3
Percakapan dalam telepon sangat serius. Bella berkali-kali menjelaskan kalau Papanya sudah tak waras lagi pada lawan bicaranya.
Terlebih lagi kedatangan Mbak Lita, yang kata Bella tujuannya untuk menjadi kekasih John, semakin membuat Bella memanas.
Bella menggelengkan kepala sangsi, "Mereka benar-benar sudah gila, tujuan Mbak Lita pasti ingin merampas harta Papa. Wanita itu pasti kesasar!"
[Bella... yang terpenting dia nggak mengganggumu, Bella.]
Mendapat jawaban konyol dari kekasihnya, Bella menganga tak percaya, "Wah, kau tahu? Dia meninggalkan sebuah trauma dihidupku." Mantan pengasuh bayi itu sangat mengerikan di dalam ingatan Bella.
Menghembuskan napas panjang, Bella menatap pintu kamarnya yang hitam. Bella seakan terseret masuk ke sana.
Tahu-tahu menyeretnya ke dalam masa lalu yang sudut pandangnya tampak suasana waktu itu.
"Setelah Ibu meninggal." Bella mulai bercerita lewat teleponnya. "Mbak lita-lah yang mendampingiku sampai lulus TK, setelahya didampingi dengan pembantu."
Yang artinya, dari umur tiga tahun sampai enam atau tujuh tahunan, Bella berada di genggaman Mbak Lita.
Bella kini berada di sebuah perumahan elite, perumahan Papan Miring di masa lalu, lebih tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Tempat ini adalah tempat di mana Bella kehilangan Ibunya.
Ia melihat dirinya yang masih mungil, menaiki sebuah sepeda beroda empat, di sana juga terpasang pegangan cukup tinggi agar orang dewasa bisa mendorong dari belakang.
Wajah senyum, suara tawa lantang, ini membuatnya semakin rindu. Bella kecil turun dari sepeda dan memeluk Ibunya, Eisha, yang masih muda, yang masih cantik.
[Kau dari dulu sudah kaya, ya? Enaknya...] Leo memotong, soal kaya lagi, tapi Bella tetap melanjutkan dengan air mata yang menggenang.
Bella melihat sebuah senyuman Eisha waktu memeluk dirinya yang mungil, mata yang menyipit mengeluarkan air mata.
"Ibu, kenapa menangis?" tanya Bella kecil seraya melepas pelukan hangat. Tetapi Ibunya segera memeluk kembali Bella kecil, semakin erat sampai-sampai air mata jatuh juga semakin menjadi-jadi.
"Kau tahu, Leo?" kata Bella sambil mengalihkan pandangan dari masa lalunya, menyadarkan diri untuk keluar dari masa lalu. "Bagaimana rasanya jadi seorang anak tanpa Ibu? Tak ada yang datang ke kamar, menyuruhmu mandi karena jam masuk sekolah sudah tidak lama lagi."
Leo yang berada di meja belajar terdiam, dia menunduk. Bella entah bertujuan untuk menjelaskan atau apa, dia berkata, "Hidup rasanya jadi hambar."
Bella tertawa pelan, tertawa sekenanya, dan akhirnya air mata menetes.
Mengambil napas lalu mengungkit apa yang Leo katakan tadi, "Apa kau mau ngomong kalau aku anak orang kaya lagi? Please, Leo. Adanya pembantu dan seorang Ibu itu berbeda."
[Tapi–]
"Apa? Mau ngomong kalau aku kaya dan bisa melakukan apa saja yang aku mau?" Bella memotong dan membuat Leo membungkam.
Apa Leo sedang berpikir kalau kata tapi yang diucapkan barusan salah? Atau malahan sengaja mengucapkan begituan dan membiarkan Bella mengoceh sendirian?
"Leo, sampai detik ini, sebuah kalimat yang mengatakan kalau 'manusia tidak akan puas dengan apa yang didapatnya' adalah kenyataan."
Bella menyeka air matanya, lalu mengembalikan semuanya pada topik awal, "Oke, apa kau punya solusi soal hubungan kita di depan Papa?"
[...Mari merenggangkan hubungan kita.]
Sontak Bella bangkit dari kasur, merenggangkan hubungan? Putus? Itu yang Bella pikirkan. "Apa?"
[Aku hanya meminta mengurangi pertemuan kita.]
"Iya, tapi kenapa?!"
[Kau penuh lebam karena aku.]
Bella membuang napas tak percaya. "Leo, aku sungguh nggak apa meski harus terluka demi menjaga hubungan denganmu."
[Bella...]
"Nggak, nggak, nggak, ini nggak benar, kamu kenapa, sih?" Bella mondar-mandir panik.
Leo meminta merenggangkan, mengurangi, tapi yang Bella tangkap adalah detik-detik langkah hubungan berakhir, alias putus.
"Kita lanjut nanti saja, deh." Bella memutus teleponnya. Mengerang bukan main karena tak kuasa menahan amarahnya. Sudah mati-matian membela, malah ini yang kudapat? batin Bella.
Tiba-tiba saja Mbak Sri membuka pintu. Bella berusaha tenang dan memberikan sedikit obrolan.
Normalnya, kalau jam menunjukkan pukul dua, maka Mbak Sri membawa buah-buahan segar, jadi senyum dipasang. "Hari ini buah–"
Disusul Eko masuk ke dalam. Ekspresi Bella langsung berubah total. "Kenapa kau mengambil semua lapnya!?" ucap John memandang Bella dan berganti ke lantai. Lantai kini berhamburan lap putih.
Mbak Sri meninggalkan tempat wajahnya sama takutnya seperti Bella.
Berusaha tegar, ia pun ikut membalas pernyataan Ayahnya. "Dan Papa kenapa menerima orang itu!?"