subbab Kicep:
1
Gelas aluminium dilempar ke atas, dibiarkan terbang lalu ditangkap dengan gesit dan cekatan. Eko memberikan sebuah atraksi saat menyajikan minum-minuman keras.
Awalnya dia tak punya ketertarikan bekerja di tempat seperti ini. Tetapi, melihat manusia liar atau buas terasa seperti melihat dirinya sendiri.
Bekerja di sini tidak menguntungkan sepenuhnya, tetapi ini cukup mengisi waktu masa single parent di saat malam. Karena sesekali menoleh ke wanita yang merangsangnya.
Intinya, di tempat seperti ini membuat Eko berjiwa binatang kotor tak tahu malu. Tanpa memedulikan norma dan hal-hal lain yang semestinya dilakukan manusia pada umumnya.
Selesai melayani sepasang kekasih anak baru gede, yang berpakaian formal cukup ketat, dan kalau dipikir-pikir lagi tidak akan melahirkan kenyamanan saat memakainya.
Sedetik kemudian seorang lelaki datang memesan minuman. Tanpa berlama-lama Eko menyiapkan pesanan, seperti biasa dibumbui pertunjukan yang melelahkan lengan.
Gelas kecil dengan cairan berwarna persis seperti minyak masakan disajikan.
Eko menggosok meja dapur kecilnya yang terciprat sedikit minuman. Di tengah-tengah bersih-bersih, Eko melirik ke wajah anak yang memesan tadi.
"Kau sepertinya masih muda," celetuk Eko. "Siapa yang mengajakmu ke tempat beginian?"
Lap yang dipegang Eko diletakkan, lalu ia mencondongkan badan dengan kedua tangan lurus bertumpu pada meja—meja yang dipenuhi gelas-gelas, botol-botol, yang sudah pasti berisi cairan.
Memang tubuhnya tinggi, tapi wajah tak bisa membohongi. "Kebanyakan main gim, ya? Matamu punya kantong mata jelek."
Lelaki itu menenggak habis minuman keras itu. Gelas kecil diangkat tinggi-tinggi seraya menghembuskan napas puas, "Aah".
Anehnya—lelaki yang dianggap Eko masih muda, lebih gampangnya masih remaja—mengacungkan telunjuk, meminta satu lagi.
" Jangan bengong," katanya melihat Eko yang diam menatap curiga. "Cepatan dong, pak."
"Umurmu berapa?" tanya Eko, mulai meracik sekali lagi, kali ini tanpa atraksi. "Kau tidak cocok–"
"Ini hidupku, buat apa bapak protes?" balasnya, cepat-cepat menelan minuman yang sekali teguk itu saat baru melandai. "Aku enam belas, kenapa? Masalah kantong mata? Buat apa kepo?"
"Eh?"
Anak dihadapannya berumur enam belas tahun. Setahu Eko, keamanan untuk masuk ke tempat ini cukup ketat.
"Siapa temanmu, di sini?" sekali lagi bertanya, siapa tahu orang dewasa yang mengajaknya masuk.
"Nggak ada. Sekadar informasi, aku ini bakal jadi anak kuliahan."
"Bukan berarti kamu sudah boleh beginian, dong," jelas Eko.