saṃsāra

Arai Amelya
Chapter #7

Perempuan yang Jadi Awal dari Segalanya

“Rumah orangtuanya ada di Bojongsari, tapi Luna memilih tinggal di sebuah kamar kos daerah Cilandak supaya dekat dengan kantor. Sejak dia mengirim surat resign tiba-tiba, aku beberapa kali ke Cilandak tapi kamar kos itu sepertinya sudah ditinggal oleh Luna sejak dia menghilang. Aku belum sempat pergi ke Depok karena di pagi hari dia menghilang, Luna mengirimkan pesan padaku untuk menunggu dia kembali.”

Kata-kata Rian itu kembali terngiang di benak Eren saat dia sedang menelusuri wilayah Bojongsari sore ini. Meskipun sudah berangkat dari Jakarta sejak tadi pagi, Eren bahkan belum menemukan rumah Luna karena Rian memberinya petunjuk sangat sedikit.

“Dalam informasi karyawan, Luna hanya menyebutkan kamar kosnya di Cilandak sebagai alamat utama. Aku sudah mengenalnya sejak kami menjadi pegawai empat tahun lalu, tapi Luna tak pernah memberitahuku di mana tepatnya rumah keluarganya. Dia hanya pernah sekali keceplosan bilang kalau rumah orangtuanya di Panorama Residence. Tapi aku belum pernah mengecek ke sana.”

Eren mendengus sebal. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan rumah Luna dengan informasi seperti itu? Buktinya dia sudah hampir lima jam berkeliling Panorama Residence, sama sekali tak menemukan tanda-tanda Luna. Setidaknya ada tiga blok besar di kawasan ini dengan setiap blok memiliki 150-200 unit rumah.

Eren menghentikan mobilnya, dia merasa sungguh lelah. Mencari keberadaan Luna bahkan jauh lebih menyulitkan daripada menangkap bos narkoba atau pembunuh berantai. Beruntung baginya, Rian mengirimkan foto Luna sehingga Eren akhirnya tahu seperti apa paras perempuan yang tengah dia cari.

Dari foto yang diberikan oleh Rian, Eren bisa menebak kalau Luna adalah perempuan yang cukup ceria. Gadis itu memiliki rambut lurus sebahu yang tampaknya cukup sering diikat sekenanya, sehingga acak-acakan. Tubuhnya tak terlalu tinggi karena dalam foto yang bersanding dengan Rian, Luna hanyalah sebahu lelaki tersebut sedangkan dirinya dan Rian punya tubuh yang relatif sama, sekalipun Eren memang sedikit lebih tinggi.

Dalam foto itu, Rian tampak tersenyum kecil dan Luna berpose dengan membuat simbol angka dua pada kedua tangannya yang diletakkan di samping kepala Rian. Wajah Luna terlihat begitu jenaka dengan tawa lebarnya, sangat berbeda dengan tulisan-tulisannya di thread yang terkesan serius. Eren bahkan mengira kalau Luna sebetulnya lebih tua daripada dirinya, ternyata gadis itu hanya dua tahun lebih muda darinya.

“Kalau kau memang bisa dipercaya, kuharap kau bisa segera menemukan Luna dan melindunginya. Apa yang terjadi pada kakaknya, membuat dia sama sekali tak percaya lagi dengan polisi,”

Eren kembali teringat pada kalimat Rian dan membuatnya termenung sejenak. Mengingat apa yang dialami oleh Nada sebagai korban pertama Andre, Eren tak menyalahkan kalau Luna akan jauh lebih sulit mempercayainya kelak saat mereka bertemu. Namun Eren tak peduli hal itu karena saat ini yang menjadi fokusnya adalah menemukan Luna secepat mungkin, mengambil semua bukti kejahatan Andre dan menjebloskan si brengsek itu ke penjara.

“Kalau seperti ini, mungkin sampai setahun aku tak akan menemukan Luna...”

Eren menghembuskan napasnya panjang, tampak sangat lelah. Dia bahkan tak tahu apakah jalur yang dia tempuh saat ini hanya berputar atau justru tersesat di wiayah perumahan yang sangat luas ini. Beberapa kali dia sudah bertanya ke penduduk setempat, penjual makanan keliling, hingga petugas RT atau RW, tapi sama sekali tak pernah mengenal Luna. Bahkan saat Eren menunjukkan foto Luna, mereka mengaku tak pernah bertemu.

“Hhhh, Luna... kau di mana? Apa kau benar tinggal di perumahan ini?”

