10
Perumahan Papan Miring menjadi tempat tinggal yang baru setelah hidup terlalu mewah.
Semenjak rumah jajar genjang ditinggalkan, hidup Caca menjadi berubah. Ia tidak diperbolehkan bersekolah, dan tidak diperbolehkan ke mana-mana terkecuali John yang mengajak.
Hari-hari Caca cuma diisi dengan segala macam les yang dipilih atas persetujuan dan diskusi antara Ayah dan Anak.
Dipilihlah les bermain alat musik, dan mengambil tiga mata pelajaran wajib di dua tempat les dalam waktu yang berbeda untuk memantapkan pendidikan.
Memang biaya yang dikeluarkan lebih mahal, tapi John lebih puas kalau anaknya bersekolah seperti ini. Jikalau ada masalah lagi, Caca bisa pindah seenaknya tanpa perlu mengurus macam-macam—tanpa melunasi uang gedung, membayar SPP sampai lulus—dan lain-lainnya.
Lucunya, les tiga pelajaran wajib pada jam malam mempertemukan Caca dengan salah seorang teman lamanya semasa taman kanak-kanak.
Teman masa ciliknya, yaitu Tony. Kalau keduanya berjalan bersama atau berjejeran di suatu tempat, orang-orang sering menduga mereka bersaudara atau sepasang bocah yang pacaran.
Tempat les yang dipilih oleh John memiliki gedung bertingkat yang di mana satu gedung khusus les saja.
Atap gedung dibangun dengan kegunaan yang cukup fungsional. Banyak tanaman hijau, beberapa kursi dan meja kayu, juga payung untuk berteduh.
Meskipun si pemilik jarang mendapatkan hasil tumbuhan yang ditanaminya—karena anak-anak sering mencabut sembarangan—tetap memaklumi karena sudah konsekuensinya begini.
"Bisa-bisanya kau pernah tergila-gila sama Bella? Dia jelek, tahu." Caca mencibir heran. Sembari menunggu les dimulai, keduanya berada di atap, hanya berdua. Awan bergerak dengan angin yang berhembus kencang, burung-burung berkicauan pada saat sinar matahari akan menghilang, yang kini menyisakan garis-garis cahaya yang samar.
"Aku tanya, ya. bagaimana denganmu? Kenapa kau tergila-gila dengan lelaki jahanam seperti Leo itu?" Tony memasang senyum kecut.
"Ja, jaha–" Caca memotong kalimatnya dengan helaan. "Aduuh, ya... ya kan–"
"Sudah. Semua orang yang ada di dunia memiliki potensi menjadi gila, oke. Tapi, aku dan kau, sekarang lagi berada di tangga setengah gila."
"–Ha?"
"Tidak juga, sih." Dia bergelut dengan pikirannya. "Ah, kita semua. Pokoknya seluruh manusia di bumi berada di dalam pikiran yang setengah gila." Tony menjelaskan dengan mata yang seakan berusaha menatap bulu mata.
Caca yang menatap pada teman kecilnya, mengganti pandangan dengan melihat bukit yang penuh cahaya. Itu rumah barunya, Papan Miring yang bagi telinga Caca membosankan. Caca mencoba memahami kata-kata Tony, "Kalau semua orang berpotensi menjadi setengah gila–"
"Bukan. Kan tadi sudah aku ralat. Semua orang di bumi sudah setengah gila."
"Eh? Tapi kenapa?" Caca mulai kesal. Tony dan Caca yang saling menatap langsung mengejap-ngejapkan mata dan pada waktu itu juga saling membuang tatapan. Mereka kekikukan.
"Aku, setengah gila soal kematian keluargaku yang terlalu cepat. Kamu, setengah gila soal Leo yang malah jadi mencintai Bella. Leo, setengah gila soal bagaimana cara mendapatkan hati Bella. Dan Bella, setengah gila bagaimana cara agar terbebas dari kenakalanmu."
"Dih. Orang aku sama Bella cuma bercanda."
"Bercanda matamu!" Tony geregetan. Caca kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Tony, lalu mengelus-elus lembut. "Wah, jangan nakal, aku sudah punya pacar, lho."
"Sumpah?" Caca melepaskan elusan itu menjadi geli. "Waduh, jangan bilang pacarmu mau pacaran sama kamu gegara kasihan mendengar cerita omong kosong itu?"
Tony melototi Caca yang menghina masa lalunya. "Jangan macam-macam! Itu nggak palsu, ya!"
"Hei, Tony." Caca tersenyum meledek dan mencondongkan tubuhnya. "Kalau tidak salah, kau pernah ngomong dalam ceritamu, emm, maksudku cerita khayalan masa lalumu. Ingat nggak? 'Tidak ada bukti berarti tidak nyata'? Hahaha."
Caca bangkit sembari cengegesan dari kursi dan meninggalkan Tony.
Tony terdiam dengan gigi yang mengerat dan mata yang berair. "Bisa-bisanya," ucap Tony seraya memukul tumpuan tangan pada kursi kayu yang didudukinya.
Dia mulai kerepotan bernapas. Kata-kata Caca menciptakan sebuah kekesalan yang membuat dada menjadi nyeri. Setelah terdiam sejenak, Tony bangkit dan kembali ke dalam kelas.
×××
Les hari ini sangat membosankan. Apalagi Tony tadi mengajari sesuatu yang nggak masuk di otak. Katanya, semua orang-orang termasuk aku, itu sebenarnya setengah gila.
Aduuuh, padahal situ yang orang sasar. Aneh, Tony.
Aku mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan kepada Pak Sopir. Hm, sebenarnya kakek ini sudah tidak berkerja, tapi aku masih sering memintanya menjemputku.
Beruntungnya aku... dia satu-satunya orang yang nggak pernah membenciku. Dia benar-benar orang terbaik. Seandainya aku pernah mempunyai kakek pada saat aku hidup di dunia, apa ada kemungkinan hidupku jadi terarah?
Tiba-tiba seseorang sengaja menyenggol bahuku dan bisa-bisanya dia tidak minta maaf dan malah berdiri santai di sampingku. "Tony!"
"Apa?" ia menimpali dengan nada datar.
Aku ingin marah, cuma anehnya tidak bisa. Baru sadar karena aku teringat oleh Bella yang membuatku susah, padahal hati pengin senang, eh, malah apes.
Telapak tanganku yang mengepal baru saja turun—sebelumnya berada di jarak sejengkal dengan pipi Tony.