5
Saat aku berdiri di ambang pintu, Ibu berlari memelukku dengan isak tangis yang menyedihkan. Aku sangat kaget melihat Ayah juga berada di rumah ini.
Ayah berjalan pelan lalu memeluk bertumpukkan dengan Ibu yang juga masih memelukku dengan erat. Aku melirik-lirik ke dalam rumah, mencari keberadaan Emak, nenekku.
Tanpa berbelit-belit, Ibu menarik tanganku dan masuk ke dalam rumah. Ada sedikit perubahan tata letak perabotan, tak bisa dipungkiri lagi karena aku sudah dua tahun tidak berkunjung.
Ibu dan Ayah menggiringku untuk duduk di ruang keluarga. Mereka sedang menonton acara berita, acara favorit orangtuaku.
"Aduuh, Leo, kenapa baru datang sekarang, sih? Ibu kangen banget sama kamu...."
"Iya, Leo, meski Ayah jarang menemuimu, jarang mengobrol denganmu, yang selalu Ayah kangeni, ya... jagoan Ayah."
Tak lama kemudian kita mulai bersenda-senda.
Ibu yang melihat kekosongan meja langsung melangkah ke dapur mengambil camilan.
Rumah ini masih seperti rumah kampung, ada saja batang kayu yang digunakan untuk menopang atap. "Kenapa kalian tidak pindah rumah saja?" tanyaku sambil menatap ke atas. "Di sini sudah buluk banget, lho."
"Mau bagaimana lagi, Leo. Kita hidup, ya, harus dengan apa adanya. Kalau memang Ayah kaya raya banget, Perumahan Papan Miring Ayah beli tanpa pikir-pikir lagi."
Aku tertawa sumbang. Karena aku tahu Ayah sangat mampu buat beli rumah di Perumahan Papan Miring, bahkan bisa mencapai kemiringan dan ketinggian yang harganya saja bisa puluhan miliaran.
Ibu membawa nampan berisi camilan dan minuman botolan. "Makan siang di sini saja, ya?"
Aku mengangguk setuju sambil mengambil kue kering taburan cokelat kecil-kecil.
"Ah, benar, apa kau mau berkunjung ke rumah sakit?" tanya Ayah. "Nenekmu masih di sana."
Mulutku mulai dipenuhi camilan, harus merespons Ayah, "Apa? Kok tumben lama banget?"
"Iya, Ibu juga nggak menduga kalau bakal selama itu."
Menelan kue kering itu lalu menjawab, "Kalau memang ada waktu aku bakal menyempatkan mampir."
"Eh, kamu masih merokok?" Ibu bertanya tiba-tiba sambil menyentuh tas yang ku gendong. Ibu membuka resleting dan melihat apa isinya, aku yakin yang dilihat Ibu cuma buku.
"Agak jarang, kok," balasku dengan diakhiri tawa canggung.
"Biasakan berhenti begituan, kau masih umur enam belas tahun, lho..." ujar Ayah.
"Leo!!" Tak hanya aku saja, orangtuaku juga mendengar sebuah panggilan dari luar. Jangan-jangan....
Aku pun bangkit mengecek sendirian, karena Ibu dan Ayah mengira itu temanku. Dan benar, dia Bella. Anak itu kenapa ke sini?! Aduuh.
Dia melambaikan tangan dari dalam mobil. Sudah terhitung kedua kalinya Bella kemari. Aku sangat-sangat membenci dia ke rumah ini karena akan membandingkan keluargaku dengan keluarganya.
Pokoknya aneh banget. Padahal sudah kaya malah minta jadi keluarga sederhana.
Setelah makan siang bersama, aku menebeng dengan Caca untuk diantarkan ke kos-kosan. Caca dari tadi sibuk menggulirkan foto-fotonya dalam galeri.
Setiap satu setengah menit, ada saja empat sampai dua foto ditunjukkan kepadaku.
"Eh, tadi ada anak baru, lho... coba lihat deh, jelek banget," ucap Bella sambil menunjukkan gadis yang di maksud dan terkekeh-kekeh.
Aku mengambil ponselnya, menatap dengan serius sembari dia menjelaskan. Kayak kenal.
"Tahu nggak? Dia punya nama panggilan yang sama kayak aku. Sebenarnya aku jengkel banget, tapi ya sudahlah, aku akhirnya milih pakai nama Caca saja."
"Ooh..." aku menanggapinya biar dia meneruskan cerita selagi aku menatap gadis yang tiba-tiba saja mengambil hatiku. Cantiknya.... Apa ini sudah waktunya?
"Leo, Leo..." Bella menggoyangkan lenganku.
"Ah?" Setelah tersadar dalam lamunan, aku bercelatuk, "Jadi sekarang aku memanggilmu Caca aja?"
"Jangan, Bella aja," kata dia. Tapi yang ada dalam pikiranku bukan Bella kekasihku, tapi Bella yang ada di foto tadi. Berarti benar ini sudah waktunya.
Ini waktu yang tepat, apa salahnya kalau dilakukan? Lagi pula keinginanku hanya ingin bebas. Bebas dari orang yang menahan untuk melakukan apa yang aku mau.
Seminggu kemudian
Bersandar dengan tembok dengan dering telepon dalam proses menyambung. Aku masih bernapas tenang, belum ada kekhawatiran.
Saat menoleh ke arah tembok yang berada di sebelah kiri, tercipta seulas senyum tipis.
Nah, akhirnya terangkat.
Tanpa membuka pembicaraan, tanpa membahas sana sini, aku langsung mengatakan tujuan sebenarnya, "Bella, maaf sebelumnya. Aku mau kita putus."
Dia tercenung, sedang mencerna, atau mungkin sedang menyadarkan diri sendiri apakah ini mimpi atau dunia nyata.