Eren menoleh ke kanan dan ke kiri bergantian, mencoba menemukan petunjuk lagi. Dia lalu melirik jam digital di dashboard mobilnya, sudah pukull 17.15 WIB. Sebentar lagi wilayah ini akan gelap dan sepertinya tidak akan efektif. Mau tak mau Eren harus mencari penginapan di sekitar Depok, karena dia berniat berada di wilayah ini hingga menemukan Luna.

Perlahan Eren memutar kemudinya ke arah kiri untuk berbelok, sampai akhirnya dia menginjak pedal rem dengan cepat. Eren melihat Ibu dan anak berjalan menyeberang di depannya, tapi kedua orang itu hanya memandang lurus ke depan padahal mereka sedang bergandengan tangan. Sungguh aneh sekali karena seharunya anak kecil akan bertingkah ceria.

Seolah tahu kalau dua sosok yang dia lihat itu bukanlah manusia, Eren menunggu mereka menyeberang sampai berjalan ke bagian samping mobilnya. Melalui kaca spion di sebelah kanan, apa yang dicemaskan Eren pun terbukti. Dalam pantulan di kaca spion mobilnya, Eren melihat sosok Ibu dan anak tersebut dipenuhi darah mulai dari kepala, tangan hingga kaki. Bahkan bagian kaki mereka tampak hancur, seolah-olah dilindas oleh sesuatu.

Kurasa aku bisa benar-benar gila kalau harus melihat hantu terus-menerus.

Eren berbicara dalam hati sambil memejamkan salah satu matanya. Saat mata itu dibuka, sosok kasat mata itu sudah hilang entah ke mana.

Berbeda dengan 12 hari lalu saat dia pertama kali sadar bisa melihat mereka, Eren saat ini mulai berdamai dengan kemampuan barunya. Dia memilih untuk menyimpan rapat-rapat kenyataan kalau dia bisa melihat hantu, karena tak ingin mata-mata di kepolisian mencari-cari alasan untuk membuatnya pergi dari Polda Metro Jaya. Meskipun begitu, Eren masih belum terbiasa dengan kemunculan para hantu itu, apalagi saat melihat bayangan mengerikan mereka di pantulan cermin. Di mana menurut Eren, bayangan di cermin itu adalah penampilan terakhir mereka sebelum nyawa terenggut.

Eren kembali menarik napas dalam-dalam. Meskipun coba berpikir positif dan tak terlalu mempedulikan para hantu itu, dia tetap saja tak terbiasa. Eren kembali menginjak rem gas dan membuat mobilnya melaju, sampai lagi-lagi ada satu sosok yang sangat dia kenal muncul.

Duduk di teras sebuah rumah berpagar hitam dengan tembok dominan putih yang bagian terasnya dipenuhi tumbuhan, Eren melihat Luna. Tak butuh waktu lama baginya, Eren langsung menghentikan mobilnya dan keluar dengan sedikit terburu-buru. Secara kasar, Eren membuka pagar pintu Luna yang membuat gadis itu tersadar dan tampak waspada.

“Luna! Kau Luna, kan?” tanya Eren penuh semangat.

Luna diam dan menatapnya dengan sangat cemas. Dia seolah-olah ingin kabur dari tempat itu.

“Akhirnya! Akhirnya aku menemukanmu!!!” lanjut Eren dengan tawa yang tersungging lebar di wajah tampannya.

Berbeda dengan Eren yang begitu senang, Luna tampak ketakutan. Dia terlihat gelisah dan memundurkan langkahnya, menjauh dari Eren.

“Sori aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Eren. Eren Samudera Wiryawan. Aku adalah seorang polisi di Polda Metro Jaya!” Eren menyodorkan tangannya ke arah Luna, tapi Luna masih waspada dan menatap Eren begitu khawatir.

Eren menangkap kecemasan yang diperlihatkan oleh Luna. Dia lalu mengingat ucapat Rian yang mengatakan kalau mungkin saja saat ini Luna sedang bersembunyi sehingga dia akan sangat sulit percaya dengan orang lain.

“Maaf, aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya, aku hanya benar-benar senang bisa bertemu denganmu sekarang! Tenang saja, kau aman bersamaku,”

Luna masih menatap Eren dengan tajam, tampak sedag menimbang sesuatu. Eren melangkah mendekat, tapi Luna kemudian kaget dan malah mundur beberapa langkah. Eren memilih diam di tempatnya berada, lalu dia mengeluarkan kartu pengenal bahwa dia adalah anggota Polri. Bisa bertemu langsung dengan seseorang yang dalam beberapa waktu ini memenuhi pikirannya, Eren memang merasa luar biasa lega. Apalagi saat dilihat langsung, Luna ternyata cukup menarik.

