2
Empat tahun setelahnya
"Papa mana boleh memutuskan apa yang aku mau?!" desak Bella, matanya menjegil lembap. "Memang benar Papa itu orangtuaku, tapi kehidupanku, ya, kehidupanku. Boleh berkomentar tapi nggak boleh menyuruh seenaknya, dong."
Sebagai seorang Papa yang berkuasa, sangar merasa terhina mendengar kalimat anaknya.
"Teman-temanku bebas, tuh, memilih apa yang mereka mau, kenapa aku nggak?" tanya Keisha, mengernyitkan dahi.
"Daripada kamu mempermasalahkan apa yang orang lain bisa, mending lihat apa yang orang lain nggak bisa," kata John.
Diam mendadak muncul, mereka tetap saling kontak mata dengan hati mendidih.
"Kau sudah kuberi makan enak-enak." John mulai bersuara. "Bahkan kau berangkat mobil tanpa susah payah seperti teman-temanmu lainnya." Suara membisik namun tajam sempat melahirkan ketegangan dalam diri Bella.
Melihat Ayahnya yang melotot, Bella ikut melototinya, seakan sedang ikut ajang tahan lama tak mengedipkan mata.
Sampai sebuah telepon genggam di meja berdering, membuat keduanya menyetop kegiatan tak guna itu.
"Pergi sana, Papa sibuk," titah John seraya mengangkat telepon. Perubahan suara pun terjadi, pria itu sekejap menjadi orang yang ramah, supel.
Bella tertawa napas dari hidung tindakan Papanya yang hanya baik pada orang diluar keluarga. Di saat tengah mengangkat telepon mendadak Bella menyembur teriakan, "POKOKNYA AKU NGGAK MAU TAHU!"
Sontak John menutup telepon, menimbulkan suara seakan sedang membanting, beberapa barang jadi bergemerincing.
"AKU SAMA LEO HARUS TETAP BERSAMA!" Selesai berbahana, Bella lekas-lekas kabur.
Membuka pintu kantor Papa yang berat—biarpun Papanya tidak memgejar—Bella menggelenyar.
Mengilat melewati ruang keluarga yang sangat luas, di mana tata letak sofa empuk dibuat saling menghadap meja terkecuali tempat televisi berada.
Mengilat melintas dapur yang besar mengkilap berwarna hitam dan abu-abu, di sana terdapat dua orang pembantu sibuk mencuci piring dan memasak.
Juga Bella melesat tanpa melihat para pembantu mengepel lantai granit, mengelap perabotan sampai gilap-gemilap.
Dia tergopoh-gopoh membuka dan menutup pintu kamar yang berdesain menjulang tinggi sampai menyentuh atap.
Selepas pintu tertutup dan terkunci, Bella bersandar pada pintu, perlahan-lahan membuatnya merosot di posisi duduk.
Bella memeluk kaki kemudian menangis sembari menahan getaran tubuh yang tak karuan.
"Apa salahnya sih buat pacaran? Aku berpacaran juga buat menghibur diri sendiri," kata Bella sambil membersitkan ingusnya.
Leo satu-satunya tempat yang pas untuk dijadikan teman. Dia satu-satunya orang yang berada di dalam latar belakang kondisi yang sama, begitu yang ada di dalam benak Bella.
"Nggak boleh ada yang merampasnya. Bahkan jika Papa yang nantinya berubah menjadi penyuka lelaki, pun takkan aku ijinkan dia menyukai Leo, atau satu kamar dengan Leo," ungkap Bella, nada rendah agak mengerang muncul.
Sekarang dia hanya bisa menggelengkan kepala.
Air mata sudah merembes parah, sampai-sampai dirinya kelelahan menyeka semua air yang tak habis-habisnya keluar.
Derap kaki bisa dirasakannya. John mendekat. Ini dia, batin Bella.
Pintu tiba-tiba digedor dibarengi teriakan John yang menggelegar di kediaman jajar genjang yang mewah nan besar ini. "BUKA! BUKA CACA!"
Bella yang awalnya terpaku perlahan melonggarkan rasa kemelut dalam jiwanya. "NAMAKU BUKAN CACA! AKU BELLA!" jerit Bella, ia menutupi nada tangis dalam kalimatnya.
Pintu memang sudah dikunci, namun hati Bella tetap memerintahkan agar menahan dengan punggung.
Dari luar, Bella mendengar suara bergerincing kunci. Dia mendongak ke arah gagang pintu. Panik, jantungnya berdebar bukan main. Puji Tuhan—di saat itu juga ia bernapas lega—ternyata kunci kamar masih terpasang.
John pun masih tak menyerah untuk membuka pintu. Pria itu bahkan sampai membentak para pembantu karena tak membawa kunci pintu cadangan dengan benar, "Apa-apaan, sih, kalian ini! Nggak becus banget! Cari yang benar, dong!"
DOK, DOK, DOK–
Badan berulangkali nyaris terpental karena dobrakan pintu. Alis menyudut ke tengah akibat kegeraman.
"PERSETAN!" umpat John. Kalau kalimat semacam itu sudah muncul, artinya amarah John sudah tidak main-main lagi.
Kamar Bella berbentuk balok. Jendela yang ada di kamarnya tidak menampakkan kondisi dalam ruangan, namun luar ruangan alias taman penuh tumbuhan rindang.
Hanya itu yang dapat dipandang. Jendelanya berwujud lebar, besar dan tinggi, yang kalau di lihat dari luar kamar Bella seperti akuarium. Tanggapan Bella soal bentuk kamarnya adalah sia-sia.
Dinding berwarna putih. Kalau atapnya dilukis simpel dengan sangat cantik sampai-sampai lampu yang bergelantungan bersatu padu dengan lukisannya. Keluarga ini pecinta warna gradasi dari hitam ke putih.
Pernah Bella merasa bahwa dirinya dikungkung di kamar yang membosankan, sebab penuh warna putih. Terkadang, kalau dipikir ulang, jendela yang menghadap taman ada gunanya juga.
Bella sudah kepenatan menahan pintu, sebenarnya bisa saja meninggalkan tempat tersebut dengan mudah, tapi gadis ini merasa jika dirinya menempel dengan pintu akan menghasilkan energi yang lebih kuat lagi.
"BUKA NGGAK!" sekali lagi membentak.
Di tengah keramaian yang terjadi, seorang pembantu berpakaian hitam putih menghampiri John dengan sorot mata yang tidak menatap secara langsung, tidak ada yang tidak takut dengan suara amarah John. "Anu, hm, ada tamu, pak," kata pembantu itu, takut-takut.