Saat Sastra bilang bahwa tidak ada yang spesial dari Ashwin kecuali keteguhannya, Sastra mengatakan yang sebenarnya. Sama seperti yang lain, dulu Ashwin adalah mahasiswa baru yang bau-bau SMA nya belum benar-benar hilang. Anak itu manja, menanyakan banyak hal tentang bagaimana rasanya menjadi mahasiswa, dan mengeluh tidak percaya saat Sastra bercerita tentang tugas mahasiswa yang membabi-buta banyaknya.
Ashwin adalah sosok laki-laki manis yang mudah akrab dengan siapa saja. Sejak perjalanan bakti sosial mereka, Ashwin mulai lancar berbincang dengan Sastra. Pagi, siang, malam, berbalas pesan, lalu mengobrol singkat di akhir pekan. Pendekatan Ashwin berjalan semakin lancar begitu kegiatan akademik mulai benar-benar aktif. Ashwin semakin rajin menanyakan jadwal kuliah Sastra, menawarkan diri untuk menjemput, juga mengantar pulang. Lantas mengajak makan siang bersama begitu penawarannya satu-persatu ditolak oleh Sastra.
Tidak ada kata menyerah.
Di lain hari Ashwin akan tiba-tiba datang dengan sekantong penuh cemilan untuk Sastra dan teman-teman yang tengah sibuk mengerjakan tugas di gazebo depan fakultas mereka. Anak itu datang dalam diam, menyerahkan kantong cemilannya pada Dara, lalu meletakkan sebotol teh Sosro dingin di meja Sastra. Kemudian pergi begitu saja, meninggalkan senyum manis yang sayangnya, waktu itu belum cukup untuk menggetarkan hati Sastra.
"Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"
Lamunan Sastra menyublim, ingatan tentang Ashwin selalu bisa membuatnya tersenyum rupa orang yang dimabuk cinta. Hingga Sastra bisa kembali sadar saat di depannya sudah duduk seorang nasabah yang butuh bantuan.
Kantor cabang Bank swasta tempat Sastra bekerja hari ini sepi. Sampai jam makan siang tiba, hanya ada dua nasabah yang butuh pelayanan Sastra. Rasanya melegakan. Sastra tidak harus berlama-lama tersenyum dan menjawab setiap pertanyaan yang sama.
"Ini Ashwin ke mana sih!"
Sastra bergumam seorang diri. Jam makan siangnya hampir habis, tapi Ashwin tidak kunjung menjawab panggilan. Terakhir kali Ashwin membalas pesannya adalah jam dua pagi tadi, saat Ashwin tiba-tiba terbangun dari tidurnya, dan bilang tidak bisa tidur lagi.
"Chat juga enggak dibaca!"
Sastra kesal, semenit kemudian berubah jadi khawatir. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya. Lagi. Jadi saat-saat seperti ini Sastra tahu harus menghubungi siapa untuk mengetahui keadaan Ashwin.
"Assalamualaikum, Kek."
Ada Harsa--kakek Ashwin-- di ujung sambungan.
"Walaikumussalam, Sastra?"
"Iya, Kek. Ini Sastra."
Jika benar-benar terjadi sesuatu pada Ashwin, Sastra tidak harus bertanya. Karena Harsa selalu tahu apa yang harus dikatakan. Sementara Sastra hanya butuh kesiapan untuk mendengarnya.
"Ashwin collapse semalam, ini kakek masih di rumah sakit."
Sastra yang semula berdiri untuk menyimpan kembali kotak makan siangnya, kembali meraih kursi. Lututnya suka tiba-tiba lemas saat mendengar berita tidak mengenakkan tentang Ashwin. Tidak terhitung berapa kali Ashwin kambuh selama tiga tahun mereka menjalin kasih, tapi bagaimana bisa rasanya seperti pertama kali Sastra mendengarnya?
"Ashwin gimana, Kek? Ini Sastra masih kerja. Maaf belum bisa nyusulin, Kakek."
"Masih tidur. Enggak apa. Kebetulan Kakek juga hari ini enggak ngantor. Ke sininya nanti aja pulang kerja ya. Biar dijemput Pak Eko."