“Bagaimana kau bisa ke sini? Bagaimana kau bisa mengenaliku?” untuk kali pertama, gadis itu berbicara setelah menatap kartu-kartu tanda pengenal yang disodorkan oleh Eren di meja.

“Aku pergi ke kantormu, panjang ceritanya bagaimana aku bisa tahu di mana kau bekerja. Yang pasti rekan kerjamu, Rian, dia yang memberitahu kalau rumah keluargamu ada di Depok, serta memberikan fotomu. Aku hampir menyerah tadi, apalagi aku habis melihat hant,- maksudku, aku hampir menyerah karena aku sudah berputar di wilayah ini sejak siang,” tambah Eren cepat-cepat. Dia tak mau Luna semakin tak percaya padanya kalau dia mengaku bisa melihat hantu.

“Ada urusan apa kau ke sini? Kenapa kau mencariku?”

“Aku membutuhkanmu, Luna,”

Luna menatap Eren penasaran. Kedua matanya bertumbukan pandang pada sepasang mata Eren yang kecil namun tajam itu.

“Aku adalah kakak dari Tiara. Tiara Siren Wiryawan. Kau pasti tahu dia, kan?”

Sepasang mata Luna tampak membulat dan makin besar, dia tampak kaget mendengarnya.

“Kurasa kau juga tahu, kalau adikku itu menjadi korban dari Andre Danuatmadja,”

“PERGI! PERGILAH! KAU HARUS PERGI SEKARANG!!!” teriak Luna tiba-tiba. Eren bisa menangkap ketakutan di wajahnya, terutama saat dia mengucapkan nama Andre.

“Apa maksudmu?”

“PERGI!! Aku tidak kenal dengan adikmu! Aku juga tidak ada hubungan dengan Andr, maksudku, dengan laki-laki itu! Aku baru pertama kali ini mendengar namanya! PERGI! PERGI TINGGALKAN AKU!!!” sembur Luna lagi sambil berjalan masuk menuju rumahnya. Eren yang menyadari kalau gadis itu akan pergi, langsung berlari mendekatinya tapi terlambat, Luna sudah mengunci pintu rumahnya.

“Luna! Luna tunggu, aku mohon dengarkan penjelasanku. Luna aku tahu kau mengenal adikku dengan baik. Kau juga tak bisa berpura-pura tidak mengenal Andre!” teriak Eren di depan pintu setelah berulang kali memukulnya.

Di balik pintu, Luna bisa merasakan ketakutan menjalari tubuhnya saat mendengar nama Andre disebut. Dia masih ingat dengan betul apa yang terjadi malam itu, seolah kejadian itu baru dia alami beberapa jam lalu. Tak heran kalau Luna merasa tubuhnya bergetar hebat, seolah mengingat bagaimana kengeriannya.

“Aku tak menyalahkanmu yang bersembunyi di rumah keluargamu, tapi setidaknya bisakah kau kasihan adikku? Aku bahkan tak tahu kapan dia bisa pulang dan kembali ke rumah. Laki-laki itu, si brengsek itu menghancurkan hidup Tiara. Adikku mengalami depresi berat dan harus dirawat di bangsal kejiwaan sejak malam itu,” jelas Eren panjang lebar.

Luna diam mendengarkannya. Dia masih ingat dengan jelas apa yang dialami oleh Tiara saat itu, karena dia memang ada di lokasi tersebut. Teriakan dan rintihan Tiara bahkan masih terus dia dengar setiap malam, seolah-olah ingatan itu selalu memaksanya kembali ke peristiwa tersebut.

“Aku mohon Luna... hanya kau yang bisa membantuku. Tolong aku, maksudku... tolong adikku...”

Luna menggertakkan giginya, hatinya begitu bimbang. Dia sangat ingin membantu tapi dia terlalu ketakutan untuk kembali terlibat dengan urusan Andre.

“Tak ada yang bisa kubantu. Tak ada yang bisa kau dapatkan dariku. Pergilah...” ucap Luna lirih setelah beberapa waktu terdiam.

