SASAR

ALDEVOUT
Chapter #42

subbab (1): Radu

subbab Radu:

1


Kami berada di mobil yang sama. Ternyata aku itu bungsu, masuk akal bukan kalau aku itu anak pemberontak sama orangtua. Yang paling aku garis bawahi mungkin, keluarga asliku juga nggak harmonis.

Dan aku akan menggaris bawahi soal Bella yang pernah aku begitukan adalah kakakku. Aku, ak, aku juga nggak menyangka bakal begini.

Tangan kakak dan aku bertautan. Aku belum ada perasaan risi ataupun canggung, ini cukup nyaman, ya tentu begitu sebab kami sudah bertemu selama dua tahun lamanya. Iya. Tepat hari ini, sepuluh hari sebelum umur tujuh belas tahun.

Aku nggak tahu kenapa, tapi aku bakal percaya saja kalau dia orang yang baik. Perjalanan dengan berpakaian serba hitam akan gampang ditebak orang-orang niat kami ke mana, kau pasti paham.

Seharusnya aku satu mobil dengan Mbak Lita—iya, wanita yang baru saja siuman enam bulan lalu—syukurlah akalnya masih bekerja meski sudah dihantam benda tumpul—dia sudah lebih dulu ke makam orangtua angkatku. Aduuh, aku masih belum terbiasa dengan sebutan kandung dan angkat, sebutan yang betul itu bagaimana, ya?

Ibu menyetir, pertama kalinya aku melihat seorang Ibu mengemudikan mobil dengan sangat lancar, tanpa waswas, lho. Lagipula, aku juga belum pernah melihat Ibu angkatku menyetir. Ah, mungkin ini hal bisa.

Aku akan diturunkan di makam yang sekitar satu kilometer lagi akan sampai, Ibu dan Kak Keisha akan pergi ke makam yang berbeda. Jaraknya cukup jauh, terpental sepanjang lima belas kilometer.

Aku akan menyusul setelah selesai bersama orangtua angkatku, hanya menabur bunga layaknya budaya negara Indonesia. Ziarah. Astaga, aku ini benar-benar keterlaluan, padahal aku sendiri yang menyebabkan mereka pergi, malahan aku yang tak rela pergi. Duh!

"Kenapa kau tak tinggal bersamaku saja?" tanya Keisha. Dia menggoyangkan genggamannya. "Pasti seru."

Benar, aku tak tinggal bersama mereka, selama dua tahun. Aku memilih bersama Mbak Lita, hanya dia yang bisa kuanggap dekat, terlebih lagi karena dia menjaga aku sedari kecil.

Mereka memang baik, tapi aku takkan sejahat itu. Aku akan berkunjung dan menginap satu malam setiap sabtu dan minggu.

Bukankah itu keputusan yang baik? Setidaknya membiasakan diri dengan keadaan dulu, kalau sudah, akan kuputuskan apa yang seharusnya aku lakukan bersama keluarga asli.

Mama angkatku sudah tiada, Papa angkatku sudah tiada. Tapi, Ibu kandungku masih di sini, Ayah kandungku masih di sini. Aah, ada lega dan kecewa.

"Nah, sudah sampai." Sampai!? Cepat sekali. Aku segera melepaskan sabuk pengaman dan mencium tangan Ibu dan kakak. "Hati-hati, ya!" imbuh Ibu.

"Iya! Ibu juga, ya!" kataku. Kenapa Ibu nggak mengkhawatirkan diri sendiri saja? Jalanan di sini sering licin, kecelakaan pernah terjadi, dua tahun lalu, beruntungnya tak ada korban.

Aku belum pergi dari tempat, maksudku masuk ke dalam permakaman, sampai Ibu lenyap dari pandangan. Kakak membuka jendela kaca mobil dan melambaikan tangan, hanya telapak tangan yang terlihat, sepertinya tertahan oleh sabuk pengaman.

"Dah!" aku mendengar seruan itu dari kejauhan. Karenanya, aku melangkah masuk ke dalam kuburan yang tak kusangka bukan hanya aku dan Mbak Lita saja yang kemari.

Mbak Lita duduk di kursi roda, di sana juga ada dua penjaga pribadi Mbak Lita. Agak bagaimana gitu melihat Mbak Lita ternyata sedang dalam proses sesukses Papa angkatku.

Prosedur yang normal segera kami laksanakan. Kau tahu, ingus dan air mata masih saja nimbrung, itu menganggu, kukira dua tahun ditinggal oleh seorang yang pernah menyayangi aku akan dapat kulupakan lebih cepat (maksudku seakan kacang lupa kulitnya). Tapi ternyata nggak ada perubahan sedikit pun.

Rumput liar sudah tercabut rapi oleh seorang penjaga kuburan, ah sebutannya apa ya? Pokoknya orang itu yang membersihkan bagian rumputnya, sedangkan aku dan Mbak Lita, yah... cuma menabur bunga.

Kita menghabiskan waktu selama lima belas menit. Sangat singkat, doa dibarengi tangisan sekitar sepuluh menit, sisanya menabur bunga dan semacam itulah.

Aku sudah jahat sama Papa. Ternyata benar, orang jahat akan lebih lama tinggal di dunia ketimbang orang baik.

Sentuhan terakhir pada kedua rumput halus orangtuaku untuk melepaskan rindu, yang memang sudah semestinya aku lepaskan. Sampai jumpa, sampai nanti.

"Ke mana Mbak Sri? Aku sudah lama nggak ketemu," tanyaku pada Mbak Lita sembari melangkah menuju mobilnya. "Iya, aku tahu dia sudah mengundurkan diri, tapi tetap kangen."

Tanah yang dilewati kursi roda Mbak Lita seperti lumpur, pria yang mendorong sampai kewalahan, risi sendiri, kepengin menggantikan posisinya.

Mbak Lita menoleh ke arahku, tapi kemudian pandangannya jatuh pada tanah. "Seharusnya aku yang bertanya, kapan kamu terakhir kali lihat Mbak Sri?"

"Oh! Waktu Mbak Lita mau ke forensik," jawabku. Iya, sewaktu kembali dari toilet sama Keisha.

"Datang menjenguk?" Pertanyaan Mbak Lita membuatku bimbang mau menjawab apa, karena telatah Mbak Sri saat datang itu... cukup... hmm... nggak seperti orang yang sedang ingin berkunjung, tapi cuma menumpang lewat.

"Kamu kenapa?"

"Tapi, Mbak," aku malah bertanya. "Sampai kapan Mbak nggak memberitahu kejadian Mama–"

"Ssst. Kita sudah terlambat," katanya dan terpaksa aku diam.

Ponselku bergetar sesaat di kantung celana. Ada pesan masuk. Langkah aku hentikan dan mengecek, Keisha mengabari kalau baru saja tiba. "Mereka baru sampai, Mbak."

"Oke, ayo cepatan kasihan mereka pasti bakal menunggu lama."

Lihat selengkapnya