subbab Mala:
1
Selayaknya pagar yang digeser, suara pintu gerbang ini lebih berisik dan menyakitkan telinga. "BELLA!!" Teriak Caca. "Bella, Bella, Bella!"
Caca berlari mendekati Bella yang terkapar penuh darah. Ia bergegas melepaskan tali dan selotip yang mengikat tubuh Bella. "Maaf, maaf, maaf, aku datang terlambat."
Sekeliling Bella banyak pecahan kaca. Tanpa waswas Caca tak mengacuhkan benda yang berbahaya tersebut.
Suara ambulans bersama polisi pun terdengar, cahaya yang merah itu menyinari dalam gedung yang penuh karat ini. Petugas membawa tandu dan seorang perawat memasangkan alat bantu napas.
Caca mengelus rambut Bella sekali lagi. Tak peduli tangannya jadi penuh darah. Yang berada di batinnya adalah, seharusnya aku yang dihukum seperti ini.
Kepolisian langsung menggeledah tempat tersebut. Caca di tarik dan ditanyai banyak pertanyaan sampai kerongkongannya kering. Sampai akhirnya dia bertanya pada polisi, "Apa dia bisa meninggal?"
"Jangan berkata seperti itu, pertolonganmu sudah memberikan separuh jiwanya yang sudah menghilang," jawab pria yang memakai baju polisi. "Tenanglah, dia bisa menjadi sahabat dan kalian bermain bersama lagi." Kata-kata polisi membuat Caca sedikit tenang. "Oke, kau boleh pulang sekarang, maaf menahanmu lama."
Caca mengangguk dan pergi.
"Eh." si Polisi memanggil Caca sekali lagi. "Kenapa lehermu ada memar?"
Polisi itu mengangkat kaus lengan Caca dan di sana penuh lebam. "Habis jatuh," kata gadis ini. "Aku pulang dulu, ya, orangtuaku pasti sudah menunggu."
"Hm? Ba, baik."
Hampir saja.
Dia orang yang kuat. Aku melukainya tetapi dia masih mau masuk sekolah dan tetap berkencan bareng Leo. Iya, anak itu bisa bertahan.
Bella, aku akan menerima tawaranmu untuk menjadi teman. Maaf terlambat. Kau tahu, kan? Manusia menyadari kesalahannya bisa berpuluh-puluh jam, hari, bulan, atau tahun.
×××
Aku tahu siapa pembunuh Mama sebenarnya. Yaitu Papa. Mau seberapa banyak Papa mengelak pernyataanku. Dia bersalah. Kemarin, bukan, tepatnya sebelum Papa menyobek buku harian Mama dini hari tadi.
Seharusnya aku memotong poniku. Sekarang sudah luamayan panjang. Hmm... apa nggak usah pakai model poni lagi, ya?
Pokoknya, di buku harian Mama terdapat sidik jari Papa yang tercetak jelas. Aku selama ini menahan untuk tidak memarahinya—mencari waktu yang pas.
Aku nggak paham sama isi bukunya, aneh. Palsu?
Tapi... malah semenjak Papa menyobek buku harian dan membakarnya, dia kembali menyakiti aku.
Mungkin karena itu mbak Lita membenciku, dia mengira aku ini hanya membawa DNA Papa saja dan dengan wanita lain. Anak haram begitu?
Wah, jalan setapak perumahan ini sama sepinya dengan perumahan lamaku yang penuh istana. Apa mereka tidak bosan di rumah melulu?
Aku menghembuskan napas, lelah karena belum sampai rumah. Eh, sampai mana tadi? Ah, iya.
Karena mbak Lita pasti mengecek DNA Papa dan Aku lewat rambut. Tetapi hasilnya tidak memiliki kecocokan.
Akhirnya babysitter yang kemarin bertemu dengan memamerkan mobil dan wajah glowing, menempatkan semua segala logika yang memungkinkan.
Kejadian hari ini penuh dengan keajaiban. Tadi siang, aku dalam perjalanan pulang membeli satu barang yang tidak kutemukan, tali pramuka, yah... untuk membinasakan Papa.
Dan aku melihat Bella yang sedang diikat dengan pita perekat sampai-sampai tersisa kakinya yang bisa bergerak leluasa.
Aku yang memakai tudung jaket, takkan ada yang menduga kalau yang sedang berjalan ini adalah Caca. Tadi, pada saat kejadian itu berlangsung, aku menanamkan pernyataan: setelah urusan Papa selesai, aku harus berlari ke gudang untuk membuat cerita baru.
Nyatanya berhasil. Papa terkapar dan aku buru-buru menuju ke tempat Bella, menghabiskan sepuluh menit untuk mengira-ngira mana tempat teman lamaku merundung Bella.