saṃsāra

Arai Amelya
Chapter #10

Perasaan yang Mengalir ke Samudera

“Kalian tidak perlu ikut lagi denganku. Aku akan menangkapnya sendiri. Aku sudah meminta bantuan Rian, untuk mengunggah semua bukti yang dimiliki Luna malam ini. Aku baru tahu kalau dia pengelola akun gosip yang sangat viral di Instagram itu,” buka Eren sambil tersenyum.

Namun tidak dengan keempat rekannya yang duduk di depannya.

Bono, Charles, Dewi, dan Gunawan tampak benar-benar merasa bersalah.

Eren mengela napas panjang, dia sangat memaklumi kalau cepat atau lambat ini akan terjadi. Sejak gertakan yang dia lakukan kepada Andre di Menjiwa Health Care satu pekan lalu, Eren paham kalau hanya tinggal menunggu waktu sampai monster itu menggunakan kekuasaannya untuk menekan para petinggi Polri.

Terbukti, keempat rekannya itu dipanggil oleh Brigjen Setyo kemarin sore. Ancaman yang diterima pun sama, harus menghentikan seluruh penyelidikan yang melibatkan Andre dan tidak terlibat dalam aksi ‘main hakim’ yang dipimpin Eren, atau mereka berempat akan dipecat secara tidak hormat dari institusi Polri.

Eren melirik Charles dan Gunawan yang tampak menunduk. Kedua Bintara yang berasal dari Pulau Rote dan Banjarmasin ini sama seperti banyaknya anak-anak muda Indonesia lain, memilih jadi polisi demi menaikkan derajat orangtuanya. Orangtua Gunawan yang menjadi transmigran bahkan sampai menjual sawah warisan mereka di Jember, demi putra kesayangannya itu masuk Akpol.

Tak berbeda jauh, Charles yang memiliki seorang Ibu sakit-sakitan dan ketiga adik yang semua biaya sekolah dia tanggung, memang menjadikan profesinya sebagai polisi adalah upaya mengubah masa depan keluarganya. Sedangkan Dewi, Eren tahu betul kalau perempuan tegas itu menjadi polisi demi mewujudkan mimpi mendiang Ibunya yang sejak kecil dan seumur hidupnya ingin jadi Polwan.

Mungkin dari ketiga temannya, Bono bisa dibilang yang paling tidak memiliki pertaruhan besar sebagai polisi. Laki-laki humoris itu hanya menganggap kalau profesi polisi akan membuatnya mudah memperoleh pasangan, karena polisi adalah pekerjaan idaman calon menantu di Indonesia ini.

“Kau sendiri? Brigjen Setyo pasti juga menekanmu, kan? Dia mengambil semua akses fasilitas alat pertahanan dan penyelidikan darimu? Kudengar, kalau kau masih ngotot, kau akan dipecat langsung secara tidak hormat...” Bono mulai angkat suara.

Eren menggeleng santai sambil mengangkat bahu. “Aku tidak peduli. Aku bahkan tak ambil pusing kalau mereka memecatku atau tidak, karena aku tak akan bisa menganggap diriku sebagai polisi, kalau aku bahkan tak bisa memberikan keadilan bagi adikku...”

Keempat rekannya langsung menatap Eren dengan serba salah. Tapi Eren memilih melamun. Pikirannya melayang ke hari di mana Ibunya, Deryati, meninggal dunia setelah hampir satu tahun berjuang melawan kanker getah bening dengan kemoterapi. Eren masih ingat tatapan yang diberikan oleh Ibunya yang sudah semakin lemah itu.

“Maafkan Ibu ya, Eren. Maafkan Ayahmu juga. Kami tidak bisa menemani kalian sampai dewasa. Maaf juga harus memintamu menjaga Tiara. Maaf, maaf. Orangtua macam apa yang meninggalkan anaknya yang masih kecil seperti ini...” isak Deryati dengan napas tersengal.

Eren menggenggam erat jemari tangan Ibunya yang sudah semakin dingin, matanya sudah semakin basah oleh air matanya sendiri.

