“Leonie, Leonie, I dream my life away. Make believe you’re still around, in dreams of yesterday...”
Mulutku terus bersenandung lagu favoritku itu yang kini diputar oleh playlist Spotify di earbuds-ku, diikuti oleh ujung-ujung kakiku yang bergerak mengikuti irama musik power ballad tersebut. Rasanya aku memang seperti otomatis bernyanyi kalau lagu Arjan Brass itu berputar kapanpun dan di manapun.
Bahkan meskipun saat ini aku sedang menulis hot news mengenai perceraian salah satu pasangan selebritis populer di negara ini yang sudah harus segera diunggah satu menit lagi, otakku tampak masih bisa membagi fokusnya untuk menikmati Leonie. Entah kenapa bagiku Leonie memang lebih dari sekadar lagu. Buatku, Brass benar-benar meninggalkan pecahan perasaannya kala menulis lagu tentang cinta yang hilang itu.
Dikejar tugas dan tetap bernyanyi. Mungkin aku sebetulnya sangat cerdas, hanya saja pekerjaan ini membuatku bodoh lebih cepat...
Aku mengeluh sendiri sambil membubuhkan kalimat terakhir yang khas dari media-media entertainment online pada ujung berita yang kutulis:
Sampai berita ini diturunkan, tim kami masih berusaha menghubungi pihak Hanafi dan Sagita. Jadi tetap stay tune di sekarangaja.com ya!
Bilang saja kami terburu-buru merilis berita ini hanya supaya tidak kalah dari kompetitor. Urusan valid atau tidaknya informasi, itu adalah derita pembaca...
Aku kembali menggerutu di dalam hati.
Ini adalah tahun ketiga aku bekerja sebagai penulis sekaligus editor dari salah satu media entertainment paling terkenal di Indonesia ini, tapi sama sekali aku belum sepenuhnya menikmati profesiku. Sebagai sarjana Diploma dari jurusan Teknik Telekomunikasi, apa yang kukerjakan sekarang memang tampak seperti seorang pengkhianat.
Sarjana teknik mana yang sudah susah payah sekolah selama tiga tahun, tapi berakhir sebagai penulis berita gosip selebritis?
Rasa-rasanya aku membuat buku-buku dan jurnal mata kuliah algoritma, elektronika, dan fisika menangis di lemari kamarku sana. Dengan hembusan napas yang cukup panjang, aku akhirnya memencet tombol submit dan berita itu akhirnya dirilis di website, siap dilahap oleh para pembaca atau yang kini lebih sering disebut netizens maupun warganet.
Seperti yang kuduga, berita itu seperti buah busuk yang sedang dikerubungi lalat. Dalam hitungan detik saja, komentar-komentar langsung bermunculan.
‘Berita nggak mutu! Penulisnya tidak sekolah ya!’
‘Ini pasti pengalihan isu, pemerintah mau bikin kebijakan apa lagi nih?’
‘Emang mereka berdua penting? Cerai saja diberitakan!’
Aku menahan emosi membaca komentar-komentar itu. Rasanya ingin kubalas dengan: ‘Kalau memang tidak mutu dan penting, ngapain kalian baca? Tolol!’
Andai saja tidak ingat dengan pedoman Dewan Pers, sebagai penulis berita aku bisa membalas komentar warganet itu jauh lebih pedas. Tapi sebagai jurnalis online, aku memang harus menahan keinginan itu. Mungkin benar kata seniorku di kantor ini, ‘Intinya ya Lun, kalau beritamu itu udah di-submit, yaudah lupain, nggak usah dibaca lagi. Ngapain?”
Kulepas kacamata berbingkai putih bening dari wajahku dan kubiarkan mataku mengerjap. Sungguh lelah sekali menulis berita dan duduk di depan komputer, sejak aku tiba pukul delapan pagi tadi. Kulirik jam di ujung bawah layar monitorku, sekarang pukul setengah dua siang.
Andai kalau hidup dewasa semenyebalkan ini, aku mungkin akan memilih menjadi anak kecil seumur hidup. Bayangkan saja, kalian bisa tidur dengan tenang di jam-jam seperti ini tanpa memikirkan bagaimana cara membayar paylater (tentu saja aku tidak punya paylater!), atau mungkin notifikasi WhatsApp grup dari atasan mengenai berita yang harus dinaikkan dalam hitungan menit. Belum lagi bicara soal angsuran sepeda motor, tagihan KPR, atau melunasi langganan aplikasi menonton premium.
Menjadi dewasa memang semembosankan itu.
“Nih, minum dulu. Dari tadi kayaknya nggak berhenti-berhenti? Wajar sih, penulis dengan pageview tertinggi pasti bakal sibuk kalau ada gosip hot,”
Aku melirik si pemilik suara. Lelaki berkacamata dengan rambut selalu acak-acakan itu meletakkan segelas ice coffe latte favoritku di dekat keyboard. Dan seperti kebiasaannya, dia akan bersandar di dinding kubikelku sambil meminum kopi panasnya.
“Aku mau resign,”
Rian tersedak hingga terbatuk-batuk saat mendengarkan ucapanku. Dia lalu kemudian tertawa sambil meletakkan minumannya di dekat minumanku. Aku menatapnya sebal.
“Lagi? Ini udah yang ketiga bulan ini dan engg, kesebelas dalam tahun ini,” jawabnya menatapku jahil.
Aku kembali menatapnya dengan kesal. Memang ada yang salah jika aku terus-menerus mengatakan ingin resign sekalipun tidak jadi? Ya, bukan maksudku seperti itu. Tapi karena memang aku sebetulnya ingin segera resign dari pekerjaan ini, hanya saja aku juga membutuhkannya. Terdengar rumit? Yaa, seperti itulah kehidupan manusia dewasa.
