saṃsāra

Arai Amelya
Chapter #6

Aluna Dwita Perkasa

Apa yang dialami Eren malam itu, bisa dibilang awal dari segalanya.

Awal dari kejadian-kejadian aneh yang tak memiliki penjelasan dan seolah mengoyak logika berpikirnya selama ini.

Sejak itu, Eren seringkali bertemu dengan sosok aneh yang memiliki bayangan mengerikan kala dilihat dari cermin. Seperti saat dia membeli minuman soda di minimarket sore tadi, Eren bahkan berteriak yang membuat kasir dan pengunjung minimarket itu kaget dan tampak berbisik-bisik sambil menatapnya.

Bagaimana tidak kaget, karena Eren melihat seorang anak laki-laki yang duduk terdiam di teras minimarket sambil menatap jalan raya, tapi bayangannya dari spion kiri mobilnya adalah bocah laki-laki dengan sekujur tubuh berlumur darah. Lengkap dengan bagian sisi kepalanya yang terpecah dan mata seolah tergencet. Tampilannya begitu serupa dengan korban-korban tewas di lokasi saat kecelakaan lalu lintas.

Tak hanya itu saja, saat Bono menjemputnya usai pulang dari rumah sakit beberapa hari lalu, Bono yang begitu takut akan hantu mengusirnya dari mobil ketika Eren melihat ada nenek-nenek duduk terdiam di kursi belakang mobilnya. Tentu bukan nenek-nenek biasa karena saat Eren melihat dari spion tengah mobil Bono, ada bekas jeratan tali pada leher nenek-nenek itu, lengkap dengan lidah dan mulut yang terjulur. Visual khas yang dia lihat dari korban tewas gantung diri.

Belum lagi ketika menemui Charles dan Gunawan saat makan siang di sebuah cafe kemarin sore, Eren sampai berdebat dengan pengelolanya saat dia ke kamar mandi dan menemui sepasang pelayan terdiam di lorong. Lagi-lagi bayangan kedua pelayan di pantulan cermin ujung lorong itu, memperlihatkan mereka dalam balutan seragam sangat kotor dan bagian-bagian tubuh dengan luka bakar mengerikan.

Namun dari semua tempat dia melihat sosok-sosok tak biasa itu, jelas yang paling sering membuatnya kaget adalah di rumah sakit. Saat mengunjungi Tiara di bangsal kesehatan mental, Eren berulang kali berjumpa manusia-manusia dengan pantulan berbeda saat dilihat lewat cermin.

Ada yang pasien perempuan dengan perut penuh darah di dekat ruang operasi persalinan, anak kecil kurus kering atau balita dengan sekujur tubuh memiliki luka lebam di depan ruangan PICU, lelaki muda dengan perut besar berjalan di lorong lantai tujuh, Ibu-Ibu berjilbab dengan mata mendelik seperti layaknya korban kematian gagal jantung, hingga banyak orang-orang dengan tubuh penuh luka yang sangat mengerikan dilihat di area ICU.

Bagi Eren, kunjungan ke rumah sakit saat ini akan membuatnya terkena serangan jantung. Dia bahkan mengalami kecemasan berlebih setiap kali melihat bayangan orang lain di cermin, sampai bayangannya sendiri.

“Kau tidak ingin periksa ke psikiater? Soal, ehm, penglihatan-penglihatan anehmu itu?”

“Aku tidak gila ya, Bon,”

“Tapi kau juga tidak bisa dibilang normal karena melihat hantu,”

“Mereka bukan hantu,” potong Eren pendek sambil menyantap mie pesanannya.

“Berapa kali sudah kubilang, kau itu bisa melihat hantu! Kau tidak ingat waktu bilang ada nenek-nenek di mobilku? Nenek-nenek yang di lehernya ada luka bekas terjerat tali? Kau bilang itu nenek-nenek berambut sebahu dan pakai baju merah? Itu adalah korban gantung diri di Ulujami yang memang kubawa dengan mobilku karena ambulans terjebak macet, dan dia tewasnya di mobilku!!!” raung Bono.