“Ibu percaya pada dirimu. Kau adalah anak yang sangat kami banggakan. Ayahmu selalu ingin kau menjadi polisi yang lebih hebat daripada dirinya, supaya bisa menjaga Tiara. Tapi bagi Ibu, kau bebas memilih jalanmu sendiri. Ibu percaya padamu. Tak masalah apapun itu, karena Ibu sangat berterima kasih kau sudah lahir sebagai putraku...”

Tangisan Eren kembali pecah. Dia lalu terisak dipelukan Ibunya. Deryati mengecup kepala anak sulungnya itu dengan senang sambil bergumam dalam hati, Hendra...anak kita pasti akan menjadi pria yang luar biasa seperti mimpi kita selama ini... Kemudian dengan sebuah tarikan napas yang begitu panjang, perlahan kehidupan direnggut dengan begitu lembut dari Deryati.

“Aku akan tetap ikut denganmu,”

Ucapan Bono menarik Eren dari ingatan kematian Ibunya, mengembalikan kesadarannya ke saat ini. Eren mencoba mengulang kalimat itu di pikirannya sambil menatap Bono kaget dan tak percaya.

Bono mengangguk cepat-cepat, seolah menguatkan keyakinannya. “Polisi profesi menantu idaman? Hah! Masih banyak yang lain, iya kan? Kalau aku dipecat, aku bakal jadi vlogger di Instagram, TikTok, YouTube? Aku akan punya banyak pengikut. Aku bakal lebih sukses dari Raffi Ahmad!”

Eren menatapnya sambil tersenyum geli.

“Baik kalau begitu aku juga! Buatku, bang Eren adalah idola sepanjang zaman. Kalau Abang memintaku ke kanan, aku akan ke kanan. Abang menyuruhku lari, aku akan lari. Dan kalau Abang dipecat, aku juga akan ikut. Abang tenang saja, Dek Tiara bakalan aman bersamaku. Aku akan bekerja keras seumur hidup sebagai suaminya!” lanjut Charles mantap sambil tersenyum lebar.

Bono menatap Charles yang duduk di sampingnya dengan senang. Mereka berdua lalu saling berpelukan lega. Gunawan yang sedari tadi terlihat tegang di samping Charles seolah sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba bangkit untuk berdiri yang membuat semua orang di dalam ruangan menatapnya kaget.

“Aku juga! Aku akan tetap ikut bang Eren! Aku dulu menjadi polisi hanya karena gajinya, tapi bersama bang Eren, aku, aku belajar banyak. Aku belajar jadi manusia yang membanggakan!” jelas Gunawan dengan suara yang sedikit berteriak. Terasa betul dia seolah mengeluarkan beban yang selama ini dirasakan.

Charles dan Bono langsung menarik Gunawan ke dalam pelukannya. Eren tertawa kecil melihat kelakukan ketiga rekannya itu. Dia bahkan mengacak rambut Gunawan, orang yang paling muda dalam kelompoknya. Eren bahkan masih ingat saat Gunawan untuk kali pertama masuk dalam timnya, seorang Tantama muda yang sangat penakut bahkan begitu gemetar memegang pistol. Ketika dia berhasil melumpuhkan penjahat dengan menembak kaki kanannya, Gunawan bahkan tak bisa tidur seolah-olah dia habis membunuh.

“Aku tidak bisa. Aku tidak sebodoh kalian yang keluar dengan alasan konyol. Aku menjadi polisi dengan usaha yang sangat keras. Ada mimpi yang harus aku wujudkan,” ucapan Dewi kemudian membuat tawa yang ada di ruangan mendadak lenyap.

Eren melirik Dewi yang duduk di sampingnya. Dia bisa melihat kalau perempuan ini memang memiliki pendirian yang sangat tegas. Eren sangat memakluminya, bahkan dia mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada dalam situasi Dewi.

