7
Aku baru saja turun dari taksi, melalui jendela besar kamar, aku bisa melihat Bella, memakan apel.
Kalau dilihat desain rumah tegas yang tampak semacam jajaran genjang ini cukup keren.
Memanjang mengikuti bentuk tanah, dan fondasi kokoh jajaran genjang tebal tersebut dicat warna hitam, dari kejauhan akan terlihat seperti garis tebal. Sisanya ntara gradasi dari abu-abu ke putih.
Menatap ke samping ujung kiri-kanan rumah. Tamannya dipenuhi warna hijau segar, yah, kadang ada bunga merah atau semacamnya tapi kecil, artinya tetap hijau.
Sekarang sedang banyak orang yang sedang merapikan ranting dan dedaunan dari pohon, terus mencabut rumput liar. Ribet punya taman sebesar ini.
Kulihat jendela kamar Bella, di sana sudah nggak ada Bella-nya. Aku memutuskan mulai berjalan maju dengan penuh keraguan.
Menaiki undakan, melewati teras depan yang polos membosankan terlihat. Pintu utama rumah yang tinggi berada di hadapannya.
Jari telunjukku dalam perjalanan untuk memencet bel, anehnya jantungku berpacu tanpa sebab. Ting-tong. Berbunyi....
Deg-degan. Masa aku takut, sih?
Pintu terbuka dengan sangat halus tanpa adanya suara berkelotak atau semacamnya, yang membuka adalah Bella sendiri.
"Eh, Bella?" kataku.
"Lah?" ia memakan sebuah apel, mulutnya menggembung sampai kesusahan berkata sesuatu. "Kenapa memanggil Bella? Aku, kan, Caca. Dih, aneh."
Lho bukannya kemarin dia. Apa karena putus, ya?
"Sudah, masuklah," ajak Caca, pintu dibuka lebih lebar lagi, aku pun masuk. "Eh, kau mau ponsel lamaku?" Ia bertanya dengan mulut yang penuh. "Soalnya habis aku banting, kau kan pintar membenahi begituan."
Aku diajak melewati dapur, mau pamer? Memang cantik dan berkelas. Perabotan nggak perlu ditanya, jelas kualitas terbaik.
"Aduuh," gumamku. Ternyata tujuan Bella ke sini karena ingin meletakkan apel yang setengah makan di atas meja dapur, tapi apel itu masih belum habis, "Kok–"
"Mau? Ambil yang baru aja," ucap Caca seraya meraih apel yang berada di keranjang buah. "Awas aja nggak habis."
"Iya, iya..." Padahal nggak minta.
"Mau nggak...? Ponselnya gratis, kok." Bella membuka pintu kamar yang kurasa sama beratnya kayak pintu utama. "Lihat tuh, masih ada kotaknya, kemarin malam baru diberikan yang baru."
"Ya sudah, nanti aku bawa," Aku menjawab dengan malas, nggak, menjawab dengan terpaksa. Aku menggerogoti apel. Krrak. Sekali-sekali makan buah mahal nggak apalah.
Di saat aku mengedarkan pandangan di kamar berdimensi seperti balok ini. Caca tiba-tiba mendekat sampai memisahkan jarak sejengkal.
Aku buru-buru menelan apel yang masih berada di dalam mulut. Kecupan bibir terjadi. Dia mengecupku. Apa aku harus memuntahkan apel tadi?
Namun ini hanya menempel. Caca yang terpejam menghayati tindakan yang dilakukannya. Dan Leo hanya agak terbeliak.
Meski kelihatannya tidak bisa menikmati, pikiran membawa Leo dalam hening, ia hanya diam. Belum ada sesuatu yang membuat mantan Caca ini menolak.
Karena lama, Caca mulai menyentuh tubuh Leo, memeluk erat, sedikit merengkuh dan mempertahankan melengketnya bibir pada Leo.
Nyaris setengah menit kegiatan itu berlangsung, barulah tkad kuat yang sebelumnya sudah ditanam Leo langsung dilakukan. "Maaf."
Dia mendorong lumayan jauh Caca. Semangat gadis ini jatuh, "Ah, sialan. Bisakah kau melupakan ucapan, Papa?" kata Caca, ia mulai berkeringat di suhu ruangan yang dingin. "Kau tahu, kan? Papa, itu orang bejat?"
Leo menghembuskan napasnya, tanpa sengaja ia menjeling ke arah meja yang berada di samping ranjang. Penuh obat-obatan.