Eren berpura-pura tidak mendengar dan terus menyantap makan siangnya. Sembilan hari sejak kecelakaan, Eren memang masih belum kembali bekerja karena pihak kepolisian memberikan Eren cuti cuma-cuma selama dua bulan, agar fokus ke penyembuhan pasca operasi bedah kepala. Di mana cuti itu menurut Bono adalah usaha Kombes Lubis menghalangi Eren mengejar Andre.

“Bon, kau tahu kan kalau aku adalah orang terpelajar? Aku menyembah ilmu Fisika kalau boleh kubilang. Jadi aku sama sekali tidak percaya dengan hantu, atau hal-hal lain yang tidak terlihat,”

Bono mengangguk sedikit kesal. “Tapi kau tidak menemukan jawaban atas hantu-hantu, maksudku ‘mereka’ itu, kan? Hanya kau yang melihatnya!”

Eren diam mendengar ucapan Bono. Dia sebetulnya juga kesal dengan berbagai hal tak masuk akal yang kini dia lihat, tapi sama sekali tak menemukan jawaban lain atas kondisinya selain ‘mereka’ adalah hantu. Eren bahkan benci dianggap dan dipandang gila oleh banyak orang, karena dia yang seringkali mendadak melihat atau berbicara dengan sosok-sosok tak terlihat itu.

Bahkan Dewi, Charles, dan Gunawan menjadi saksi bagaimana Eren berkata kalau melihat seorang polisi di dalam ruang interogasi yang kosong. Sampai akhirnya Eren tahu kalau polisi aneh itu memiliki pisau yang tertancap di leher penuh darah saat menatap bayangannya di cermin ruangan, sehingga dia menyimpulkan kalau memang hanya dia yang bisa melihatnya. Hal itu membuat Eren sadar kalau ketiga rekannya itu menatapnya dengan frustasi, seolah dirinya tengah mengalami gangguan mental.

“Aku dan Dewi tadi malam bertemu dengan Kombes Lubis, sejak kau kecelakaan dia begitu sering ke Polda. Dan kau tahu apa yang dia katakan?”

Eren menatap Bono penuh tanya.

“Ada rencana untuk memindahkanmu ke Mabes Polri, setelah kau kembali bekerja nanti,”

“Apa?”

Bono mengangguk paham. “Dia bahkan bilang kalau Wakapolda tertarik memberikanmu posisi di Hubinter setelah melihat kau lulusan kampus luar negeri, termasuk pertimbangan menaikkan jabatanmu dari Iptu ke AKP, kalau kau bersedia,”

“Mereka sudah gila,”

“Aku tahu, aku dan Dewi juga mengatakan itu saat kami pulang. Kurasa keluarga Danuatmadja sendiri yang menekan Wakapolda untuk menjinakkan dirimu, lagipula...”

“Lagipula apa?”

Bono menghela napas dalam-dalam, tampak dia memikirkan sesuatu sebelum berbicara. “Sepertinya ulahmu saat melihat hantu di rumah sakit dan waktu ke kantor beberapa hari lalu, ada yang melaporkan. Aku curiga dengan Kompol Yudi, karena dia selalu ikut mengunjungimu ke rumah sakit serta ada di kantor saat kau tiba,”

“Apa maksudmu? Katakan dengan jelas,”

“Kurasa Kompol Yudi melaporkan keanehanmu ke Brigjen Setyo, kau tahu kan mereka cukup dekat? Dia sepertinya berpikir kau mengalami masalah mental karena kau melihat hal-hal aneh. Dan itu jadi alasan untuk menjauhkanmu dari operasi lapangan, atau setidaknya menghalangimu melakukan investigasi kasus. Dengan berada di Hubinter, dia bisa menahanmu di Mabes Polri atau mengirimmu bertugas ke luar negeri dalam waktu lama,”

Eren melempar sumpitnya ke mangkok yang sudah kosong dengan cukup keras. Beberapa orang di resto tampak kaget sambil memandangnya sebal, tapi Bono sangat paham kalau sahabat dekatnya ini tengah sangat kesal.