“Tapi, aku juga tak bisa menganggap diriku polisi kalau keadilan dipermainkan orang seperti Andre,” tambah Dewi sambil tersenyum menatap Eren. “Aku ikut denganmu, Eren. Kalau memang aku kehilangan pekerjaanku sebagai polisi, tak masalah. Aku akan lanjut sekolah hukum, menjadi jaksa atau hakim supaya tak ada lagi polisi di negeri ini yang mengalami hal-hal menjijikkan seperti kita,”

Eren membalas senyuman Dewi dengan tulus, dia lalu perlahan menepuk bahu kanan perempuan itu. Dewi tampak cukup salah tingkah yang membuat Bono tersenyum kecil. Bono tahu kalau perasaan Dewi kepada Eren masihlah sangat membara, tapi perempuan yang ada di depannya ini terlihat sangat besar hati dan lapang dada karena dia sudah paham jika Eren tak akan pernah memilihnya.

Eren mengangguk. Dia merasa ada getaran yang begitu hangat menjalari dadanya. Bersyukur karena telah dipertemukan dengan rekan-rekan kerja luar biasa.

“Baiklah. Polisi-polisi bodoh, teman-teman terbaikku,” Eren tersenyum menggoda yang membuat keempat rekannya tertawa. “Shall we begin? Aku sudah punya rencana yang sangat bagus untuk menangkap singa,”

Keempat rekan Eren langsung mengangguk antusias. Mereka tampaknya sudah tidak sabar untuk bisa menjebloskan dan membiarkan Andre membusuk di penjara. Rencana peringkusan yang dibuat oleh Eren sebetulnya sangat sederhana dan bisa dibilang banyak risiko, apalagi mereka hanya bekerja sebagai tim lima orang.

“Kau yakin kita bisa membawanya ke Metro Jaya? Dia pasti akan berontak meminta surat penangkapan dan karena kita berempat tak bisa membawanya, anak buahnya yang sebesar pesumo itu ak,-“

Eren mengangkat tangannya, membuat Bono berhenti bicara. Dia lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan mengeluarkan selembar kertas yang diletakkan di atas meja. Kertas itu ternyata merupakan dokumen surat penangkapan untuk Andre dan Yahya yang ditandatangani oleh Kepala Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Lubis Nasution.

“Kombes Lubis? Jadi, jadi dia?”

Eren mengangguk menatap Dewi yang tampak bingung dan takjub.

“Aku bertemu dengannya kemarin lusa, sebelum kalian dipanggil oleh Brigjen Setyo. Dia menyesal karena membuatku ada dalam situasi ini. Kombes Lub, maksudku, paman Lubis. Setyo mengancam paman Lubis menggunakan anaknya yang sedang ada di Akpol, si Sahat. Tapi Setyo tak tahu kalau Sahat yang sepertinya cukup mengagumiku, tak peduli jika dia dikeluarkan dari Akpol. Dia malah meminta Ayahnya untuk bersikap selayaknya polisi sejati,” cerita Eren panjang lebar.

“Ini benar-benar gila. Rencana ini tidak hanya akan jadi akhir dari Andre, tapi juga Yahya dan Brigjen Setyo!” Gunawan setengah berteriak setelah membaca dokumen-dokumen lain yang ada di amplop cokelat tersebut.

“Apa maksudmu?” tanya Charles bingung.

Gunawan langsung menjejerkan dokumen-dokumen yang tadi dibawa oleh Eren. Tak hanya kertas, ternyata juga ada sejumlah foto dan memory card. Ketiga rekannya bergantian membaca dokumen tersebut dan beberapa menit kemudian mereka tampak sangat marah.

“Memang sudah gila ini keluarga Danuatmadja!” raung Bono sampai meninju meja.

“Perdagangan narkoba? Bagaimana bisa Wakapolda Metro Jaya bisa terlibat hal itu?” Dewi masih menggeleng tak percaya, sambil membaca dokumen laporan keuangan yang selama ini disimpan rapat oleh Kombes Lubis.

“Lebih gila mana dengan Menkopolhukam yang menjual gadis-gadis di bawah umur lewat klub malam yang dia kelola diam-diam?! Aku berani bertaruh, pemberitaan media pasti akan runtuh setelah kasus ini semua terungkap!” lanjut Charles.

