SASAR

ALDEVOUT
Chapter #14

subbab (1): Tulah

subbab Tulah:

1


Mobil dikendarai dengan buru-buru. Setir diputar mengikuti tikungan, bahkan badan ikut tergoyang sebab berbelok cepat.

Tadi.

Sari manyadari meja dekat pintu utama terdapat tiga kunci. Yang seharusnya tersisa satu saja. Berarti, Bella tak membawa kunci rumah.

Kemungkinan Bella mengira Ibunya akan pulang lebih dulu, karenanya Bella tak menggenggam kunci rumah—ini hari sabtu—dimana Ibunya terkadang pulang kira-kira sampai tengah hari nanti.

Sari terheran-heran karena Bella—tumben-tumbennya—berangkat lebih pagi. Hari-hari sebelumnya, Sari menjadi satu-satunya manusia yang sudah keluar dari rumah lebih dahulu.

Kini berbeda.

Tadi, saat berada di kamar Bella, Sari melihat banyak sekali sampah kertas, pada tong sampah yang dimana kertasnya tanpa coret-coretan. Besih kinclong sempurna.

Memang lantai kamar rapi, tapi tong sampahnya menimbun barang yang tidak seharusnya menjadi sampah.

Seolah-olah kertasnya memang sengaja dikoyakkan. Dia kenapa? Apa sedang menulis surat? Hanya itu yang terlintas dari pikiran Sari. Hanya itu.

Selebihnya dia tak mau tahu, tidak kepo.

Gedung sekolah SMP KSM ada di depan mata. Sari memindahkan anaknya ke sekolah mewah ini agar memamerkan kemampuannya, atau lebih tepatnya menunjukkan bahwa anggaran uangnya lebih tinggi ketimbang Eko, suaminya.

Nyatanya sia-sia—berkomunikasi saja tidak pernah—bagaimana cara menyombongkannya, ya kan?

Sari melepaskan sabuk pengamanan, mengambil kunci rumah di dalam tas, lalu turun.

Berdirinya seorang penjaga gerbang membuatnya lebih mudah untuk meminta bantu transfer kunci rumah kepada Bella.

"Maaf, bu." Mendengar permintaan maaf, Sari mengerutkan alisnya. Ada sebuah penolakan. "Anak-anak nanti tidak turun di sekolah, tapi di–"

Sebuah daerah yang memang selalu digunakan untuk menurunkan pelajar—yang baru bertamasya dan lain sebagainya.

Mau tidak mau, Sari menggerakkan kakinya lebih cepat, karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh tepat.

Dalam perjalanan, sebuah telepon masuk, dari teman kantornya. Ia mengangkat telepon dengan cemas, "Ah, iya, pak, maaf terlambat, saya–"

"Tidak, bu. Rapat diundur, Ibu bisa datang jam sepuluh saja, saya dengar dari atasan, rapat bakal diadakan setengah sebelas, bu." Mendengar informasi tersebut, Sari langsung mengganti tujuannya.

Selagi berada di daerah tempat praktik olahraga Bella, Sari tahu tempat kedai dengan pemandangan yang indah. Sari berpikir akan mengerjakan tugas, yang dikerjakannya dokumen sisa lembur semalam.

Kedainya tampak mempesona.

Lingkungan yang cantik, segar, pepohonan masih asri, bernapas di sini tidak akan sekali pun memghirup asap bakaran sampah dan asap kotor—selain kendaraan bermotor bejat.

Cukup dingin, untung Sari memakai kardigan. Dia tahu ini kardigan pemberian Rian, tapi pakaian tetaplah pakaian. Tidak buruk-buruk amat, kok.

Warna kardigannya cokelat muda, yang nyaris menyamai kulit Sari.

"Oke." Dia menghembuskan napas. Satu kopi susu beserta satu kue croissant lezat mengkilap, siap menemani Sari di tengah-tengah haus maupun lapar.

Laptop sudah di hadapan, tangan siap mengetik. Ia melanjutkan pekerjaannya dengan memakukan pandangan pada layar laptop.

Dua jam berlalu. Jam tangannya sudah berkata bahwa sekarang setengah sembilan pagi. Menyadari hal itu, Sari mengakhiri pekerjaannya seraya mengetik papan ketik dengan tanda titik.

Klik save dan mengemasi barang-barangnya. Sewaktu berniat membayar, ia malahan tergoda untuk membeli lagi satu kopi, dan dua roti yang sama persis seperti tadi.

Beralasan sebagai mengisi perutnya saat di kantor nanti. "Terima kasih, mas."

Mobil terparkir tak jauh dari kafe. Tak butuh waktu lama untuk menginjak gas pergi dari kedai. Beruntung perumahan teman Bella dekat, hanya perlu sekitar dua menit perjalanan.

Pintu gerbang belum terlihat, tetapi sebuah jajaran huruf-huruf (seperti tulisan HOLLYWOOD, namun ukurannya lebih kecil).

Ternyata benar tebakan Sari, perumahan ini lebih dikhususkan kaum kelas atas. Bukit yang menanjak ekstrem satu ini, di potong-potong dengan jelas.

Tidak seperti Papan Miring—yang antara tanjakan miring bawah ke atas, dipotong setinggi satu sampai dua meter saja.

Kalau perumahan ini mencapai sepuluh meter-an. Balok-balok batu—yang digunakan untuk menahan longsor pada bagian potongan tanjakan bukit—jadi terasa bukan sedang di dalam negeri.

Kalau ditonton dalam layar televisi, semacam di Jepang mungkin.

Selain itu, setiap melewati tiga sampai empat rumah di Perumahan Papan Miring, akan ada saja sisa satu atau dua petak tanah kosong.

Yang ini tidak. Sangat luar biasa. Setelah melewati satu rumah—mungkin lebih baik disebut istana karena saking besarnya bangunannya—akan ada empat sampai lima petak tanah kosong—satu petak tanah saja mungkin sekitar 3000 meter persegi—maka jarak antara rumah yang sudah jadi dan yang masih tanah kosong sangat luar biasa panjang.

(Jangan lupakan berapa luasnya jalan beraspalnya)

Sesuai arahan penjaga gerbang sekolah tadi, Sari langsung menemukan rumah jajar genjang. Di sana juga disambut beberapa bus dan supirnya duduk-duduk di undakan depan rumah.

Sari memarkirkan mobil di sembarang tempat karena tidak akan lama.

Dengan bangkit dan mendekatnya seorang pria yang umurnya mungkin mencapai paru baya, Sari dapat memastikan, orang tersebut penjaga rumahnya—didukung oleh seragam yang dikenakan.

Lihat selengkapnya