saṃsāra

Arai Amelya
Chapter #3

Serigala yang Mengancam Singa

Tujuh orang, tidak, ada sepuluh orang yang saling mengepung gudang tua di pinggiran kawasan Srengseng Sawah itu.

Ya, Srengseng Sawah. Beberapa tahun ini orang-orang mengenal kelurahan di Jakarta Selatan itu sebagai salah satu titik rawan kejahatan yang diawasi secara ketat oleh kepolisian. Mayoritas aksi kriminal yang begitu meresahkan adalah pencurian hingga narkoba.

Keberadaan lahan pertanian hingga 116 hektare, terbesar di Kecamatan Jagakarsa, membuat Srengseng Sawah masih jadi wilayah favorit para bandit untuk bersembunyi. Sedikit miris karena sebetulnya di Srengseng Sawah juga terdapat tempat wisata unggulan Betawi, Setu Babakan.

Mungkin jika Cornelis Chastelein melihat bagaimana kondisi Srengseng Sawah saat ini yang menjadi kawasan rawan kejahatan, tuan tanah penentang perbudakan asal Belanda itu akan menangis dari kuburnya.

“Lapor Ndan, semua sudah di posisi. Personil siap meringkus anak kijang!” suara serak itu terdengar jelas dari handy talkie (HT) digital yang diletakkan di dashboard mobil Range Rover hitam, yang berdiam sedari pagi di bawah pohon trembesi besar. Saking lebatnya trembesi itu, bayangannya sampai mampu menyembunyikan mobil.

Trembesi itu sendiri berjarak sekitar 500 meter dari gudang tua yang di sekelilingnya sudah dipenuhi anggota polisi berseragam hitam, lengkap dengan body armor-body armor anti peluru dan senjata laras panjang. Masing-masing dari mereka tampak sangat serius, bergerak tanpa suara sambil mengamati bagian dalam gudang tersebut. Terjulur dari salah satu telinga mereka, ada kabel hitam kecil yang terhubung ke perangkat earphone.

“Apa Roni terlihat?”

Suara yang lebih kasar terdengar mengalir dari masing-masing earpiece telinga mereka. Si pemilik suaranya sendiri justru duduk di dalam mobil Ranger Rover hitam, sambil mengamati monitor pantau berukuran sepuluh inci. Monitor itu memperlihatkan bagian dalam gudang yang tampak gelap, tapi masih bisa mendeteksi keberadaan manusia melalui gelombang infra merah sehingga terlihat seperti bayangan makhluk kasat mata.

Dengan segera sepuluh pasang mata itu tampak memfokuskan pandangan mereka lagi, terlihat sedikit tegang seolah mencari-cari sesuatu dari sudut pandang sempit demi menjawab pertanyaan itu.

“Arah pukul tujuh, saya tampilkan visualnya,” ujar suara nyaring beberapa detik kemudian yang langsung juga mengubah tampilan di dalam monitor pantau mobil itu.

Perlahan sosok pria berambut kriting sebahu yang diikat sekenanya muncul di dalam monitor. Si pemilik suara kasar di dalam mobil itu tampak menggeram kecil.

“Bajingan sialan. Malam ini kutangkap kau,” ujarnya dengan tatapan menahan marah sambil mengambil sebuah HT di dekatnya. Tepat saat dia hendak berbicara melalui perangkat itu, jemari tangan putih menahan lengan kanannya. Si pemegang HT melirik sosok di sebelah kanannya dengan tak sabar.


“Dia membawa senjata,” suara lembut itu terdengar dari sosok yang sedari tadi diam mengamati monitor.

Seolah membuktikan ucapan rekannya, lelaki itu mendekatkan diri ke monitor pantau. Ekspresi wajahnya sedikit kaget saat melihat benda menonjol di atas celana pada tubuh belakang Roni yang tampak sedang berbisik dengan komplotannya. Tak perlu dua kali melihat, setiap anggota kepolisian di Indonesia akan tahu kalau benda menonjol itu adalah sebuah pistol.

