subbab Ba-bi-bu:
1
Sari yang baru saja masuk ke dalam gedung kepolisian ditahan. Wanita agak tua yang mungkin hampir menyentuh usia paruh baya menggandeng Sari ke sebuah kursi panjang.
"Iya, bu, ada apa?" tanya Sari, menyerong kiri.
Sebaliknya, wanita itu juga melakukan hal yang sama. "Apa benar Anda ini bernama Laksita Sari?"
Melihat keseriusan nada wanita itu, Sari sedikit curiga, "Ada apa, ya?"
"Kalau benar, saya ini pembantunya Pak John Carles."
John Carles? Orang itu?! Sari kenal, bukan karena menonton di televisi, tapi pernah bertatap muka langsung. "E... iya, saya kenal orang itu kenapa, ya?"
"Saya baru mendapatkan kabar kalau salah satu anak Ibu diangkat oleh Pak John, ya?" katanya.
Sari melongo, karena itu benar. "Iya." Tiba-tiba napasnya jadi terengah-engah, "Omong-omong, siapa nama Anda, bu?"
"Saya Sri. Nama kita sedikit sama." Setelah mendengar nama, Mbak Sri menyerong sampai tubuhnya bisa menatap badan ramping Sari. "Saya takut ada apa-apa, apa Mbak Sari mau...."
×××
Sari tergopoh-gopoh mencari tempat parkir. Ia sampai membuka jendela mobil bertanya apakah mau keluar atau tidak. Saking hebohnya, Sari mengklakson orang yang dianggapnya mengganggu jalan mobilnya.
Tak peduli mobilnya terparkir miring atau bagaimana, dia langsung berlari masuk ke dalam rumah sakit.
Mendatangi tempat resepsionis, ia bahkan sampai memotonh antreannya. "Kumohon, kamar sirih gading nomor enam di mana?"
"Antre dulu, mbak!" Ada yang meneriaki begitu. "Budayakan mengantre!" Juga ada yang mendecak, "Ya begini jadinya kalau dari kecil nggak punya sopan santun, orang dungu!"
Mau tidak mau, sambil menggaruk kepala ia berada di antrean paling belakang.
Baru saja antrean menipis dua orang, Sari malah keluar dari antrean dan tanya kepada perawat yang lewat. Dan barulah ada arahan di lantai paling atas.
Lift ada di depan mata, Sari semakin mempercepat langkahnya.
Berhasil masuk, ternyata di dalam cukup penuh, untunglah bisa masuk, Sari pun memencet lantai lima, meskipun sudah ada yang memencetnya.
Sebentar lagi ia akan bertemu anaknya. Anak yang membuat Sari jadi seorang pekerjaan keras seperti seorang pria, bukannya Ibu rumah tangga. Anak yang sudah dijual oleh Eko, tiga belas tahun yang lalu.
×××
Handuk kubasahi, wadah air yang diberikan perawat mulai habis, aku sendiri kurang jago bagaimana menggunakannya, tapi semestinya cuma perlu menepuk-nepuk ruangan pada kulit, kan?
Caca berhasil dioperasi, beruntung dia ditikam di waktu yang nggak jauh saat paramedis datang, nyawanya selamat. Beruntung juga pengguna jalanan memberikan jalan untuk ambulansnya.
Begini, kan? Tinggal ditepuk-tepuk di kulitnya. Jujur aku takut untuk membasuh bagian dekat infus, aku bisa membayangkan jarum suntik itu bergerak-gerak, goyang-goyang yang sepertinya menyakitkan. Sepertinya.
Sekarang wajahnya. Hidung juga di operasi, kurasa nggak beda jauh sama yang Tuhan berikan sejak awal, ini sama persis. Tetap cantik.
Handuk yang aku tepuk-tepuk lembut di wajah Caca mengeluarkan air sedikit, menetes sampai mengalir di kelopak mata yang menutup.
Ruangan ini cukup apik, lho. Nggak heran, Caca soalnya keluarga berduit.
Saat tengah melakukan kegiatan itu, pintu kamar terbuka. Ada wanita asing yang datang. Mana matanya berair, siapa dia?
"Selamat siang."
Aku mengangguk, apa harus kusapa balik dengan selamat siang?
"Apa kau sepupunya?" tanya wanita itu. Apa tante itu nggak memperkenalkan nama dulu?
"E... bukan, te." Kupanggil tante nggak apalah, ya. Dia kemudian duduk di samping Caca, lalu tangannya terangkat dan mendarat di dahi. Tante itu menyisiri rambut Caca.