“Ini semua pasti ulah Andre Danuatmadja!” bisik Eren menahan emosi.

Bono mengangguk setuju. “Sudah kubilang, lawanmu kali ini sangat berat. Kau harus berhati-hati, Ren. Institusi polisi sudah berada di bawah kekuasan mereka,”

Eren balik menatap Bono dengan tajam. “Kau sudah menemukan Luna?”

Bono menggeleng. “Gunawan sudah mencoba meretas semua akun media sosial yang dicurigai milik Luna, tapi semua nihil. Dia benar-benar lenyap sejak malam itu. Aku diam-diam meminta beberapa Bintara kepercayaanku untuk mencari di kantor-kantor media, tapi belum ada hasil seminggu ini,”

Eren diam menatap cangkir latte di depannya, tampak berpikir keras dan juga merasa frustasi. Ada sedikit rasa kesal yang menggeliat di dadanya, tentang hilangnya Luna padahal dia sangat membutuhkan gadis itu. Andai saja Luna bisa ditemukan, seluruh bukti yang selama ini dia simpan akan memperkuat usahanya untuk menjerat Andre ke ranah hukum.

Apakah gadis itu ditangkap oleh Andre? Tidak. Hanya ada Tiara di sana. Bahkan ketika rombongan Andre pergi, tak ada yang terlihat membawa seseorang. Kurasa aku harus meminta Bono untuk melakukan penyelidikan ulang di TKP, si brengsek itu saja bisa menghapus jejaknya dengan mudah. Menghilangkan keberadaan seorang perempuan jelas bukan hal sulit baginya.

Sembari mengendarai mobilnya yang sudah selesai diperbaiki di bengkel, Eren terus berkutat dengan pikirannya. Ada banyak kecemasan yang berputar di kepalanya, mulai dari kondisi Tiara hingga keberadaan Luna. Ada untungnya dia memperoleh cuti dari kepolisian, karena dengan begitu dirinya bisa fokus untuk menjaga Luna.

Setelah empat hari dirawat di ruangan biasa, Tiara akhirya dipindahkan ke paviliun kejiwaan dan ditangani oleh psikiater secara ketat. Tiara memang sudah didiagnosa mengalami depresi akibat trauma hebat yang dia alami. Sejak tiga hari terakhir ini, Tiara lebih tenang dan bisa bercerita dengan Eren atau dokternya meskipun sesekali dia terus menangis. Bagi Eren, perubahan ini adalah sesuatu yang baik karena dia masih ingat saat mengunjungi adiknya untuk kali pertama saat sadar, Tiara berteriak histeris dan begitu takut melihat laki-laki.

Bono, Charles, dan Gunawan saja sampai tidak diperbolehkan masuk ke ruangan termasuk dokter dan perawat laki-laki, karena sepertinya Tiara mengalami trauma bertemu dengan pria. Hanya Eren yang dia perbolehkan masuk, meskipun awalnya adiknya itu sama sekali tak berani menatapnya. Eren hanya bisa menahan sesak di dada saat mengetahui kondisi mental Tiara saat ini, sekaligus merasakan amarah yang sangat besar atas apa yang sudah diperbuat Andre.

 “Abang pasti mau bertanya soal dia, kan?”

Eren mengangkat kepalanya dan menatap adiknya yang sudah setengah terduduk di ranjang rumah sakitnya. “Kau tidak apa-apa?”

Tiara membuang pandangannya. Eren tahu kalau Tiara masih terlihat begitu trauma, bahkan seolah ingin melupakan peristiwa mengerikan yang dia alami saat itu. Sebuah alasan kuat kenapa Eren hingga sepuluh hari adiknya dirawat, enggan mengungkit dan tidak mengizinkan kepolisian menginterogasinya. Eren memilih untuk membiarkan Tiara sendiri yang lebih dulu bercerita, karena itu artinya dia sudah benar-benar siap untuk mengingat kejadian tersebut.

