SASAR

ALDEVOUT
Chapter #27

Mala (4)


4


"Maafkan aku," Bella berkata sambil menatap ke arah yang lainnya. Aku yang berada di depannya bingung harus menjawab apa.

Kemudian setetes air mata jatuh, tanpa basa-basi aku mengusapnya tapi cepat-cepat di tepis.

Mata Bella sudah berakar merah, penuh kemurkaan. Setelah menyusun kalimat yang mungkin cukup baik, aku pun berkata, "Ini adalah jalan satu-satunya agar hubungan kita bisa bertahan."

"Tapi bukan begini caranya," kata Bella, dia mencondongkan badannya dan memasang sorot pandang yang tajam. "Please, tolak."

"Bella, aku bilang inilah cara agar hubungan kita bisa direstui."

Bella menghela napas dalam-dalam, "Berarti kamu ini senang meninggalkan aku? Lalu nggak ketemu aku? Ah, apa kau senang diberikan biaya sepenuhnya oleh Papa? Kau senang dengan hal semacam itu?"

Aku jadi muak. Dia malah berkata masalah bertemu dan tidak bertemu. Kita bukan putus, tapi mencoba mengiakan apa kata orangtua. Jika mereka melarang maka kita harus patuhi, kalau memang dibolehkan maka jalani seperti biasa.

Ditambah Bella masih saja bersikeras kalau perpisahan artinya putus.

"Jika semut yang kesasar aja bisa kembali pada kelompoknya, apa lagi aku? Mau aku kesasar di Antartika pun, aku bisa banget kembali kepadamu."

"Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Leo," Bella berbicara dengan nada serius. "Tidak semua makhluk hidup yang kesasar akan kembali."

Dia membuatku terdiam.

"Apa kau mau bilang semut bisa kembali ke rumahnya lagi, kan? Nggak begitu." Bella tertawa. "Jika seekor semut bertemu dengan koloni lainnya, ada dua kemungkinan. Pertama dia akan bergabung dengan koloni baru, dan kedua ada kemungkinan dia akan mati dibunuh."

"Tapi–"

"Ingat!" Bella menekankan, "kau itu manusia, lebih cerdas ketimbang serangga, besar kemungkinan yang terjadi padamu adalah bergabung dengan koloni yang lain. Pada akhirnya kau takkan pernah kembali"

Bel masuk sekolah pun berdering. Sementara kita berdua berada di keheningan. Nanti, pada saat Bella berbalik, aku akan menarik tangannya terus memeluk dengan erat dan mengatakan maaf sekali lagi. Apa bisa?

"Sudahlah, kamu nggak bakal mengerti." Bella berbalik dan yang aku rencanakan langsung kulakukan.

"Akh!" Bella menjerit seraya mengangkat kedua tangan ke arah wajahnya, seakan sedang melindungi diri. Sekujur tubuh Bella juga jadi gemetaran.

"Kau kenapa?" tanyaku. Tanpa menjawab dengan benar, atau melirik ke arahku, dia berlari pergi.

Aku menggaruk kepala, rasanya ada hal yang mengganjal. Awan-awan putih yang bergerak dengan lumayan cepat dari hari-hari sebelumnya. Aku tumbuh niatan berkunjung ke rumah.

"Ya, sudah. Aku harap dia menelepon." Dengan berat hati aku pergi dari sekolah KSM. Sekolah yang pernah aku gunakan untuk menimba ilmu selama dua tahun.

Sekarang aku berada di jenjang perkuliahan.

Aku diberikan biaya gratis dari om John, aku tahu apa maksudnya, kok mau memberikan biaya penuh sampai lulus, belum lagi dengan biaya sewa dan makan juga dikasih sampai muntah-muntah.

Om John ingin membuatku jauh dari Bella.

Entah apa yang membuatnya benci padaku, yang terpenting akhirnya aku bisa memilih universitas di luar negeri dengan bebas, gratis, dan seenaknya. Lagi-lagi aku bebas.

×××


Sudah satu bulan Bella tak pernah berjumpa atau berbincang secara langsung atau menggunakan aplikasi pesan daring, bersama Leo.

Ia tak tahu apa yang Leo lakukan kemarin, sekarang, atau juga sebentar lagi. Setiap harinya ia selalu mengecek ponsel, siapa tahu pacarnya itu mengirim pesan.

Saat Bella sudah mengenakan seragam rapi menuju sekolah, para pembantu akan berkumpul di depan rumah, hanya untuk mengucapkan semoga sekolahnya lancar.

Anehnya, Bella menoleh kanan-kiri mencari-cari mbak Lita. Si babysitter itu sudah menghilang. Bukan kali pertamanya seperti ini, tapi sudah satu bulan tak terlihat.

Kebiasaan buruk Papanya yang buas itu pun nyaris tak pernah dirasakan Bella. Kulit-kulit gadis ini sudah mulai membaik, semua luka telah mengering. Suasana hatinya juga lebih baik daripada sebelum-sebelumnya.

Pintu mobil dibukakan oleh Pak Sofiru, Bella masuk dan membuka jendela untuk melambaikan tangan. Senyum yang cerah dan manis bisa dilihat dengan mata telanjang para pembantu tersebut.

Setelah klakson berbunyi, mobil tersebut bergerak pergi meninggalkan rumah jajar genjang.

Lihat selengkapnya