11
Caca mencabut segala kabel yang masih terhubung pada laptop Papanya. Tak peduli akan rusak, putus dan sebagainya. Ia hanya ingin membawa surat elektronik pada layar laptop itu di hadapan John.
Gadis ini bergegas mempercepat jalannya. Karena John berada di dapur, maka langkah kakinya menggiring Caca ke dapur.
John sedang memakan roti sampai mulutnya menggembung, meneguk minum agar meringankan keserakahannya. Lalu bertanya, "Mau makan? Tadi Ayah memesan–"
"Ini apa?" tanya Caca, memotong kalimat John.
Mata Caca berair dibarengi wajah penuh keringat. Napasnya mulai tidak konsisten karena menahan air mata.
John menyipitkan matanya seakan sedang membaca setiap kata dalam surat elektronik tersebut——karena Caca dan John terpisah oleh meja panjang dapur. "Ah, itu." Bahkan jawabannya tidak ada suara kepanikan. "Wah, wah... telat sekali kau menyadari kalau kau anak pungut? Hahaha."
Bukannya menjelaskan atau menenangkan, pria itu malah tertawa dan kembali mengambil roti terus menggigitnya.
Caca buru-buru meletakkan laptop di meja, kemudian meraih wadah yang berisi puluhan roti dan menaruh dalam jejeran kursi di sampingnya. "Oi, oi!"
"Jawab dulu, Pa!"
"Sudah jelas, mau bagaimana lagi? Kenapa? Mau cari Ibu kandungmu? Silakan." Caca mengeluarkan napas pendek, kaget dengan jawaban Papanya. "Aneh banget, kalau nggak mau rotinya kumakan bilang saja ketimbang buat alasan begituan."
Caca mematung. Air mata tumpah, dia tersengut-sengut. Ia kekalutan sampai terperenyak. Disusul tangisan layak anak kecil—memukul lantai dengan tangan—dan kaki yang menendang-nendang udara.
Suara John saat bicara semakin lama semakin meredam, "Aah, akhirnya bebanku menghilang," ucap John, karena melangkah pergi menuju kamar,
Setelah kepenatan. Caca mengelap air mata dan ingus, gadis ini menjatuhkan diri ke lantai. Lalu Caca memiringkan tubuhnya untuk memeluk kaki, dan melanjutkan isak tangisnya.
Kepala yang menjadi pening perlahan memudarkan gugahan untuk menangis. "Brengsek, Papa."
×××
John mendesah, lelah.
Ia duduk di atas ranjang yang empuk. Memang hari ini menjadi berat karena anaknya, tapi ini yang John selama ini tunggu.
Menurut John, gadis yang dirawatnya sudah cukup umur untuk mengetahui kenyataan bahwa dia bukan satu darah dengannya.
Nggak juga, sih. Mungkin karena aku yang sudah lelah mengurusi satu anak itu, aku biarkan saja sampai ketemu ibu kandungnya, pikir John.
Bekerja pelacuran cukup menguntungkan bagi John, didukung oleh cara mencari mangsa lewat bar, karena lebih cepat ketimbang menunggu secara aplikasi daring yang datang tidak, orang asli tidaknya belum tentu.
Pandangan John kemudian diambil alih oleh sebuah buku diary, dari Mbak Lita. Bersampul kulit yang berada di atas kardus yang menutup. John kembali menghela napas.
Menghampiri buku tersebut, membawanya sambil merebahkan diri di atas kasur. Sampul buku kecil tersebut bertuliskan "Rekaman Jiwa"
×××
Halaman pertama
Aku sudah menghabiskan banyak sekali uang untuk membeli buku catatan dan alat-alat lainnya. Hari ini tepatnya tanggal lima bulan lima tahun 200X, aku bertemu seseorang yang tampan di kedai.
Wah, andai aku kenal namanya, aku mungkin akan mengencaninya. Semoga dia nggak miskin, hahaha.
Kau tahu (aku yang di masa depan)? Hm, sudah pasti kau tahu apa yang terjadi. Tapi sekarang aku kan masih belum tahu, nih. Jujur, aku ingin menikahinya. Umurku memang belum menyentuh angka dua puluh. Tapi, cinta tetap cinta.
Aku menjadi gila. Aaaa. Sial, kenapa harus bertemu pas aku jomlo, sih? Kan kalau nggak jomlo besar kemungkinan aku nggak bakal cinta banget sama cowok tadi.
Semoga angin mengarahkan cowok itu kepada aku.
Halaman kedua
Astaga! Ya Tuhan, Ya Tuhan!
Sudah dua minggu aku tidak menulis. Karena selama itu belum ada yang spesial. Dan aku menulis hari ini ya karena ada yang spesial. Aku kegirangan sampai kepengin lompat-lompat.
Kau tahu (aku yang di masa depan)?