SASAR

ALDEVOUT
Chapter #24

Mala (1)

Mala:

1


Jika norma berpacaran di negara ini sangat dihina, maka mereka perlu bertanya panjang lebar dengan orangtuaku.

Tanya seperti seorang detektif, secara terperinci, jelas, faktual, sampai perlu bertanya-tanya kepada tetangga sekitar tentang apa yang membuat aku ini bisa terpincut untuk memiliki seorang kekasih; seorang gadis, maupun seseorang yang ada di sampingku selalu.

Ibu sepenuhnya menjadi Ibu rumah tangga. Di rumah ini ada satu orang tambahan yang melengkapi keluarga kami, yaitu Emak, nenekku. Seorang wanita tua yang tubuhnya kendor, kulitnya bergoyang-goyang setiap melangkah dan mungkin bisa dibilang umurnya sudah kedaluwarsa.

Emak, dia sempat menggantikan Ibu saat sakit, meski berjalan saja susah, beliau tetap menyempatkan waktu untuk membantu.

Ayah tak pernah pulang—pekerjaannya sebagai seorang pilot—pekerjaan Ayah termasuk bahaya, karena bisa merenggut nyawanya. Karena itulah dia orang yang paling ditunggu-tunggu di rumah.

Seseorang yang penuh dengan aura positif, tawa menggelegar dan candaan, sudah pasti jika meja makan diisi oleh Ayah, kita akan batuk-batuk karena tertawa melulu.

Aduuuh, Ibu orangnya cerewetnya bukan main, setiap kali pulang sekolah dia akan bertanya, "Bagaimana sekolahnya? Capek atau seru?", "Ada PR tidak?" Dan "Tadi kamu main di sekolahnya aman-aman aja atau ada pertengkaran?".

Ibu, Ibu.... Cerewet banget. Kalau ulangan dimulai, ia akan terbangun jam tiga pagi, karena aku punya metode bangun jam tiga pagi.

Dia datang ke kamarku, bertanya nanti ulangannya apa? Ada berapa bab? Wah, pokoknya banyak banget. Aku sendiri merasa nggak nyaman kalau di tanya terus.

Ini kehidupanku, kan? Bagaimana kalau aku nggak sewot coba?

Bahkan pernah, waktu aku mengerjakan PR dia datang bertanya, "Lagi mengerjakan apa?" Padahal jelas-jelaa buku sekolah menumpuk.

Sebentar lagi.... Eh, nggak juga sih, sekitar satu tahunan lagi, aku akan masuk jenjang pendidikan SMP, aku punya niatan buat ikut akselerasi lagi, soalnya ada suatu yang menantang saat ikut akselerasi.

Saat lagi menonton televisi, Ibu akan datang bertanya sana-sini, menjelaskan maksud acara televisi itu mainkan.

Sekarang jam enam. Sudah sarapan, sudah pakai seragam, sekarang aku akan berangkat menuju sekolah. Bawa ponsel nggak, ya?

Enggak ada larangan membawa ponsel disekolah, karena sekolahku bodoh amat soal anak didiknya, yang penting sudah mengajar dan memakai atribut lengkap berlabel nama sekolah, oh, jangan lupa dengan potongan rambut yang harus pendeknya minta ampun.

Kalo dikira-kira, hanya 30% kemungkinan sosok guru, yang benar-benar seorang guru sejati, membimbing dengan benar dan serius.

Bagiku tujuan 30% guru yang tadi kubilang, bertujuan mendidik generasi penerus matang-matang, bukan sekadar demi uang.

Aku menata rambut sekali lagi, aku bisa melihat bola mata hitamku memantulkan bayangan yang ada di cermin, sangat luar biasa, sangat tampan, sangat menggoda hati anak cewek.

Selesai menyisir dan memakai topi sekolah, aku berjalan menuju dapur untuk salim pada Emak. Setelah mencium tangan beserta kedua pipinya, aku menapak keluar rumah seraya berkata, "Berangkat dulu, ya mak!"

Sebenarnya sopan nggak sih memanggil emak? Tapi sudah terbiasa dari kecil, kalo aku memanggilnya mbah, aku jadi merasa beliau ini nenek baruku.

Di depan pintu, Ibu menunggu sambil gibah bareng tetangga lainnya.

Perumahan ini mengusung konsep yang sangat unik, sangat nggak pada umumnya, sebab suasana yang didapatkan seperti di desa atau perkampungan.

Saat sepatu sudah kupakai, aku menghampiri Ibu dan salim, "Mari pak, bu," ucapku seraya mengangguk pada tetangga lainnya.

Saat aku akan mengayuh pergi, Emak berteriak dari teras rumah, "Hati-hati ya, Yo!"

"Iya, mak..." balasku.

Emak tadi berkata, "Yo" ya kan? Dari dulu Emak memang enggak memanggilku dengan nama Leo, tapi Yo, sekilas seperti gaya percakapan orang barat, "yo, yo, what's up."

Sepeda mahal pemberian Ayah tahun lalu ini bermerek Indonesia, dari dulu Ayah selalu menanamkan kebiasaan untuk tetap 80% barang dirumah harus produk lokal, dan masih bertahan sampai sekarang.

Dari perabotan, barang elektronik, terkecuali ponsel. Ayah sangat percaya diri berkata, "Kalau negara ini bisa menciptakan mobil dan ponsel yang bisa menyaingi negara luar, sudah pasti aku beli setiap ada model terbaru."

Ingat, itu "kalau". Apa Indonesia bisa?

Bagi Ayah yang punya banyak uang, yah... nggak apalah. Uang sejuta mungkin seperti seribu rupiah. Kemungkinan buat beli barang-barang primer sangat besar.

Adu-duh.... Jangan bilang ngomong sendirian begini jadi sombong sama setan? Enakan sombong sama setan apa orang, ya?

Ini hari pertama aku kelas enam, sekarang sudah semester kedua, karena ikut akselerasi, semua materi pelajaran harus kukerjakan cepat-cepat.

Melelahkan? Jelas, tapi mau bagaimana lagi, sudah ditengah jalan masa aku batalkan?

Keseharianku, ya, pacaran sama mengerjakan soal-soal buat mengejar materi dengan cepat. Tugas jangan ditanya.

Mungkin itu alasan Ibuku mondar-mandir tanya hal yang monoton padahal jelas-jelas sedang mengerjakan tugas.

Lihat selengkapnya