Mengingat alasan Sastra dulu menerima Ashwin menjadi kekasihnya, kalian pasti tidak akan percaya mereka berdua masih bersama hingga sekarang. Masih saling menggenggam tangan walau banyak kesulitan datang.
Seperti saat ini, ketika Sastra lagi-lagi harus melewati masa di mana momen ditinggalkan orang yang dicintai, begitu dekat dengan nadi. Momen saat melihat orang yang dicintai terkulai tidak berdaya terasa begitu nyata. Momen-momen ini sedikit demi sedikit menggerogoti Sastra.
Sastra bilang, saat-saat seperti ini tidak pernah berhasil memberinya rasa sakit. Namun, selalu sukses menciptakan luka menganga di rongga dadanya. Sastra hampa. Lalu melalui kehampaan itulah tumbuh keraguan.
Sastra ragu bisa bertahan.
Air mata Sastra merembes, lalu mengalir, membasahi mukena. Dia duduk di samping ranjang Ashwin, lekat-lekat memandang wajah kekasihnya sambil berzikir. Hanya terus berzikir, tidak pernah sekali pun Sastra berharap akan sesuatu. Karena dalam setiap buliran zikirnya, Sastra percaya, Tuhan tahu apa yang dia butuhkan, Tuhan tahu waktu yang tepat untuk memberinya.
"Sudah bangun?"
Ashwin menggeliat saat Sastra melepas mukenanya.
"Lho, sayang? Semalam enggak pulang?"
Semalam, niat Sastra untuk pulang harus terhalang setelah mendapat telepon dari Harsa. Harsa harus segera terbang ke Surabaya karena ada satu dua alasan bisnis. Jadi, tidak akan ada siapapun yang bisa menjaga Ashwin.
"Eyang ke Surabaya, nanti kamu rewel ditinggal di sini sendiri."
Ashwin senyum sumringah, menerima uluran air putih dari Sastra, lalu meneguknya perlahan.
"Udah salat subuh?"
"Udah," jawab Sastra singkat, "sebentar-sebentar!" lanjutnya buru-buru saat melihat Ashwin yang berniat ke kamar mandi seorang diri.
"Slipper aku, Sayang."
Sastra membantu Ashwin turun dari ranjang, menyiapkan sandal, lalu menuntun Ashwin ke kamar mandi.
Sementara Ashwin membersihkan diri di kamar mandi, Sastra merapikan ranjang, membenahi selimut, dan bantal untuk memastikan Ashwin nyaman menggunakannya.
Rutinitas seperti ini terlalu sering Sastra temui. Sastra hafal setiap detail keperluan yang Ashwin butuhkan selama di rumah sakit. Rutinitas yang tanpa Sastra sadari telah menguras banyak energi, mengikis keceriaannya, lalu tergantikan oleh banyak kekhawatiran. Termasuk ketakutan, takut Ashwin-nya hilang begitu saja.
"Kamu salat, Aku mau turun dulu, jalan-jalan sekalian cari sarapan."
Ashwin yang sudah duduk berselonjor di atas ranjang mengangguk dengan senyum lebarnya.
"Hari ini aku izin, jadi bisa jagain kamu seharian," lanjut Sastra sebelum keluar.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu peka, Sayang."
Sastra berdecak, pura-pura kesal. Lalu dari celah daun pintu dia kembali melihat ke arah Ashwin. Lelakinya itu menunduk khusyuk, takbiratulihram, lalu hanyut dalam bacaan salatnya.
Air mata Sastra kembali menetes.
Setiap bulirnya berhasil membiaskan memori Sastra. Memaksa Sastra untuk kembali menikmati masa lalu. Masa di mana Sastra menghabiskan banyak waktu dan tenaganya untuk menghindar dari setiap afeksi yang Ashwin ciptakan.
Jika mengingat masa-masa itu, Sastra tidak bisa jika tidak tersenyum. Dalam tangis, Sastra sempat menyunggingkan senyum. Getir, tapi inilah satu-satunya penawar yang Sastra miliki. Dia harus lebih sering melihat jauh ke belakang untuk mengerti bahwa Ashwin begitu berharga, bahwa mereka berdua memiliki banyak hal berharga untuk dipertahankan.
Kali ini Sastra ingin menjelajahi setiap lorong waktu yang bisa membawanya kembali pada kali pertama Ashwin menyatakan rasa sukanya.
Pertama kalinya Sastra mendengar sendiri pernyataan yang begitu manis dari Ashwin yang waktu itu hanya tersenyum tipis dengan bibir berkedut. Grogi kebangetan.
Sastra tidak menyangka jika selama satu semester mereka dekat, Ashwin menyimpan rasa semanis itu padanya.
Kaget jelas tidak terelakan, selebihnya ada rasa aneh yang Sastra nikmati saat dia mendengar sendiri ungkapan suka Ashwin.