“M1911. Tujuh atau delapan peluru,” suara lembut itu kembali terdengar, tapi ada nada ketegasan terasa.

“Waspada semuanya, target membawa senjata. Tunggu perintah,” si pemilik suara kasar kembali berbicara kepada para polisi di sekitar gudang lewat HT digital. Mereka yang sedang mengintai menerima perintah itu dengan semakin waspada dan mulai mengangkat senjata masing-masing, siap melakukan serbuan.

“Dengan gambar seburuk itu, kau bisa tahu itu M1911,” ucapnya lagi sambil melirik rekan di sebelahnya yang kini sedang meneguk air minum dari tumblr hitam di samping tempat duduknya. “Aku yakin, malam ini kita bisa menangkap si brengsek itu. Akan kubuat Roni membayar kelakuannya yang membuat tanganku patah,”

Si pemilik suara lembut itu meletakkan tumblr perlahan, hanya melirik sekilas ke orang di sebelahnya yang terlihat jelas mendendam pada target mereka, sebelum kembali mengamati Roni yang kini sudah berkeliling di dalam gudang bersama

“Ini terlalu mudah,”

“Mudah? Kau gila. Kita sudah mengintai selama satu pekan!” pekik suara kasar itu semakin tak sabar.

Tak peduli dengan ucapan rekannya, lelaki itu mengambil iPad dari bagian belakang mobil. “Roni adalah orang yang pintar, dia tak mungkin membiarkan dirinya tertangkap semudah ini. Apa kau tidak curiga?”

“Apa maksudmu, Ren?”

Dengan cepat jemari putih itu bergerak di layar iPad. Dia sepertinya membuka denah 3D sebuah bangunan yang ternyata adalah gudang tua, lokasi target mereka berada. Begitu cekatan, lelaki itu beberapa kali melakukan zoom out dan zoom in denah gudang tua, pada seluruh sisi bangunan dan ruang-ruang yang ada di dalamnya. Tak berhenti di situ, dia juga menggeser tampilannya ke jalan-jalan di sekitar gudang, sebelum akhirnya memberikan senyuman kecil di wajahnya.

“Musuhmu itu benar-benar selicin belut,”

“Hah?”

“Dalam lima menit, tiga orang serbu lewat bagian depan. Sisanya masing-masing satu orang di jendela kanan dan kiri, dua orang lain tunggu di bagian belakang, senjata dalam posisi menembak. Tiga orang yang tersisa keluar dari halaman dan blokir jalan sebelah kanan dari sisi belakang rumah,” suara lembut itu memberikan perintah melalui earpiece dengan tegas tapi tampak sangat tenang.

Sepuluh orang bintara dan tantama itu mendengarkan perintah dengan seksama. Dalam waktu singkat saja mereka langsung mengubah formasi dan menyesuaikan dengan arahan lelaki di dalam mobil itu.

“Tu, tunggu,”

“Aah, kau juga ikut serbu dari bagian belakang. Menyusul satu menit setelah mereka melumpuhkan anak buah Roni,” jawab si suara lembut sambil membenahi body armor berbahan kevlar level III itu.

“Eren, sebentar!”

Mendengar namanya disebut, lelaki itu langsung menoleh dan menatap rekannya sepenuhnya. Cahaya bulan yang menembus daun-daun pohon trembesi menyinari kulit wajahnya yang terlihat putih, bahkan lebih cemerlang daripada anggota polisi pada umumnya. Sepasang mata kecilnya tampak bertanya.

“Setidaknya jelaskan padaku, supaya aku tak tampak bodoh. Kau menyadari sesuatu? Begini, Eren. Kau lihat sendiri kalau tidak ada kendaraan di halaman gudang, kan? Bahkan dalam bangunan satu ruangan itu juga tak tampak sepeda angin. Rencanamu ini seperti menyerbu target yang hendak kabur dengan kendaraan! Kalaupun si brengsek itu kabur, dia harus melompati pagar lancip di depan kita dan tentunya akan langsung kutembak pantatnya, aku akan senang melakukannya,” tambah pria bersuara kasar itu.

