dikeluarkan dari kamar.
Eko yang postur tubuhnya cukup berotot bisa membereskannya dengan satu tangan, bisa jadi karena alasan inilah tante-tante banyak gaya dan bermasalah itu menggoda Eko.
Di lain hal, Eko juga salah, sebagai orang tua seharusnya jangan terpancing. Hm, apa mungkin karena sang suami tidak ada sosok istri, dia jadi liar?
Sekarang aku menyetujui perkataan Bella kalau Ayah memang benar berselingkuh, kata hati Keisha.
Dalam perjalanan, Ayah membuka mulut, "Soal yang kemarin kamu dengar itu... itu salah," Eko terlihat skeptis untuk menjelaskan permasalahannya.
Keisha yang sebelumnya memilin seragamnya mendongak, tapi jemari masih sibuk memainkan seragam tersebut.
"E... Kita belum bercerai, kok."
'Belum' katanya? Berarti, artinya 'akan'?
"Kita, bakal baik-baik saja, dengan keluarga kecil ini." Eko buru-buru menghentikan pembicaraan omong kosong yang belum pasti, "ah, lupakan saja."
Keisha membuang wajahnya, gedung sekolah mulai terlihat, cuma tingkat dua. Anak-anak yang mengenakan seragam yang sama seperti apa yang Keisha kenakan.
Semisal Eko memang benar menyekolahkan Keisha untuk pamer kepada Sari. Berarti Ayah belum sadar kalau sudah gede, ih! Sudah gede kok masih kekanak-kanakan, pikir Keisha.
Setelah melepaskan sabuk pengaman, Keisha mencium tangan Eko, berpamitan, lalu turun.
Tak ada kata semangat seperti dulu dari Ayahnya. Sebab biasanya pria itu mengucapkan, "Yang serius belajarnya, ya." Tapi kali ini tidak.