Luna bisa mendengar tubuh Eren melorot di depan pintu rumahnya. Di balik pintu itu, Luna juga terduduk menyandarkan tubuhnya sehingga seolah-olah mereka berdua saling berpunggungan, tapi terhalang oleh pintu. Menit terus berganti menit, jam terus berganti jam, membuat Luna menyadari kalau Eren tetap ada di tempatnya dan tak pergi hingga pagi tiba.

Apa aku harus keluar? Apa aku harus mengusirnya? Tapi bagaimana aku melakukannya?

Luna menggerutu dalam hati, berharap agar Eren sesegera mungkin meninggalkan rumahnya. Namun ternyata laki-laki itu jauh lebih keras kepala dari yang dia pikirkan karena sama sekali enggan pergi. Eren bahkan tak peduli saat beberapa tetangga lewat di depan rumah Luna dan menatapnya dengan heran. Bagaimana mungkin tidak heran, karena dia sudah hampir 24 jam tetap duduk di depan pintu rumah Luna.

Aku harus membuatnya bersedia menolongku. Kalau perlu, akan kuseret dia untuk menemui Tiara supaya berubah pikiran...

Eren berpikir keras dalam pikirannya, meskipun sebetulnya dia bukanlah tipe orang yang suka memaksa, tapi sepertinya kali ini dia harus melakukannya. Di dalam hati, Eren sangat memahami keputusan Luna karena sudah pasti gadis itu ketakutan. Dia bisa saja menjadi korban seperti Tiara, atau mungkin jadi lebih parah. Sehingga ketika dia berhasil kabur dari Andre, dia jelas tak mau lagi dilibatkan.

Namun Luna hanya satu-satunya orang yang bisa membantu dirinya menyelesaikan kasus ini.

Eren melirik lampu jalanan yang sudah menyala, ternyata sudah petang lagi. Dia lalu menarik ponsel di sakunya, mengaktifkan layar dan menghubungi ponsel Bono. Di nada panggilan ketiga, Bono menerima panggilan itu.

“Bon, bagaimana Tiara? Apa dia baik-baik saja? Aah, dia kembali histeris? Maaf ya, kau dan Dewi harus menemaninya lagi malam ini. Kurasa aku belum bisa kembali ke Jakarta, engg, ada sedikit masalah. Ya, aku sudah menemukannya, tapi sepertinya sedikit sulit. Kuusahakan untuk kembali secepatnya,” ujar Eren sambil menelepon.

Luna mendengarkan pembicaraan itu dari balik pintu, ada sedikit perasaan bersalah yang dia rasakan. Tapi karena dia sudah bertekad untuk tidak lagi terlibat urusan dengan Andre, Luna langsung buru-buru berdiri dan beralih pergi. Eren mendengarkan jejak langkah Luna yang menjauh, dia lalu menarik napas panjang.

Waktu terus berlalu, baik Eren dan Luna sejatinya sama-sama saling berkutat dengan pikiran masing-masing. Eren yang mencari cara untuk meluluhkan hati Luna, sedangkan Luna mencoba sekeras mungkin mengacuhkan laki-laki di depan pintu rumahnya itu, meskipun hatinya seolah ingin melakukan yang sebaliknya.

CTARRRRRRRRR!

Suara petir yang menyambar setelah kilatan cahaya membuat Luna yang kini berada di ruang tamu rumahnya, menjadi kaget. Dia lalu mulai mendengar suara air hujan di luar yang semakin lama semakin deras. Di depan pintu Eren mencoba semakin merapatkan tubuhnya supaya tidak terkena cipratan air hujan. Dia juga kemudian berlari ke dalam mobilnya sesaat untuk kemudian kembali lagi ke depan pintu rumah Luna sambil membawa jaket yang dia pakai.

Tanpa disadari oleh Eren, Luna ternyata diam-diam mengamatinya dari jendela. Terlihat betul kalau wajah Luna begitu merasa bersalah.

Berpikir kalau Eren akan menyerah sepertinya adalah hal yang sia-sia. Karena ketika Luna mendekati daun pintunya, dia masih mendengar suara Eren yang tampak terbatuk-batuk dan bersin. Luna melirik jam di tembok ruang tamunya, sudah menunjukkan pukul 22.10 WIB.

Dasar bodoh. Kenapa dia masih ada di depan pintu ini? Apa dia tidak cemas bisa terkena flu?

Luna merasa sedikit sebal, lalu dia berdiri dan mencoba acuh lalu berjalan. Namun kemudian langkah kakinya terhenti.

Dia bahkan belum makan sejak kemarin. Dia hanya minum air mineral. Apakah semua polisi sebodoh laki-laki ini?

Lihat selengkapnya