Eren tersenyum kecil mendengar keluhan rekannya.

“Bono, dari seluruh tembok gudang itu ada satu sisinya yang terbuat dari kayu, kan?”

“Ya, sisi belakang tapi itu kayu yang tipis. Apa ada kaitannya?” Bono balik bertanya dengan kening berkerut.

“Kau tidak merasa aneh dengan ukuran gudang yang bisa memuat hampir tiga puluh orang tapi meja di dalamnya berjarak terlalu dekat?”

“Ha?”

Eren menepuk bahu Bono pelan. “Tembak rodanya, jangan sampai meleset,”

Seolah tak peduli pada Bono yang hendak melontarkan pertanyaan lagi, Eren memilih meletakkan iPad di bagian belakang mobilnya. Dia lalu berganti mengambil pistol HS-9 dari bagian bawah kursi dan mengecek kondisi senjata api laras pendek itu, termasuk magasin-nya.

Sadar kalau ucapannya tak akan didengar, Bono memilih keluar dari mobil sambil menghela napas panjang. Di kepalanya masih ada banyak sekali pertanyaan, tapi dia sudah tahu kalau Eren tak akan menjelaskan. Bekerja sebagai bawahan Eren dalam waktu dua tahun terakhir, membuatnya sadar kalau pria yang seumuran dengannya tapi memiliki jabatan di atasnya itu memang lebih sering memaksa orang lain untuk menyadari strategi cerdiknya secara mandiri, alih-alih memberi penjelasan panjang lebar.

Ini bukan berarti kalau Eren adalah seorang atasan yang tinggi hati atau tak bisa berkoordinasi. Eren justru begitu disiplin dan kelewat bertanggung jawab atas nasib setiap bawahannya. Hanya saja banyak anggota polisi yang tidak secerdas dirinya, sehingga lebih sering harus menerima penjelasan berulang kali demi bisa mengikuti otak pintarnya.

Eren sejatinya tidak salah sepenuhnya. Di usia yang baru menginjak 27 tahun, dirinya bahkan sudah memegang jabatan Iptu (Inspektur Polisi Satu) selama dua tahun, dan diprediksi akan menjadi seorang AKP (Ajun Komisaris Polisi) sebelum berumur 30 tahun. Padahal Bono saat ini masihlah di tahun ketiga sebagai seorang Ipda (Inspektur Polisi Dua).

Bagaimana bisa seperti itu? Karena Eren menuntaskan tugasnya sebagai seorang IPDA tanpa terlambat, yakni tiga tahun sejak berumur 22. Bahkan dia menyelesaikan masa pendidikannya di Akademi Kepolisian (Akpol) dengan begitu cemerlang, sebagai lulusan terbaik dalam waktu tepat tiga tahun. Gelar Adhi Makayasa itu sampai membuat Jendral Pol Gusti Prawira, sang Kapolri begitu kagum hingga mengundangnya secara khusus ke kediamannya.

Banyak yang bilang kalau pencapaian gemilang Eren Samudera Wiryawan tak lepas dari sosok mendiang Ayahnya, Brigjen Pol Hendra Wiryawan. Sang perwira tinggi pemilik satu bintang emas itu bahkan selalu disebut sebagai calon Kapolri selanjutnya, andai saja tidak tewas secara terhormat ketika mengejar gembong teroris, semasa Eren masih sekolah menengah.

Kematian Hendra memang membuat Eren cukup terpukul. Dia kemudian memilih jauh dari institusi kepolisian dan melanjutkan kuliah ke jurusan fisika di Universitas Stanford, California, Amerika Serikat saat berusia 15 tahun. Ya, kecerdasan Eren memang di atas rata-rata, bahkan melampaui sang Ayah karena dirinya menyelesaikan masa SMP dan SMA secara akselerasi dalam total empat tahun saja, sehingga tak heran kalau dirinya mampu menyelesaikan pendidikan di salah satu kampus paling bergengsi di dunia itu, dalam usia yang jauh lebih muda daripada mahasiswa lain.