Eren mengangguk perlahan. Dia sebetulnya juga tak menyangka jika Lubis memiliki bukti-bukti tersebut. Rasanya seperti seorang pemancing yang ingin menangkap kakap putih, tapi justru menjaring marlin biru.

“Tapi Ren, Yahya dan Andre pasti akan menggunakan semua koneksinya untuk membuat publik tetap percaya dengan mereka. Sekalipun kita bisa memakai sumber daya polisi, tapi kit,-“

“Karena itu aku meminta Rian membantu kita,”

“Rian? Rian teman kerja Luna?”

Eren mengangguk menatap Dewi. “Aku sudah menyerahkan semua bukti yang disimpan Luna di flashdisk-nya waktu itu. Semua rekaman suara, foto, video, dan catatan-catatan lain, Rian akan membantu kita menyebarkannya ke banyak media. Media online atau media sosial. Aku bahkan baru tahu kalau dia mengelola akun anonim yang punya banyak pengikut militan di internet. Pengguna internet akan membicarakan skandal Danuatmadja dalam waktu lama.”

“Kau benar-benar punya rencana yang sangat sempurna, Eren Samudera Wiryawan...” Bono menatap Eren dengan takjub.

Eren tersenyum puas sambil menatap rekan-rekannya di ruangan itu. Benar kata Luna, mereka yang duduk di dekatnya ini lebih dari sekadar rekan kerja, tapi juga teman yang sangat luar biasa. Teman yang akan rela melakukan apapun, teman yang akan selalu percaya dan teman yang bersedia berjuang bersama.

Seperti seorang panglima perang yang siap maju di baris paling depan, kini tak ada lagi yang ditakuti oleh Eren. Karena dalam pertarungannya kali ini, ada Bono, Charles, Gunawan, dan Dewi bersamanya.

***

Sigit membuka pintu ruang kerja Andre yang terletak di lantai 13 gedung induk perusahaan Danuatmadja degan tergesa-gesa. Andre yang ada di alamnya sedang menatap laptop langsung meliriknya tajam, seolah tak suka dengan gangguan yang muncul hanya dalam waktu satu jam sejak dia tiba di kantor.

“Tuan, Tuan Andre, Anda harus segera pergi dari tempat ini,”

“Apa maksudmu?”

“Semua media memberitakannya. Aku tak tahu dari mana mereka mendapatkan bukti-bukti itu, karena aku yakin semua harusnya ikut lenyap bersama jurnalis itu,”

Andre berdiri tidak sabar, berjalan menuju TV LED dengan ukuran besar di bagian tengah ruangannya, mulai menyalakan TV.

Seperti kata Sigit, salah satu media berita nasional memasang fotonya dengan tajuk berita utama: ANDRE DANUATMADJA, PEMBUNUH DAN PEMERKOSA 6 PEREMPUAN. Andre mengganti TV itu dengan channel lain yang juga menampilkan headline news berjudul: PUTRA MENKOPOLHUKAM YAHYA DANUATMADJA, PREDATOR PEREMPUAN?. Masih tak percaya dengan apa yang dia lihat, Andre mengganti lagi dengan channel media berita lain yang tengah menampilkan rekaman suara Tiara saat dia perkosa, jelas sekali live report itu memasang judul: 6 KORBAN ANDRE DANUATMADJA, 1 ORANG BUNUH DIRI.

Emosi, Andre melempar remote TV itu ke arah layar monitor. Lantaran TV itu bergeming, Andre langsung mengambil guci keramik yang ada di atas meja dan melemparkannya ke TV yang juga ikut jatuh ke lantai, dalam kondisi pecah.

Tak lama kemudian ponsel Andre berdering, Andre bisa melihat nomor Ayahnya di sana.

“ANAK BRENGSEK!! BAJINGAN KAU BILANG SUDAH MENGURUSI SEMUANYA!! KAU MEMANG ANJING SEPERTI IBUMU!!!” Yahya meraung di seberang telepon yang membuat Andre semakin kesal dan langsung melempar ponsel mahalnya itu begitu saja ke lantai.

Lihat selengkapnya