SASAR

ALDEVOUT
Chapter #31

Mala (8)


8


Sebuah rapat diadakan dengan penuh pertimbangan atasan yang seenaknya. Para pegawai yang berada di kuasa tinggi berkumpul dalam ruangan kedap suara.

Jika menebarkan pandangan ke sana sini, akan terlihat kaca besar yang tingginya dari kaki sampai menyentuh atap.

John yang berada di panggung, tepatnya sedang duduk di atas kursi dan menunduk diam. Kata atasannya untuk membuat malu si John. Padahal tidak berpengaruh.

Atasan marah besar, sampai berkata kalau semisal kesalahan John menyebar luas dari telinga ke telinga masyarakat, maka reputasi perusahaan akan hancur.

Pokoknya semua hal masalah tertuju pada kesalahan yang diperbuat oleh keluarga John.

Para pegawai lainnya mengangguk setelah mendengar dengan baik celoteh Bos yang sedari tadi berujar dengan nada meninggi.

Tanpa tahu mengangguk setuju atau cuma mengiakan agar cepat selesai.

"Sudah, sudah," Bos itu menenangkan situasi kantor yang padahal dia sendiri yang menggembar-gemborkan hal yang membuang waktu. "Saya memutuskan untuk memecat, John Carles, tanpa pemungutan suara kalian. Ini sudah paten."

Rapat tiba-tiba selesai begitu saja. Bos yang memakai jas dengan perut yang gembul itu berjalan keluar seolah tidak terjadi apa-apa. Tanpa ada penutup, tanpa ada salam, mendadak meninggalkan ruangan.

Sebelum pegawai lainnya hendak bangkit dari tempat duduk. John malah keluar dengan berlari. Pintu ruangan yang tertutup di buka dengan terkencar-kencar.

Langkahnya penuh dengan jiwa yang haus dan mendongkol.

Di hadapannya sudah tampak Bos yang membalikkan badan menatap John. Mendadak Bos tertawa seolah tahu ini akan terjadi. Ia mungkin berpikir John akan meminta untuk pemungutan secara licik, kemudian menyogok dengan uang miliaran rupiah, dan akhirnya bisa bekerja dengan tentram—ini telah terjadi ketika John ketahuan mencuri uang sebesar dua miliar.

"Hahaha, mari kita bic, bicara di–" John malah melewati Bos yang punya kuasa tinggi di kantor. "Oi, oi! Apa-apaan ini?!" Ternyata salah.

John terus berlari dengan sekuat tenaga di lorong yang lumayan sempit ini. Pada saat lift terlihat, ia mengerem dan sangat beruntungnya John—lift terbuka dengan tiga orang di dalamnya.

Di dalam lift dengan peluh keringat, ia memencet tombol lantai bagian tempat parkir, sampai sidik jarinya menempel di sana. Hatinya bergejolak antusias sampai-sampai berkeinginan mengentak-entakkan kaki seperti anak kecil.

Ia membuka ponsel dan menelepon sopirnya. "Mas, segera siapkan mobilnya sekarang juga!!" teriak John dengan ponsel yang menempel di telinganya.

Setelah terbuka yang kini hanya menyisakan John seorang, langkahnya penuh dengan kesiapan seperti sedang berlomba.

Mobilnya sudah siap, dan pintu mobil dibukakan dan John cepat-cepat melompat ke dalam. "Cepatan, Mas!"

"Ah, i, iya, pak," balas pengemudinya yang terikut panik. Setelah sabuk pengaman dipasang, mobil langsung berkendara pergi. Sudah tahu apa yang terjadi, namun dia melontarkan pertanyaan agar menenangkan majikannya itu, "Ada apa, Pak John? Kok buru-buru, pak?"

"Ah, itu anak bajingan yang kurang ajar itu sudah nggak beres."

Mas pengemudi ini menelan ludahnya. Dengan hati yang bimbang antara melambatkan laju atau tetap dalam kecepatan yang sama. Tahu Caca memang bersalah, tapi jika berada di tangan Papanya, semua bisa-bisa berakhir.

"Ah, iya, sesuai permintaanku tadi," John berganti bertanya dengan melepaskan sabuk pengaman. "Apa semua pembantu sudah kau beri gaji dua kali lipat?"

"Su, sudah, pak," jawab Mas pengemudi sambil menatap ke arah cermin tengah.

"Satu lagi, tolong segera jual rumahku, secepat mungkin, harganya yang benar jangan asal-asalan! Oke!?"

"I, ya, iya, iya, pak." Mas pengemudi sekali lagi menatap ke arah cermin tengah, ada hati yang ingin memberikan arahan pada John. Ia mengambil napas kecil lalu berkata, "Anu, Maaf, pak, itu... tolong pakai sabuknya biar lebih aman."

"Adu-duh, buat apa, sih? Orang rumahnya dekat, kok, bakalan aman, aku yakin nggak bakal kecelakaan sampai mati."

"Tapi–"

"SUDAH DIAM SAJA!" bentakan John membuat mas itu menggigit bibirnya. "Bahas kok yang nggak penting," gumam John. Jalanan lumayan lancar, lampu mulai menerangi jalan, transportasi mulai bermunculan setiap melintas kelokan.

Setelah sekian lama menunggu, bangunan-bangunan yang familier terlihat, sudah dekat rumah. Lantas John teringat sesuatu, "Oh iya, apa teman-temannya sudah pulang?"

"Seharusnya sudah, pak, karena ini sudah malam."

Seakan sebelumnya tidak bertanya dengan nada biasa, tiba-tiba saja John berkomentar, "Hei, apa kau siput? Ini mobil mahal, masa nggak bisa lebih cepat lagi, haah?!"

Lihat selengkapnya