“Kali ini aku serius. Aku sudah bosan harus mengerjakan berita gosip nggak jelas, atau cinta lokasi settingan, belum lagi gimmick kesurupan film horor. Apa kau tidak bosan?”
Rian mengangkat bahunya, lalu dia mengambil minumannya dan mulai meneguk sekali. Berbeda denganku yang adalah seorang penulis, dia bekerja di divisi programmer sehingga sudah pasti tak akan bersinggungan langsung dengan skandal selebritis murahan.
“Tapi kau kan bisa melakukan hobi idealismu lewat Twitter,”
Dengan segera langsung kuangkat telapak tangan kananku dan menutup mulutnya. Kugeser tubuhku mendekat dan mendelik padanya sambil berbisik, lengkap dengan menoleh ke kanan kiri cemas.
“Jangan keras-keras kalau kau bicara!!!!”
Aku mengamati ruanganku dengan waspada. Untung saja beberapa editor lain masih ikut meeting dan ada yang liputan lapangan, sehingga hanya ada empat orang di ruangan penulis ini. Tapi tetap saja membuat hatiku mencelos, bahkan aku sampai tidak sadar kalau Rian menatapku lekat-lekat. Rian lalu memegang lenganku dan menggeser telapak tanganku dari mulutnya. Dia masih memandangku yang masih cemas menatap sekeliling.
“Memang masih nggak ada yang tahu? Padahal jelas-jelas namanya norak begitu. Luna on the sea. Orang-orang di sini pasti sudah tahu itu dirimu, kan?”
Aku lepas pegangan tangan Rian dengan sebal.
“Sejak awal aku sudah bilang kalau itu bukan nama asliku. Lagipula orang-orang di sini kan tahu aku penulis berita gosip murahan, atau soft news-soft news nggak jelas, beda lah dari Luna di Twitter yang bikin postingan investigasi tajam gitu. Dan nama akunku tidak norak! Hanya kau yang bilang begitu!” tambahku sambil kembali duduk di kursi kerjaku.
Rian tertawa kecil sambil mengacak rambutku, membuatku berharap dia segera pergi dari kubikelku.
“Kenapa harus on the sea, sih? Segitu pengennya ke pantai, ya?”
Aku menghela napas menatapnya, hanya buang-buang waktu memberinya penjelasan karena tujuannya datang cuma membuatku kesal.
“Apa kau tidak ada pekerjaan? Programmer harusnya sibuk, kan? Kau pergilah ke ruanganmu, aku mau tidur siang sebentar,”
Rian kembali tersenyum yang menurut banyak rekan-rekan perempuan satu divisiku, senyuman tampan.
“Investigasimu, lancar?” tanyanya dengan suara dipelankan karena aku tahu kali ini dia bertanya dengan cukup serius.
Aku mengangguk dan balas menjawab dengan suara yang kukecilkan. “Aku sudah tahu calon korban selanjutnya. Netizen memang lebih hebat daripada polisi. Kurasa tidak lama lagi, aku bisa membongkar semuanya,”
Rian diam sejenak sambil menatapku tajam. “Kau harus hati-hati, Lun. Kau tahu dia siapa, kan?”
Aku mengangguk pelan dan tersenyum menenangkan meskipun aku sangat sadar kalau dia tampak cukup khawatir padaku. Kusandarkan tubuhku ke kursi kerja, lalu kualihkan tatapanku ke sebuah foto diriku yang lebih muda di samping monitor komputer. Dalam foto berbingkai putih yang seukuran dompet itu, ada aku dengan seragam SMA bersama seorang perempuan cantik dan berambut panjang yang begitu kurindukan.
Kakak perempuanku.
Alasan terkuat kenapa aku mulai memburu laki-laki itu.
***
‘Kasus ini dimulai dari ND, kakak perempuanku. Manusia paling ceria dan penuh mimpi yang kuketahui. Harapannya tiba di ibukota berubah saat bertemu dengan laki-laki itu. Saat itu aku tak sadar, kalau orang yang begitu bahagia dia ceritakan di telepon, adalah orang yang akan memadamkan cahayanya. Merenggutnya dari kami, untuk selama-lamanya. Menghancurkan kebahagiaan dalam keluargaku’ #SerialRapeJaksel
“Aah, jadi si Luna ini adik dari korban. Apa korban ini meninggal, ya? Aku sepertinya harus mulai menyelidiki dari situ,” Eren berbicara sendiri sambil terus mengamati layar MacBook-nya. Dia menggeser layar itu, membaca dari awal thread yang dibuat Luna di Twitter.
‘Aku menemukan file voice note dalam ponsel ND, tentang apa yang dia alami. Monster itu begitu memanjakannya. Begitu memperhatikannya. Dan begitu ingin menguasainya. Perhatian yang dirasa romantis berubah jadi neraka. Laki-laki itu merusak mental dan fisik ND, merekamnya dalam kondisi paling hina untuk menjadi koleksi yang dia banggakan dan kemudian ditinggallkan saat sudah bosan. Hingga akhirnya ND tahu tak ada jalan keluar selain kematian’ #SerialRapeJaksel
“Apa kakaknya meninggal? Kenapa dia tidak melapor ke polisi?” gerutu Eren.
‘Aku sudah mencoba untuk percaya. Tapi seluruh bukti yang kuberikan pada institusi tiga bintang dianggap tidak kuat karena hanya bersumber dari ND. Bahkan file aslinya hilang saat mereka menyelidiki ND yang kemudian dianggap bunuh diri itu. Aku sangat muak dengan mereka. Sekumpulan orang-orang pongah yang merasa sebagai juru adil’ #SerialRapeJaksel
Eren diam sambil terus membaca postingan-postingan Luna dengan wajah serius.