4
"Apa kau pernah terbayang kalau ternyata kau itu anak angkat?" tanya Keisha. Ia baru saja dikirim sebuah foto lembaran kertas rusak dari Bella bertuliskan "Pengadopsian Anak" dan di sana tertulis nama "Keisha" tanpa nama panjang yang jelas karena telah digerogoti rayap.
[Apa? Kenapa tanya begitu?] tanya balik Tony.
"Apa karena itu alasannya aku disayang bukan main sama Ayah, ya?"
[Keisha, tenang, orangtua nggak seburuk itu, kok. Apa kau ingat yang kita bicarakan kemarin?]
"Bom nggak mungkin bisa disangkut pautkan dengan ini. Tolong berhenti bicara soal bom, aku jadi muak mendengar kata itu."
[Setidaknya ada yang mau menemani sejak kau lahir, kan.] lanjut Tony, suranya melembut.
Keisha terdiam. Air mata tergenang di sana.
Napas gadis yang berbaring di tempat tidur ini mulai tersendat-sendat. Lalu ia mengerjap-ngerjap matanya dan air mata jatuh, namun Keisha segera menyeka. Spontan ia mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Apa kau sedang membandingkan hidupmu dengan hidupku?"
[Keisha, terkadang kau perlu sekali-kali menatap orang yang seangkatanmu, bandingkan dirimu dengannya, kau perlu menyadari bahwa... ada yang lebih parah daripada dirimu.]
"Bukannya itu malah menyakitkan hati kita sendiri, ya? Membanding-bandingkan orang itu menyakitkan hati, lho." Keisha beringsut dan mulai terbawa emosi.
[Aku dulu juga seperti itu, kok, cuma, semakin bertambahnya umur, hal-hal semacam itu jadi nggak berguna.]
Keisha mulai bernapas lewat mulut, "Nggak berguna bagaimana, ya?" Bulir air mata muncul lagi
[Entah mengapa, kini aku berhenti memikirkan kalau aku kehilangan orangtua, dan aku pun nggak apa-apa. Kau bisa melihatku tersenyum, kan? Kehidupan memang pahit, tapi bukan berarti kau enggak bakal merasakan manis.]
"Internet lagi? Jangan bilang kau lagi menatap monitor," tebak Keisha seraya membersitkan ingus dan mengelap air mata.
[Lagi-lagi aku mengarang aja, maaf kalau kau menemukan kalimat yang sama.] jelas Tony, yang kini tersenyum-senyum sendiri, ia sendiri heran kenapa bisa muncul hal-hal di luar dipikirannya itu.
"Maaf, sampai membuatmu terpaksa menjelaskan kalau kedua orangtuamu berpulang, aku turut berduka cita." ungkap Keisha, ia menggigit bibirnya merasa bersalah.
[Setidaknya kau jadi mengerti.]
"Iya, makasih," kata Keisha. "Kalau aku tetap ikut sesuai kata saudariku, mungkin aku bakal terus menerus diberikan nasehat. Kau tahu? Dia sering banget mencoba telepon aku, tapi jarang kuangkat soalnya yang dibahas itu-itu aja."
Tony hanya tertawa. Percakapan dalam telepon ini menjadi canggung. Tony berulangkali berdeham.
Kehabisan topik, Keisha bertanya acak, "Kamu pakai baju warna apa?"
[Emm, warna hitam. Kalau kamu apa? Pasti cerah kan?]
Takjub dengan tebakan Tony, "Benar, sekarang pakai baju warna merah. Merahnya merah berani."
Kemudian kembali senyap. Kembali kehabisan topik. Dari telepon, Keisha bisa mendengar Tony yang menelan ludah, dan Keisha mengira Tony bisa mendengar suara "Mm..." selagi mencari hal yang asyik untuk dibahaa.
"Hmm, pulsamu masih banyak, kan?"
[Lumayan, ada seratus ribuan.]
"Mantap. Aku pengin kita tidur sambil teleponan. Maaf kalau berlebihan, nggak suka boleh ngomong, aku cuma kepengin ada yang nungguin, kebetulan hari ini malam minggu, Ayah lembur, rumah sepi."
Meski tak bisa dilihat oleh Keisha secara langsung, Tony mengangguk-ngangguk dan menjawab, [Boleh. Bentar aku ke ranjang dulu.]
Keisha tiba-tiba bergumam seolah ingin mengatakan sesuatu. Tony yang sedang melepaskan semua pakaian atasan pun menyadarinya. Setelah itu Tony berbaring di atas ranjang empuk.
"Sebetulnya aku ingin ditemani secara bertatap muka. Ya... kau tahu itu pasti nggak elok, kan," kata Keisha, jantungnya berdetak kencang, ia juga menyunggingkan senyum berkali-kali dan memainkan selimut karena malu.
Tony hanya bisa menjawab dengan tertawa. "Selamat malam."
[Selamat malam juga.] ucapan dengan nada berat membuat Keisha lebih tenang. Suara laki-laki idamannya sangat indah, sangat menggiurkan. Ingus yang sebelumnya menyumbat sudah menghilang.
Keisha ingat bagaimana sikap Tony. Sosok hangat dan cukup memperbaiki tabiat Keisha.
Mengajak ke sebuah danau buatan subuh-subuh—yang padahal paginya mereka akan bersekolah. Selain menikmati embun dan kabut, juga untuk melepas emosional disalurkan lewat melemparkan baru sekencang-kencangnya.
Tony mengajarkan hal-hal yang dianggap sepele Keisha, dianggap normal, dianggap sudah sewajarnya seperti itu.
Salah satu contohnya mencuri makanan di kantin. Keisha ingat sekali waktu mengantre. Tony tak segan-segan melapor ke ibu kantin, sangat disayangkan si Ibu tidak peduli.
Tony tanpa malu memperingatkan si pelaku pencurian itu. Di hari itu juga, keduanya di panggil ke ruang BK.
"Kau tahu Keisha?" Tony berkata, "itu termasuk bibit-bibit anak bejat. Kalau orang-orang bodoh amat, apa yang terjadi pada dunia nanti?"
Keisha tetap saja mengeyel, Tony mau tidak mau menghentikan pembicaraan karena hasilnya pasti sia-sia.
Dua insan yang dipertemukan untuk bersahabat malah kayak pacaran, begitu batin Keisha.