9
"Maaf, Pak Sopir. Kayaknya Papa dipecat gara-gara aku. Jadinya, Pak Sopir sudah nggak punya pekerjaan lagi. Maaf."
Pak Sopir menyunggingkan senyum ala orang tua pada umumnya. "Kau tahu, Bella."
Meski seharusnya nama panggilan sudah diganti, Caca tetap mendengar tanpa ada rasa benci, pokoknya terkecuali orang ini, Pak Sopir orang yang istimewa di hati dan mata Caca.
Yah, memang pernah gagal menghina Bella. Tapi setidaknya dia satu-satunya orang yang setuju dengan tindakan Caca.
"Setidaknya ini yang terbaik buat keluargamu, masa orang yang sudah jadi kakek seperti saya ini bakal bekerja sampai tua? ya kan? Hidup ada kadaluwarsanya. Ya... memang tidak rela, tapi inilah hidup."
"Aku masih nggak mau Pak Sopir pergi."
"Bella, saya bukan mati, saya hanya pergi dari rumah ini."
"Ah, bapak jangan ngomong begitu, dong."
Tawa seorang kakek keluar dengan lepas. Bukan berniat menakuti, Pak Sopir sepertinya berniat membungkam Caca. "Astaga."
"Ke, ke, kenapa, pak?!" Caca buru-buru menatap ke sekeliling takut kalau ada apa-apa. "Ada apa?"
Mata Pak Sopir tetap terpaku pada jalanan. Kemudian dia menjawab, "Saya lupa, seharusnya kamu bernama Caca, ya?"
"Aah, aku kira apa, pak, pak." Caca tertawa kecil, ternyata hanya masalah sepele. "Mau Pak Sopir memanggil saya Bella pun, saya tetap menoleh, pak."
"Oh, iya? Begitukah?" tanggapan yang kaget membuat Caca kebingungan. Tak lama kemudian Pak Sopir berkata, "Saya mendengar banyak cerita dari para pembantu. Kamu selalu memarahi mereka karena salah memanggil. Maaf, ya...."
Caca serasa terpukul oleh omongan Pak Sopir, dia baru menyadarinya.
Bahkan orang yang tua dariku sampai meminta maaf. Apa aku keterlaluan? Nggak mungkin, ini, kan, memang tugasnya.
Tapi hati Caca serasa sesak, ini bukan sesuatu yang indah, sampai-sampai membuat bulu kuduk berdiri karena kengerian.
Pak Sopir membuka jendela mobil dan menyapa penjaga keamanan yang bertugas.
Wah, baik sekali. Emm, Iya, benar, mana mungkin aku berlebihan, memang Pak Sopir aja yang terlalu baik.
Caca menggaruk dagunya karena ada yang gatal, hm, apa ini respons otak yang sedang kepanikan?
"Nah, sudah sampai, semoga harimu menyenangkan, ya... saya mau memarkirkan–" Mendadak Caca memotong.
"E... aku ikut saja."
Pak Sopir mengangkat alisnya kebingungan, menoleh dengan mulutnya sedikit terbuka, "buat?"
"Nggak apa-apa, biar, biar.... Emm, begitulah," jawaban yang memaksa. Pak Sopir akhirnya menuruti perkataan Caca, beliau berkendara masuk ke dalam garasi yang tenggelam di bawah rumah.
Awalnya lorong ini akan sangat gelap, tetapi setiap terdeteksi gerakan, lampu akan menyala menerangi jalan masuk menuju garasi yang sebenarnya.
Dan beberapa meter melaju, garasi yang besar dan luas pun terlihat. Banyak puluhan mobil mahal, dari SUV, sport, juga sepeda motor mahal lainnya.
"Nah, kau bisa turun di sini saja," ucap Pak Sopir.
Lantas Caca memutuskan turun dari mobil, daster putih dan poninya mengering akibat pendinginan dalam mobil, yang sebelumnya basah karena keringat.
Saat akan menutup pintu mobil, Caca melihat sebuah kemasan aneh di bawah kursi, seakan diselipkan. Kemasan kondom yang sudah terbuka? Nggak mungkin. Ah, paling punya Ayah. Paling, harus. Perhatikan ketombe sajalah.
Caca berjalan pergi menuju lift menunggu kakek itu selesai memarkirkan mobil.