Hanya saja setelah mengantongi gelar sarjana fisika, Eren justru kembali ke Indonesia dan memutuskan masuk Akpol terutama setelah Ibunya, Sri Deryati meninggal dunia karena kanker. Dan terbukti pilihan itu tidak salah karena Eren kini adalah salah satu perwira termuda sepanjang sejarah kepolisian Indonesia.

“Akan kubuat dia membelikanku tiket konser Twice termahal kalau rencananya kali ini salah,” gerutu Bono yang kini sudah ada di bagian belakang gudang tua.

Menyadari kehadiran Bono, dua orang bintara yang berjaga tampak menoleh kaget. Kedua bintara tinggi itu sepertinya tak menduga kalau sang atasan menemani mereka.

“Dia pasti tak memberi penjelasan, kan?” tanya si pemilik suara serak dengan label nama Aiptu Charles di body armor-nya saat Bono sudah ada di sampingnya.

Bono mengangguk, terlihat sedikit masam tapi tetap waspada. Charles tersenyum. Sama seperti Bono, dia sudah sangat paham dengan segala tindakan ajaib Eren yang seluruhnya berujung pada keberhasilan operasi penangkapan tersangka.

“Satu menit lagi,” sosok bersuara nyaring itu berbisik lirih ke kedua rekannya. Tatapannya sedari tadi tak lepas dari ujung jendela di bagian belakang gudang tua.

Dan setelah enam puluh detik yang menegangkan, terdengar suara pintu terbuka dengan kasar dan sangat keras dari bagian depan gudang. Disusul oleh teriakan orang-orang di dalam, ayunan balok-balok kayu menghantam tembok atau benda yang terjatuh dan pecah, serta suara anggota tubuh yang saling baku hantam. Bisa ditebak kalau tiga orang polisi di bagian depan sedang beradu dengan para gerombolan penjahat.

Kekacauan berlanjut saat jendela-jendela terpecah dan terdengar suara peluru-peluru meletus menghantam tembok, atau benda-benda di dekatnya. Diikuti dengan erangan kesakitan, atau teriakan penuh amarah. Jelas sekali penyerbuan di dalam gudang oleh lima anggota polisi sudah menjadi sebuah pertarungan hidup dan mati. Seolah tak tahu kapan berhenti, sayup-sayup terdengar suara besi saling bertumbuk, serta lemparan pisau di udara.

Bono dan kedua rekannya saling pandang dalam posisi siaga, begitu tegang sambil menahan sekuat tenaga keinginan untuk ikut masuk ke dalam gudang karena perintah Eren sangat jelas.

Mereka bertiga harus menunggu.

Tapi apa yang harus ditunggu?

Tanda seperti apa yang diharapkan Eren bakal dipahami oleh bawahannya?

“Lapor, Ndan, kami sudah berhasil melumpuhkan enam orang. Gudang sudah clear. Situasi saat ini, dua orang target pingsan, satu orang kaki kena peluru. Bripka Fatur tangannya luka panjang dan berdarah kena pisau, Bripda Yudi yang tidak sadar karena dihantam kayu besar,”

“Enam orang? Harusnya ada tujuh. Di mana Roni?” tanya Bono terburu-buru lewat earpiece setelah mendengar laporan dari bagian dalam gudang.

“Lapor, Ndan, tidak ada. Kami hanya meringkus enam orang,”

Bono memandang Charles yang sama-sama bingung.

Lalu kemudian terdengar suara mesin menderu sangat keras dari balik tembok kayu mereka berada. Hanya dalam sepersekian detik, sebuah benda berukuran besar menjebol kayu-kayu tipis itu sehingga membuat Bono dan kedua rekannya langsung melempar diri menjauhi tembok kayu yang sudah hancur. Jika terlambat satu detik saja, mereka bertiga jelas akan digilas kendaraan beroda empat itu.

“DASAR POLISI GOBLOK!!!!! HAHAHAHAHA!!!”

Tawa Roni terdengar sangat menghina saat dia melaju bersama mobilnya menuju pagar besi berjarak 200 meter itu,

Lihat selengkapnya