SASAR

ALDEVOUT
Chapter #18

Kicep (3)


3


Seminggu kemudian

Tony sudah resmi menjadi sahabatku. Laki-laki tampan itu benar-benar teman terdekatku. Aku mempunyai dua orang pria yang mau mencintaiku, Ayah dan Tony.

Kita berdua akan bertemu di kedai gagang lagi.

Kedai yang sudah menjadi kewajiban saat akan bertemu dengannya. Masing-masing dari kita akan membawa uang 50 ribu rupiah, makanan di sini memang nggak terlalu mahal, tapi karena kita menghabiskan banyak waktu, maka kami harus membayar uang tambahan.

Kedai gagang seperti hotel, kita perlu mendaftarkan diri saat akan masuk.

Jadi, kalau sudah melebihi satu setengah jam di situ, maka akan dikenakan tarif tambahan (Menghindari anak nakal yang nongkrong memakai wifi berlebihan).

Nggak peduli juga, sih, soalnya tempat yang biasa kita tempati sangat nyaman. Hanya untuk berdua saja lagi.

Aku datang lebih dulu, dan kedai gagang masih sama ramainya, tak pernah sepi. Bahkan para reviewer makanan silih berganti sering berkunjung ke sini, aku tahu kalau mereka reviewer karena suaranya yang lantang, seperti:

"Kita di kedai gagang, nih, guys, kedai yang rasa makanannya maknyus, enak dan bikin nagih, nggak bohong. Aku sampai nambah dua piring, lho."

Untungnya hari ini tidak ada. Kalaupun ada sebenarnya nggak mengganggu juga, sih.

Anak SMP kelas 3 sepertiku ini apa seharusnya sudah jago makai riasan? Entah mengapa aku masih belum tertarik sama berdandan.

Aku memakai kaus putih lengan pendek oversize cukup tipis (tapi tidak sampai menerawang dalaman), ditutupi jaket jins, bawahannya cuma celana hitam santai (yang nggak ketat).

Masih tidak menyangka saja, kata belum yang dilontarkan Ayah dulu ternyata benar-benar artinya akan. Ayah dan Ibu tiri... emm, tante-tante itu, sekarang sudah bercerai.

Nggak ada rasa panik atau apa, aku cuma merasa ini hambar. Asinnya garam pada keluarga sudah nggak ada sama sekali. Aku pun tak perlu meributkan apa-apa, karena tante itu nggak mempermasalahkan hak asuh anak.

Dan luar biasanya, Ayah sekarang bekerja di tempat dunia malam, tempat yang paling aku benci.

Dia bekerja sebagai pramutama bar lagi. Sebagai orang yang menyajikan minuman beralkohol, memabukkan orang.

Kenapa ada manusia yang melepaskan penat, atau memang suka bersenang-senang, dengan cara meminum beginian, sih?

Oh! Bentar, bentar, jangan-jangan Ayah lagi cari mangsa?

Ah sudah, sudah. Kalau aku memasang wajah tak enak dipandang bisa-bisa gawat, ini kan hari temu bareng sahabat dekat.

"Keisha, kenapa?" suara Tony mengagetkanku.

"Eh, nggak apa-apa, kok." Aku mengedip-ngedipkan mata dan segera memperbaiki raut mukaku.

Tony berderap lalu melekatkan kedua telapak tangannya pada pipiku. Jemarinya membungkus wajahku, aku bisa merasakan ujung jarinya menyentuh telinga.

Dia mengibaskan rambut panjangku yang berada di dada. Ini berlebihan nggak? Kita bersahabat, kenapa dia?

Tanpa perintah dari hati, jemariku diletakkan di dada Tony, mengelusnya, meraba, dan tubuhnya bisa kurasakan.

Gawat, ini, ini apa-apaan, ya?!

Aku bisa mendengar napasnya, dia sudah pasti bisa mendengar napasku. Wajah kita mulai mendekat.

Aku menelan ludah. Tangan Tony turun, leherku bisa merasakan jemari panjang Tony, dan tiba-tiba saja saat turun menuju bagian yang itu, perlahan aku tersadar apa yang akan terjadi.

Aku segera bangkit menjauh. "Emm, aku rasa, seharusnya kita nggak gelap mata," ujarku. "Kita kan sahabatan."

Tony mendesah pasrah, kemudian menepuk-nepuk sofa menyuruhku untuk duduk. Aku melangkah ke sana tanpa berpikir macam-macam.

Dia baik, kok.

Lihat selengkapnya