“Dia sangat baik, pada awalnya. Benar-benar sopan luar biasa dan...” Tiara mengepalkan jemari tangannya yang bergetar. “Sangat romantis juga perhatian,”

Eren menutup buku Criminal Profiling karya Brent E Turvey yang sudah dia baca beberapa waktu ini, setiap kali menemani Tiara. Dia memperhatikan kalau Tiara mulai gugup.

“Tapi malam itu, dia berubah. Aku benar-benar tidak mengenalinya, Waktu kami ke mobil, dia memaksaku terus. Dia...” suara Tiara kembali terhenti karena dia menahan tangis, Eren berjalan mendekatinya. “Aku memang bodoh, bang. Benar-benar bodoh! Dia memukulku dan kemudian aku tidak sadar. Yang kutahu, yang kutahu...” tangisan Tiara langsung pecah.

Eren perlahan memegang kedua tangan Tiara yang terkepal. Tangan adiknya itu terasa bergetar dan berkeringat dingin. Eren merasa dia tak berguna dan begitu tersiksa melihat penderitaan yang dialami oleh Tiara.

“Dia merekamku dan terus tertawa. Dia... Bang, dia benar-benar monster! Laki-laki itu sangat mengerikan!!!” raung Tiara sambil terus menangis. Eren langsung memeluk Tiara dan membiarkannya histeris di pelukannya. Setiap kali suara isakan Tiara terdengar, Eren merasa ada yang mencabik dadanya dengan begitu menyakitkan.

Rupanya raungan Tiara membuat perawat dan dokter di paviliun langsung masuk. Namun saat melihat Eren sedang menenangkan adiknya, para tenaga medis itu langsung berlalu pergi dengan sopan. Dalam kondisi saat ini, Eren merasa kalau dirinya benar-benar tidak berguna. Dia merasa statusnya sebagai Perwira polisi sangat memalukan karena tak mampu melindungi adiknya.

Hampir sepuluh menit lamanya Tiara menangis. Meskipun kondisinya sudah berangsur membaik, Eren tahu kalau mental Tiara benar-benar telah terkoyak. Dia lalu merapikan rambut panjang adiknya yang kini sudah begitu kusut dan tak terawat. Wajah cantik Tiara pun masih tampak begitu pucat dan tirus karena selera makan Tiara menurun drastis. Lantaran dokter tak ingin Tiara mengalami dehidrasi akibat kurang asupan cairan, dia hingga hari kesepuluh dirawat saat ini masih menerima infus.

“Aku akan menangkapnya, aku berjanji padamu. Akan kubuat dia benar-benar menyesal dengan perbuatannya. Si brengsek itu, tak akan kulepaskan,” jelas Eren lembut sambil mengusap air mata yang tersisa di wajah Tiara.

Tiara mengangguk pelan, dia tampak begitu lega. Setidaknya dalam kegelapan yang dia alami saat ini, dia memiliki seorang kakak yang bisa diandalkan. Tiara menatap Eren di hadapannya. Sejak dulu, kakaknya itu memang selalu punya cara untuk membuatnya tenang. Mulai dari kematian Ayahnya, kematian Ibunya, bahkan musibah yang dia alami saat ini, Eren selalu ada di hadapannya. Seperti sebuah tembok yang begitu kokoh, seperti itulah sosok Eren baginya.

Dalam hati, Tiara merasa begitu menyesal. Dia sudah memiliki contoh laki-laki yang begitu sempurna di hadapannya, tapi kenapa dia bisa jatuh terpikat pada monster seperti Andre? Rasanya dia ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga jika mengingat apa yang diperlakukan Andre malam itu. Namun setiap kali melihat tatapan Eren yang tulus padanya, keinginan Tiara untuk hidup dan bangkit lagi semakin kuat.

Lihat selengkapnya